Beberapa hari menjelang Natal tahun ini, beredar kabar burung yang tak disangka-sangka oleh kaum pluralis-fundamentalis-kaffah, yakni kabar mengenai Perayaan Natal Bersama di Kampung sempit Mentawai. Kabar burung ini sudah beredar bahkan sebelum Sinterklas menyiapkan kado-kadonya.
Tak tanggung-tanggung, menurut kabar yang beredar, acara itu akan dihadiri oleh Iqbal Ojo Koyokngono, seorang sesepuh perayaan-perayaan bersama, dan penggiat festiv-festiv milenial.
Dalam siaran pers-nya, Obero Sakukut, Ketua panitia perayaan bersama itu, mengatakan bahwa acara ini sengaja digagas agar Pluralisme Harga Mati juga membumi di tanah Mentawai, pulau di barat Sumatera yang juga adalah tanah kelahirannya. Obero juga mengatakan dalam siaran itu, baiknya saya kutipkan sedikit di sini:
“Jadi begini, Gaeess. Mengingat pentingnya perayaan bersama ini, maka bagi kaum muslim, hindu, budhis, animis, dinamis, dan juga atheis yang bersedia datang dan merayakan Natal bersama itu, mereka tidak perlu menandatangani surat pernyataan ikhlas hati macam-macam dan tanpa keterangan keberatan macam-macam.”
Tak sampai di situ, Obero masih menambahkan bahwa panitia tidak akan melarang, memotong, apalagi menggergaji kopiah, surban, jubah, kain lilit, atau pernik-pernik simbolik para peserta lainnya. Sungguh, ini adalah langkah maju dari masyarakat sesempit Mentawai yang perlu diapresiasi.
Persiapan-persiapan kabarnya juga sangat antusias dilakukan para penduduk Kampung Sesempit Mentawai. Para Sikerei-sikerei diberi tahu. Babi-babi yang biasanya dilepas mulai dikandangkan siap untuk disembelih. Bagi tamu undangan yang tak mengonsumsi babi disediakan hewan halal lain yang sudah distempel halal.
Perahu-perahu disiapkan di banyak dermaga sebagai semacam tol-laut bagi penduduk di empat pulau besar di kepulauan itu yang akan mendatangi acara Natal bersama yang rencananya diselenggarakan di Tuapejat. Kampung Sesempit Mentawai itu tiba-tiba mendadak viral di dunia maya karena kabar burung itu.
Sayangnya tak semua orang senang dengan kabar itu. Amran Dummy yang orang Timur dan tinggal di Singkawang misalnya, benar-benar ‘kemropok’ mendengar kabar itu. Di akun Twitter-nya beliau nyerocos penuh sarkas: “Affanya yang ferlu diafreziazi? Acara tak mutu. Za menolak acara Natal bersama itu. Itu bid’ah. ‘Extra ecclesiam nulla salus’!”, katanya berapi-api.
Amran bahkan mengutap-ngutip Yerusalem beberapa kali. Dalam kutipannya yang ‘ndakik-ndakik’ itu, Amran menegaskan betapa secara sosiologis dan antropologis Yerusalem adalah daerah yang punya sejarah ribuan tahun, kota suci tiga agama monoteis terpenting, dan dipercayai sebagai situs makam rasul dan orang-orang suci. Begitu juga Kampung Sesempit Mentawai menurut Amran.
Di Kampung Sesempit Mentawai, kita bisa melihat bagaimana adat dan agama dijaga kuat, sebisa mungkin steril, dan jika tak perlu tak usah dicampuri dengan adat dan agama lain. Meski Amran tahu bahwa kekristenan bercampur dan sinkretis dengan Arat Sabalungan, namun Kampung Sesempit Mentawai harus dijaga kemurniannya dari unsur-unsur yang datang dari luar dan mengotori adat dan agama turun temurun di sana. Apalagi kalau sampai mengotori perayaan Natal yang sakral itu. Pokoknya, menurut Amran, perayaan Natal harus steril dari umat agama dan adat lain.
Iqbal sendiri tahu perihal celotehan Amran di Twitter itu. “Brengsek cah iki!”, batinnya. “Bocah ra weruh arti penting Toleransi Harga Mati!” Ia bahkan berniat membuat satu esai panjang untuk menjawab cuitan Amran itu. Setidaknya Amran harus diberi pelajaran dan arti penting kata “toleransi” dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di republik nusantara yang plural ini. Namun niat itu ia urungkan mesti hatinya sudah sangat panas. “Asuwok!”, ia meniru serapahan salah seorang pelawak junjungannya.
Ternyata cuitan Amran itu tidak hanya dibaca Iqbal. Ketua panitia Perayaan Natal Bersama di Kampung Tak Sesempit Mentawai, Obero Sakukut, juga membacanya. Tapi Obero tak sepanas Iqbal. Ia percaya bahwa kasih harus melampaui amarah, bahwa perdebatan bisa didialogkan dengan dingin dan sukacita.
Untuk itu ia bermaksud mengundang pula Amran ke Perayaan Natal Bersama di Kampung Tak Sesempit Mentawai itu. Rencananya juga akan dijejerkan duduk dalam jamuan Natal bersama Iqbal nantinya. Harapannya, mereka bisa berdialog dengan kepala dingin dan tidak mengumbarnya di medsos, terutama Amran. Obero akhirnya menyurati Amran dan mengundangnya untuk datang pada perayaan Natal itu nantinya. Amran bersedia.
Iqbal mendengar kabar itu. Bahkan kasak-kusuk kalau dirinya nanti akan dijejer dan mungkin diadu dengan Amran juga didengarnya. Tapi ini momen tepat buat mengajar Amran yang ceriwis itu. Ya, ia harus diajarkan toleransi dan pluralisme. Kata-kata sakti sudah disusunnya untuk ‘nyekak-nyeter’ Amran:
“Kalau kau tak bertoleransi, itu tandanya imanmu lemah. Nih, kau lihat aku. Imanku kuat dan teruji. Imanku tak akan luluh hanya karena simbol salib dan pohon natal di perayaan ini. Kau dengar itu, Amran?!”
Membayangkan kata-kata sakti mandraguna yang sudah ia susun itu, Iqbal sudah agak lebih tenang. Hatinya yang tadinya panas berangsur dingin. Ia merasa lega bisa mencapai kesadaran itu; kesadaran bahwa keimanan mesti melampaui simbol-simbol, bahwa toleransi adalah harga mati. Titik.
Tapi rasa leganya hanya berlangsung dalam hitungan jam. Tak lama setelah itu, ia menerima kabar bahwa Panitia Perayaan Natal Bersama di Kampung Tak Sesempit Mentawai juga mengundang aktivis Pluralis-Fundamentalis-Kaffah lainnya. Kali ini yang perempuan. Nama aktivis itu yang bikin hatinya dag-dig-dug: Hanum Manis. Ia sebenarnya tak marah, tapi masygul dengan keputusan panitia itu. Pertanyannya, kenapa dia? Kenapa harus dia?
Kalau menghadapi Amran, Iqbal yakin bisa menghadapinya dengan santai dan tak akan terpancing untuk bertingkah nyeleneh. Tapi kalau menghadapi perempuan dari masa lalunya ini, ia tak terbayang bagaimana caranya.
Iqbal tak berdaya dan akhirnya memutuskan untuk membatalkan kehadirannya pada acara Perayaan Natal Bersama di Kampung Tak Sesempit Mentawai itu. Ia kirim pembatalannya itu via email. Panitia terkejut dan menduga bahwa itu karena kehadiran Amran. Panitia berusaha membujuk Iqbal tentang hal itu. Iqbal bergeming. Ia tetap pada keputusannya dan mensyukuri dugaan panitia bahwa pembatalannya disebabkan Amran. Rahasianya di masa lalu aman.
Di dalam hatinya, Iqbal menyesali ketidakhadirannya di Kampung Sesempit Mentawai itu. Mau bagaimana lagi, hatinya kecut mendengar nama Hanum Manis yang hatinya tak semanis namanya itu. Iqbal yakin bahwa toleransi ada batasnya, meski ia juga tahu bahwa itu menyalahi petuah bapaknya yang kyai di salah satu ormas ternama di kampungnya. Satu kali bapaknya pernah berpesan, “Le, sabar ki gak ono batese.. Nek ono batese, kui dudhuk sabar. Kui jenenge ngempet” Artinya kira-kira: “Nak, sabar itu tak ada batasnya. Kalau ada batasnya itu bukan sabar. Itu cuma nahan.”
Iqbal tahu bahwa bapaknya benar bahwa sabar itu harus tak berbatas. Kalau ada batasnya, sudah pasti itu bukan kesabaran. Tapi ini bukan sabar. Ini toleransi. Dan menurutnya, toleransi harus punya batas. Kali ini kebetulan saja batasnya Hanum, dan bukan Amran. Jika hanya kehadiran Amran di acara Perayaan Natal Bersama di Kampung Sesempit Mentawai itu, dia masih bisa menoleransinya. Tapi ini Hanum Manis, perempuan yang di masa lalu pernah… Ah, sudahlah. Hatinya sesak mengingat masa lalu itu.
Tapi sayup-sayup, Iqbal akhirnya bisa bernafas lega, panitia mengabarkan bahwa namanya digantikan oleh Azis Anuar Fakhruddin, yang meskipun orang biasa, tapi masih satu kampung dengannya. Kabar burungnya Azis orang serius. “Syukurlah”, batin Iqbal. [##]