Jargon-jargon anti Islam, kriminalisasi ulama, pembungkaman media Islam, pelemahan umat Islam dan lain sebagainya kian marak berkembang di Indonesia. Jargon tersebut akan semakin menguat apabila kita hendak membersihkan rumah (Indonesia) dari benih-benih radikalisme atau kelompok yang memiliki agenda politik untuk mengubah tatanan negara Pancasila. Sehingga ketika kita hendak berupaya untuk menangkal radikalisme, mereka berlindung dari jargon-jargon Islam dan kita dianggap anti Islam, anti syariat Islam.
KH Abdurrahman Wahid atau yang akrab dipanggil Gus Dur dalam pengantar buku Ilusi Negara Islam menjelaskan faktor terpenting dan barangkali menjadi alasan kebanyakan orang terpesona dengan gerakan garis keras. Faktor tersebut adalah dangkalnya pemahaman mereka tentang agama (ajaran Islam). Jargon-jargon garis keras seperti membela Islam, penerapan syariah, maupun penegakan Khilafah Islamiyah bagi umat Islam yang tidak mempunyai pemahaman mendalam tentang ajaran agamanya bisa menjadi ungkapan yang sangat ampuh dan mempesona. Pada saat yang sama, para penolak jargon-jargon Islam tersebut bisa dengan mudah dituduh menolak syariah bahkan menolak Islam.
Saat pemerintah hendak membubarkan organiasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) banyak simpatisan yang berlindung atas nama Islam. Bagi orang yang setuju dengan pembubaran HTI dianggap anti Islam. Begitu juga dengan aksi bela Islam menjelang Pilkada DKI Jakarta lalu, orang yang tidak setuju dengan aksi tersebut maka dicap sebagai anti Islam, tidak membela Islam. Atau kalau kita tarik lebih jauh, pada tahun 2015 ketika pemerintah sedang bersih-bersih dari kelompok radikal dengan memblokir situs radikal di Indonesia maka narasi yang berkembang adalah pembungkaman media Islam. Pemerintah menganggap melemahkan media milik Islam, melemahkan jargon Islam.
Merebut Jargon Islam
Inilah ciri organisasi Islam yang berkembang pesat setelah era reformasi yang membawa misi politik untuk mengganti dasar negara Indonesia. Mereka merebut simbol atau jargon Islam untuk menuai simpati masyarakat, khususnya masyarakat mengambang. Masyarakat mengambang merupakan masyarakat yang belum mempunyai dasar agama yang kuat atau belum mengikuti afiliasi organisasi Islam terbesar di Indonesia Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
Jika organisasinya dianggap sebagai ancaman untuk negara dan menyebarkan paham radikal, maka dengan mudah ia berlindung atas nama Islam. Orang yang mengkritik organisasi mereka dicap sebagai anti Islam dan anti syariat Islam. Inilah yang menjadi kekuatan kelompok-kelompok radikal untuk mengambil simpati terhadap masyarakat luas dengan mengambil jargon-jargon yang berbau Islam.
Organisasi Islam yang menjamur setelah era reformasi lantang berteriak untuk menerapkan syariat Islam, banyak yang ingin mengganti dasar negara Indonesia menjadi negara Islam. Atas banyaknya masalah mulai dari ekonomi, politik, pendidikan hingga persoalan sosial lainnya mereka menawarkan syariat Islam sebagai solusinya. Bagi yang tidak memiliki perspektif nasionalisme dan toleransi untuk kepentingan banyak umat akan mudah terbawa dengan solusi yang dibawanya.
Organisasi Islam yang Dewasa
Jauh sebelum era reformasi, jauh pula sebelum era kemerdekaan, Nusantara sudah mempunyai organisasi Islam yang sampai sekarang masih tegak berdiri menyangga Indonesia dan melestarikan ajaran agama Islam. Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah sudah selesai membicarakan bagaimana konteks negara dan agama. Kedua organisasi Islam tersebut menerima negara Pancasila sebagai jalan tengah untuk menyatukan berbagai golongan di Indonesia. Walaupun kita berbeda agama, ras, suku dan bahasa namun kita masih memiliki persatuan yaitu Indonesia.
Gagasan negara bangsa ini merupakan pahit getir pengalaman sejarah Nusantara. Jauh sebelum Indonesia berdiri terdapat banyak agama, peradaban dan kerajaan. Namun di antara tokoh pendiri bangsa ini sadar tentang signifikasi untuk melestarikan kekayaan dan keragaman budaya dan tradisi bangsa. Sementara pada sisi yang lain Gus Dur menjelaskan, dialog terus-menerus antara Islam sebagai seperangkat ajaran agama dan nasionalisme yang berakar kuat dalam pengalaman bangsa Indonesia telah menegaskan kesadaran bahwa negara bangsa yang mengakui dan melindungi beragam keyakinan, budaya dan tradisi bangsa Indonesia merupakan pilihan tepat bagi bangunan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tokoh organisasi Islam terbesar di Indonesia banyak yang menolak terhadap upaya sekelompok orang yang memaksakan kehendaknya untuk diterima banyak orang, yaitu formalisasi Islam. Bagi Gus Dur, formalisasi Islam merupakan upaya untuk kudeta terhadap konstitusi. Begitu juga dengan Buya Syafii Maarif, ia menyebut jika syariah Islam benar-benar diterapkan sebagai hukum negara maka perpecahan tidak hanya akan terjadi antara kelompok Muslim dan non-Muslim tetapi juga antar sesama Islam sendiri.
Banyak tokoh organisasi Islam terbesar di Indonesia menolak adanya formalisasi Islam sebagai hukum negara. Selain tidak ada perintah wajib untuk menerapkan formalisasi Islam sebagai dasar hukum negara, formalisasi Islam akan menjurus kepada perpecahan bangsa. Syariah bisa dilaksanakan tanpa perlu diformalisasikan.
Dua organisasi yang sudah dewasa tidak latah memposisikan antara agama dan negara. Syariat Islam tetap dijalankan sebagai landasan untuk bernegara dan supaya bisa diterima oleh banyak orang. Bukan sebaliknya, syariat Islam dapat menyebabkan perpecahan. Hubungan antara agama dan negara sudah selesai didiskusikan oleh para pendiri bangsa sehingga menghasilkan Pancasila sebagai dasar negara.
Anti Islam?
Apakah ketika tidak setuju dengan formalisasi Islam dan diterapkannya negara Islam di Indonesia serta maraknya perda-perda syariah, saya anti Islam? Pertanyaan itulah yang terkadang menjadi senjata ampuh bagi sekelompok orang yang mempunyai hasrat yang tinggi untuk menerapkan formalisasi Islam di Indonesia. Narasi yang berkembang ketika orang Islam sendiri menolak adanya formalisasi Islam atau adanya perda syariah dijalankan di Negara Indonesia dianggap anti Islam atau menjadi musuh Islam.
Tuduhan anti Islam atau kafir merupakan manuver politik. Siapapun tidak akan menjadi kafir dengan tuduhan semacam itu. Kafir lebih disebabkan karena gerakan hati terkait ajaran agama. Pun yang berhak menilai orang itu kafir tidaknya hanya Allah Swt. yang tahu. Manusia hanya menilai dari luarnya, karena kafir tidaknya sangat kental dengan hati seseorang.
Kembali penulis mengutip dari buku Ilusi Negara Islam, bahwa Jargon-jargon yang berkembang, “Islam adalah solusi”, “Bela Islam”, “Bela Ulama”, Selamatkan Indonesia dengan Syariah” adalah retorikan simplistis dan komoditas politik sebagai usaha rekrutmen psikologis umat Islam. Apakah ketika orang Islam sendiri tidak setuju dengan jargon-jargon tersebut ia kafir?
Kafir adalah urusan dia dengan Tuhannya bukan urusan orang lain. Karena ajaran Islam bagi orang Indonesia dijadikan landasan untuk membuat hukum. Adapun ketika negara bertentangan dengan hukum Islam, kita wajib mengingatkan dan tidak mengikutinya.***