Pembacaan Proklamasi Kemerdekaan Tahun 1945 menjadi tonggak berdirinya sebuah bangsa yang merdeka, bangsa Indonesia. Dalam perjalanannya, praktik-praktik transformasi sistem politik dan pemerintahan pada akhirnya membawa bangsa Indonesia pada sistem yang “berdemokrasi”.
Pada kehidupan berdemokrasi, ranah publik merupakan sebuah nafas bagi suatu masyarakat. Seperti yang dikemukakan oleh Jurgen Habermas di mana ruang publik merupakan ruang yang terpisah dari negara (state) dan pasar (market), serta ruang publik memastikan masyarakat memiliki akses untuk menjadi pengusung opini publik yang berperan mempengaruhi perilaku didalam ruang negara dan pasar.
Dalam masyarakat modern ranah publik didukung dan difasilitasi oleh media massa, seperti surat kabar, radio, dan televisi. Namun munculnya praktik privatisasi dan politisasi dibeberapa media massa seperti pertelevisian kini seakan menghilangkan kepercayaan masyarakat atas informasi yang dihadirkan.
Hasrat masyarakat untuk menyampaikan pendapat kini memiliki wadah baru, yakni munculnya media sosial sebagai sarana untuk hal itu.
Media Sosial dalam Konteks Ranah Publik
Pembentukan kehendak politik masyarakat kini mendapat sarana baru, yakni melalui media sosial. Proses-proses pembentukan opini dan adu argumentasi telah meramaikan dunia maya ini. Media sosial kini tidak hanya untuk mengakses informasi, bekerjasama, menciptakan ide, hingga kepada aktualisasi diri atau personal branding tetapi wadah baru ini menjadi sarana untuk mengarahkan opini publik.
Media sosial menjadi ranah publik yang sangat luas dimana dari berbagai belahan penjuru dapat melakukan komunikasi, berdialog, hingga kepada berdiskusi atas kondisi sosial, politik, ekonomi dalam ranah internasional maupun tingkat nasional.
Berbicara soal politik pun kini mendapat perhatian khusus di dunia media sosial dewasa ini. Maka dalam konteks ranah publik, media sosial mendapatkan tempat yang sangat strategis ditengah masyarakat era digital ini.
Paradoks dalam Media Sosial
Argumen politik dalam ranah media sosial menjadi suatu bentuk dari partisipasi aktif ditengah masyarakat walau hal tersebut tergolong minim dan cepat untuk dilupakan. Namun dalama beberapa kasus, gerakan masif atas pembentukan opini publik yang dilakukan suatu kelompok menjadi trend beberapa waktu terakhir ini.
Hal ini pun menyimpan segudang permasalahan dimana ketika ranah publik yang begitu bebas digunakan untuk menggiring opini publik yang tidak didasarkan pada upaya perubahan yang lebih baik namun berisi intrik dan atas dasar data dan fakta yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya.
Praktik ini disebut “Hoax” yang dapat diartikan sebagai “fake news” yaitu penyebaran berita bohong yang tidak dapat diverifikasi kebenarannya. Kepentingan politik pun menjadi alasan utama dalam perkembangan hoax di Indonesia.
Menggiring opini publik demi tujuan untuk merugikan salah satu pihak di pentas politik telah muncul secara sporadis di jaman millenial ini. Hal tersebut menjadi sebuah permasalahan ditengah kebebasan atas berpendapat di ruang publik kini. Pun jikalau peraturan dipertegas atas penggunaannya akan menyisakan suatu masalah baru, yakni menghilangkan esesensi demokrasi atas pemanfaatan ranah publik ditengah masyarakat.
Merdeka di Medsos
Suatu masyarakat yang merdeka dan berdaulat berarti memiliki esensi demokrasi dalam sendi-sendi kehidupan bermasyarakat. Era digital dan perkembangan jaman seakan menuntut masyarakat untuk turut aktif dalam dinamikanya.
Penggunaan media sosial seakan menjadi life style dan memenuhi kebutuhan atas informasi yang aktual ditengah masyarakat yang mudah dijangkau. Masyarakat dewasa ini pun seakan memiliki kebebasan yang tidak terbatas di dunia maya ini, baik itu berekspresi, mengutarakan pendapat, maupun upaya menciptakan aktualisasi diri.
Dalam perkembangannya, hadirnya Undang-Undang ITE No 11 Tahun 2008 sebagai salah satu peraturan yang mengatur upaya-upaya pelanggaran hukum di ranah publik yang satu ini. Praktik-praktik ujaran kebencian atas isu SARA seyogianya dapat diminimalisir melalui penegakan aturan tersebut.
Nilai-nilai kebebasan dalam suatu negara berdaulat dan merdeka sangat diamini namun tetap dengan batasan tertentu. Masyarakat pun kini harus “dewasa” berpendapat. Perbedaan pandangan itu pada dasarnya bagian dari masyarakat yang demokratis, namun dalam pengutaraan pendapat eloknya didasari atas data dan fakta yang dapat diuji kebenarannya.
Dengan begitu terwujud masyarakat yang cerdas, dan tidak mudah untuk ditipu untuk kepentingan seseorang atau sekelompok orang tertentu.
Merdeka kini pun selalu dimaknai berbeda setiap pada setiap jamannya, jika pada era kolonialisme itu merdeka sangat dimimpikan dan diidamkan oleh para tokoh dan pendiri Bangsa Indonesia agar keluar dari kungkungan praktik penjajahan.
Maka era milenial sekarang berbagai golongan memiliki padangan masing-masing terhadap kata merdeka. Tidak bisa dipungkiri, dinamika politik yang terjadi selalu menghadirkan bentuk kepuasan dan ketidakpuasan.
Mereka yang terlalu frontal atas segala bentuk kebijakan yaang dihadirkan pemerintah hanya mampu merdeka dan mengutarakan pendapat lewat media sosial. Karena gerakan turun ke jalan dianggap sudah lemah dan selalu di bentengi oleh aparat keamanan. Maka mereka hanya merdeka di media sosial.