Tsunami melanda Lampung Selatan, Pandeglang dan sekitaran Selat Sunda. Huru-hara tsunami yang terjadi Sabtu malam yang lalu kembali membuka pertanyaan-pertanyaan terkait ketidak deteksinya tsunami yang disinyalir berpangkal pada Anak Gunung Krakatau. Agaknya BMKG menjadi aktor yang paling disibukkan beberapa bulan terakhir.
Secara serampangan disalahkan dan ‘dikejar’ untuk menganalisis di berbagai media. Keamanan manusia (human security) tidak hanya mengamini antroposentrisme sebagai penyebab ketidak stabilan lingkungan hidup namun juga ekosentrisme yang pada kasus ini diskursus bencana alam (natural disaster).
Indonesia secara geografis terletak pada tiga lempeng aktif bumi, yaitu Lempeng Pasifik, Lempeng Hindia-Australia dan Lempeng Eurasia. Pergeseran lempengan ini mengakibatkan pergeseran pada sisi lainnya dan menghasilkan efek gempa bersusulan.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengumumkan 1.649 orang meninggal dunia dan 2.549 luka-luka disusul 62.359 pengungsi (liputan6.com).
Gempa di Sulawesi Tengah berkekuatan 7,4 Skala Richter menggulung sebagian besar Palu dan Donggala. Pada skala ini data USGS (2011, 11) memasukkannya dalam klasifikasi gempa Mayor (7,0-7,9) dengan probabilitas menimbulkan kerusakan secara meluas. Hal tersebut berkelindan dengan empat lempengan yang mengisi Indonesia menyimetriskan geografis dan probabilitas terjadinya gempa.
Problematika diatas menemukan relevansinya dengan fundamental enviromentalis yang akan menjadi busur panah dari anak panah yang akan penulis elaborasikan, menurut Mathew Patterson (2015, 134) teknosentrisme mengusung realitas politik, sosial, ekonomi serta struktur normatif politik sebagai gerakan untuk memperbaiki masalah lingkungan.
Pertama-tama harus diakui bahwa pergeseran lempeng bumi yang mengakibatkan bencana alam secara alami tidak memiliki andil tanggung-jawab dengan berjatuhannya jumlah korban. Pemikiran ini lahir untuk domain kenyataan yang digeluti, yakni kenyataan sosial. Bergeraknya lempengan bumi menggerakkan kontur tanah yang ada diatasnya, terutama pada kontur tanah tidak padat.
Migitasi bencana tidak menjelaskan semua cabang kenyataan, maka migitasi bencana sebagai sains tidaklah total; migitasi hanya total sebagai program musiman. Migitasi bencana acapkali diberlakukan sebagai nation-building, yang mana seharusnya migitasi bencana implementasi tameng masyarakat dalam menghadapi bencana alam.
UU No 24 Tahun Pasal 47 ayat 2 mengenai migitasi bencana, yang meliputi tatanan ruang, pengaturan pembangunan, infrastruktur dan penyelenggaraan pendidikan. Pada pasal sebelumnya mengenai hak dan kewajiban masyarakat pada pasal 26 dan 27.
Terdapat pergesekan kepentingan antara kepentingan publik (public interest) dan kepentingan individu (personal interest), edukasi migitasi bencana di Indonesia belum sampai pada taraf penerjunan langsung pada praktek edukasi migitasi bencana. Edukasi migitasi bencana hanya sampai pada sosialisasi dan pengenalan.
Jika dikaitkan problem ini tendensius terhadap human security karena bersinggungan langsung dengan nyawa manusia. Menjadi jelas adanya ketidak optimalan dalam human security simetris dengan hak sasi manusia paling fundamental akan hak hidup. Implementasi migitasi bencana yang belum sampai pada taraf implementasi akan melahirkan spekulasi kegagalan hak individu yang ditarik ke arah ranah publik atas nama UU negara.
Bagaimana tidak, masyarakat mengamanatkan atas nama kewarganegaraannya kepada sebuah negara sehingga hak asasi manusia – hak hidup – diayomi oleh panji kenegaraan. Saat hal vital ini dipertaruhkan untuk dipertanggungjawabkan, negara tidak mampu memberikan perlindungan – pendidikan – yang paling memadai agar masyarakatnya dapat bertahan hidup, setidaknya dari ancaman bencana alam.
Manajemen keamanan nasional hari ini sudah tidak lagi menunjukkan ke eksistensi akan ancaman idiologi, inrelevan. Perpecahan negara akibat ideologi memiliki presentase minim dalam sumbangsih pendukung suatu negara menjadi negara gagal (failed state). Menjadi asimetris dengan pola pendidikan yang masih menggaris bawahi ideologi sebagai ketahanan sehingga mewajibkan edukasi terkait pertahanan tersebut.
Bukan tanpa alasan trauma sejarah Indonesia terhadap Partai Komunis Indonesia seakan mampu menggali lagi luka lama. Surat Edaran Kementrian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia (Ristekdikti.go.id) Nomor: 435/B/SE/2016 yang mengelaborasikan atas pelajaran wajib yaitu Bahasa Indonesia, Agama, Pancasila dan Kewarganegaran perlu didukung dengan faktor lunak lainnya sebagai fundamental ketahanan nasional diskursus ketahanan lingkungan hidup dari ancaman bencana alam alamiah.
Tingginya angka korban pada rentetan bencana alam di Palu, Donggala, Pandeglang dan Banten membuka mata kita akan opresi edukasi yang kurang relevan dan perlunya pengembangan migitasi bencana yang konkrit. Sebut saja Jepang menjadi tolak ukur atas – hampir – mendekati persamaan dengan Indonesia dalam aspek kontur lempengan. Jepang mampu bangkit dengan melakukan migitasi bencana berupa implementasi simulasi secara real. Penulis mentendensi atas migitasi bencana atas Indonesia dalam 3 sekrup-sekrup penggerak ketahanan masyarakat melalui edukasi migitasi bencana:
Perlunya pemerintah mengambil tindakan dalam evaluasi Surat Edaran Nomor: 435/B/SE/2016 dan mulai menjadikan edukasi migitasi bencana adalah sebuah kebutuhan bangsa. Zigot penggerak rusaknya sistem infrastruktur dan masyarakat dengan jumlah kerugian materil maupun non materil perlu diminimalisir dengan edukasi.
Masyarakat Indonesia mengalami paronia konstruktifis yang telah melekat dalam ‘kerelaan’, dikarenakan ketidak tahuan akan tindakan saat terjadi bencana. Menjadikan bencana alam selayaknya ancaman ideologis yang akan menyerang ketahanan nasional dengan merelisasikan edukasi migitasi bencana.
Membagi daerah rawan-rawan bencana yang berada pada garis lempeng bumi, gempa bumi, banjir, tsunami dan erupsi gunung merapi. Membuat kurikulum edukasi migitasi bencana terutama didaerah rawan bencana atau daerah lempengan bumi. Hal ini perlu diamini dengan pembentukan kurikulum migitasi bencana dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
Bencana alam merupakan salah satu permasalahan ketahanan nasional terutama dalam keamanan manusia (human security). Wilayah geografis tidak dapat dipungkiri dapat mengakibatkan bencana yang memakan korban tidak sedikit bagi Indonesia.
Atas landasan bencana alam tidak dapat dihindari akan tetapi dapat dihadapi, meyakinkan kelindan kesempatan memberikan pertahanan individu dengan pendidikan migitas bencana di jenjang level sekolah.
Jika pertahanan ideologi dan militer pasca perang dingin tidak relevan, makanya pendidikan penelitian dan pelatihan memberikan konstribusi yang nyata. Kebijakan pelajaran wajib pada Surat Edaran Nomor: 435/B/SE/2016 perlu mendapatkan masukan ditengah urgensi rigid bencana alam yang kian terjadi.