Jumat, November 8, 2024

Merawat Pancasila: Antara Demokrasi dan Kleptokrasi

Ryan Ryanardiansyah
Ryan Ryanardiansyah
Penulis Lepas
- Advertisement -

“Mereka mencoba melemahkan kelembagaan demokrasi kami, termasuk pengadilan, badan intelejen, dan kantor etika.”

-Steven Levitsky and Daniel Ziblatt, “Bagaimana Demokrasi Mati”

Pendahuluaan Krisis Demokrasi

Peristiwa “98. Reformasi 98 bukan hanya tentang prihal menurunkan rezim Orba, lebih dari itu Reformasi 98 menjadi kurun-kurun waktu sejarah yang menandai sebuah zaman peralihan yang harus mengorbankan banyak pihak untuk melakukan perubahan yang radikal. Momentum reformasi 98 membentuk masyarakat baru yang mencoba melakukan sebuah integral terhadap suatu kehidupaan berbangsa.

Reformasi “98 memberikan perubahan yang mendalam, hal ini terlihat bagaimana masyarakat mendapatkan hak untuk melakukan berpendapat dan kebebasan berfikir serta lahirnya lembaga pemberantas korupsi atau yang disebut dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Namun kiranya agak naïf juga untuk kondisi hari ini, pada dasarnya euforia reformasi 98 sudah tenggelam. Tentu hal ini membuat kita bertanya apakah bangsa ini sedang merayakan demokrasi atau sedang terserang penyakit kleptokrasi?.

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa kita negera paling aktif secara teori mengejewantahkan istilah demokrasi, namun disatu sisi kita tidak aktif secara praktek. Dalam beberapa kurun waktu terakhir sistem demokrasi kita digempur habis-habisan sehingga menimbulkan serangkain aksi demonstrasi diberbagai penjuru negri, seperti RUU KUHP dan Omnibus Law. Sikap respon dengan sebuah aksi demonstrasi merupakan sikap bagaimana menjaga sebuah demokrasi dari bahaya yang ingin menghancurkan sistem demokrasi.

Namun kini kondisinya yang baru-baru hangat adalah melihat lembaga anti korupsi atau KPK diserang habis-habisan. Apakah kondisi ini menjadi sebuah pendahuluan dari krisis demokrasi di negera ini.. Meminjam istilah dari Abdul Mu’ti dalam buku “Inkulturasi Islam: Menyamai Persaudaraan Keadilan, dan Emansipasi Kemanusiaan” menyebutkan bahwa “Negara yang telah “berubah” menjadi “Kampung Maling”.  Terungkapnya korupsi di beberapa departemen dan lembaga peradilan menunjukan perkembangan “kampung maling” yang cukup pesat.

Hal ini menimbulkan rasa khawatir, para politis, pejabat tinggi di pusat dan daerah, penguasa dan intelektual serta mereka yang mempunyai jejaring yang sangat kuat dan memiliki kekuatan politik dan ekonomi. Sebagaimana yang kita ketahui kasus tes wawasan kebangsaan menjadi salah satu bukti bagaimana demokrasi kita dihancurkan dengan cara yang kurang dramatis namun sangat deskrutif.

Coen Husain Pontoh mengatakan dalam bukunya Malapetaka Demokrasi bahwa “setelah rezim otoriter runtuh, maka demokrasi akan menjelang, kesejahteraan dan keadilan pasti akan datang”. Faktanya, ada kekuasaan lain mencoba melakukan deskrutif terhadap demokrasi, sehingga membentuk demokrasi pasar. Dengan kata lain seseorang mempunyai dua modal yaitu uang dan politik, mereka dapat membeli peraturan dan hukum (law and order buying).

Mengejewantahkan Kembali Pancasila

“Pancasila bukanlah rumus kode buntut

- Advertisement -

Yang hanya berisikan harapan

Yang hanya berisikan hayalan…”

-Iwan Fals-Bangunlah Putra-Putri Pertiwi

Apa yang dikatakan Iwan Fals dalam lirik lagunya, penulis sepakat bahwa Pancasila bukan hanya sekeder hiasaan di gedung lembaga publik tapi lebih dari itu, pancasila bisa menjadi kerangka berfikir kita untuk merawat demokrasi. Seiring menguatnya globalisasi maka orientasi hidup masyarakat berpusat pada materil dan gaya hidup glamour mengarahkan masyarakat untuk membentuk market sebagai lifestyle. Ketika suatu sikap culture-consumerisme itu menguat, disitu juga muncul korupsi sebagai budaya baru untuk mendapatkan “tambahan pengahasilan”. Maka dari itu seyogyanya bagaimana hari ini mengejewantahkan kembali butir nilai pancasila.

Untuk mengejewantahkan kembali Pancasila, ada beberapa hal yang perlu refleksikan ditengah masyarakat Indonesia ini, pertama agama sebagai kebutuhan dasar untuk merefleksikan bahwa sahnya Indonesia adalah negara yang beragama. Maka dari itu para tokoh-tokoh agama sebagai orang yang mempunyai kapabilitas di bidang agama melakukan revitalisasi peran agama dengan membumikan nilai ketuhanan ditengah-tengah era globalization and capilatism. Sehingga dapat memadukan aspek duniawi dan akhirat.

Kedua, peran organisasi dan lembaga masyarakat melakukan strategi sosial-kebudayaan untuk membuat bingkai persatuan dan kesatuan berdasarkan konsep bhineka tunggal ika. Adanya perbedaan budaya harus disikapi dengan bijaksana bukan menjadi konflik. Seperti yang kita ketahui bahwa dengan adanya digitalisasi percampuran budaya barat atau timur atau local wisdom menjadi lebih dekat dengan kita. Organisasi dan Lembaga masyarakat menjadi titik temu budaya.

Ketiga, perlu ditekankan pada ranah pendidikan dengan menumbuhkan sikap integrasi terhadap zaman dengan nalar kritis yang kuat sehingga dapat membentuk generasi bangsa sebagai Intelektual Community yang dapat melawan tindakan hegemoni dalam ruang-ruang publik.

Dengan tiga aspek ini menjadi hal penting untuk merawat pancasila sehingga menghantarkan masyarakat yang demokratis. Dan dapat mengobati penyakit kleptomania yang diidap oleh sebagian oknum. Maka seyognya kita mereflesikan kembali butir-butir pancasila agar Indonesia tidak mengalami masa kritis demokrasi kembali.

Ryan Ryanardiansyah
Ryan Ryanardiansyah
Penulis Lepas
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.