Bencana alam seringkali tidak dapat diprediksikan. Dimana jenis bencana alam yang terjadi tersebut turut menimbulkan korban jiwa, kerugian materil ataupun kerugian imateril kepada masyarakat yang terdampak. Sehingga patutlah untuk dewasa ini untuk meninjau kembali pengaturan hukum mitigasi bencana dan penerapannya yang telah diatur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (UU Penanggulangan Bencana).
Andrew Maskrey (1952) dalam buku berjudul “Disaster Mitigation: A Community Based Approach” mengemukakan bahwa salah satu penyebab tidak optimalnya hasil dari suatu pelaksanaan mitigasi bencana adalah bahwa pelaksanaan mitigasi bencana seringkali berfokus pada tindakan fisik untuk mengurangi ancaman dari suatu bencana alam dan tidak melakukan optimalisasi partisipasi masyarakat di daerah yang rentan bencana alam secara komprehensif.
Apabila merujuk pada ketentuan Pasal 47 ayat (1) UU Penanggulangan Bencana, tujuan mitigasi bencana adalah terbatas pada pengurangan risiko bencana bagi masyarakat yang berada pada kawasan bencana. Dimana dalam ayat (2) pada ketentuan pasal yang sama kemudian disebutkan bahwa kegiatan mitigasi dilaksanakan melalui pelaksanaan penataan ruang, pengaturan pembangunan yang disertai dengan pembangunan infrastruktur dan tata bangunan serta penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan, dan pelatihan baik secara konvensional maupun modern.
Sehingga apabila merujuk pada pernyataan Maskey sebelumnya maka pengaturan mitigasi bencana dalam UU Penanggulangan Bencana masih berorientasi pada pencegahan ancaman dan risiko bencana alam secara struktural dan belum menyentuh lapisan kultural dalam mitigasi bencana.
Hal tersebut semakin dipertegas dengan ketentuan Pasal 35 jo. Pasal 6 UU Penanggulangan Bencana yang menegaskan bahwa baik Pemerintah di tingkat pusat ataupun daerah berperan untuk mengurangi risiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko bencana dengan program pembangunan yang berorientasi fisik.
Apabila dicermati secara mendalam, peran serta masyarakat yang tinggal pada kawasan yang rentan bencana cenderung ditempatkan sebagai komunitas target penyelenggaraan pendidikan, pelatihan, dan keterampilan dalam menghadapi bencana. Perlu untuk ditegaskan kembali bahwa masyarakat yang tinggal di kawasan rentan bencana merupakan komunitas yang harus berdaya melalui kegiatan pemberdayaan yang bersifat kultural sehingga seyogyanya tidaklah bijaksana untuk tetap mempertahankan orientasi struktural semata dalam pelaksanaan mitigasi bencana kepada masyarakat.
Oleh karena itu diperlukan suatu reformulasi terhadap pengaturan hukum mitigasi bencana yang telah diatur dalam UU Penanggulangan Bencana. Reformulasi tersebut dapat dilakukan secara menyeluruh ataupun sporadis. Oleh karena itu, terdapat dua opsi yang dapat dilakukan guna melakukan reformulasi dimaksud.
Opsi yang pertama adalah dengan melakukan reformulasi terhadap paradigma UU Penanggulangan Bencana dalam mengatur hukum mitigasi bencana. Dalam opsi ini, reformulasi pengaturan hukum mitigasi bencana dapat dilakukan dengan mengubah pola struktural mitigasi bencana menjadi pola kultural yaitu dengan memberikan kewenangan pemerintah daerah untuk menciptakan pola mitigasi bencana yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat kawasan rentan bencana bersama para pemuka keagamaan dan tokoh masyarakat setempat.
Opsi yang kedua adalah dengan melakukan perubahan redaksional ketentuan UU Penanggulangan Bencana terkait pengaturan mitigasi bencana. Opsi ini secara khusus ditujukan untuk ketentuan Pasal 47 ayat (1) dan Pasal 47 ayat (2) Penanggulangan Bencana. Dimana pada ketentuan Pasal 47 ayat (1) perlu untuk menambahkan bahwa tujuan mitigasi bencana tidak hanya semata untuk mengurangi risiko bencana masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana melainkan juga untuk memberikan pemahaman yang bersifat kontekstual kepada masyarakat terhadap ancaman bencana.
Selain itu terkait ketentuan pasal 47 ayat (2) perlu untuk menegaskan bahwa pengaturan lebih lanjut terkait penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan, dan pelatihan baik secara konvesional maupun modern terkait mitigasi bencana dalam sebuah peraturan daerah yang kemudian harus diteruskan pula dalam peraturan pelaksana lainnya seperti Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati, Peraturan Walikota hingga peraturan di tingkat desa. Oleh karena itu mengkulturkan mitigasi bencana kepada masyarakat diharapkan dapat mengoptimalkan pelaksanaan mitigasi bencana yang dewasa ini telah diterapkan.