Masalah utama yang dihadapi oleh negara yang sedang membangun seperti Indonesia ialah berkaitan dengan persoalan pendidikan. Tingkat kecerdasan suatu bangsa yang rendah, sukar untuk dapat meningkatkan tanggung jawabnya terhadap kehidupan sendiri maupun global.
Persaingan pasar bebas dan gerakan revolusi industri 4.0 menuntut adanya pengembangan mutu lembaga-lembaga pendidikan yang berkualitas agar dapat bergerak seimbang dengan semangat zaman yang terus berubah.
H.A.R. Tilaar (1992) menyatakan dalam sebuah karyanya, bahwa pendidikan merupakan salah satu dinamisator atas pembangunan nasional. Lebih lanjut, Tilaar menerangkan betapa manajemen pendidikan memiliki peran mutual, yaitu sebagai faktor penggerak dari sebuah sistem manajemen pembangunan nasional.
Agaknya negara tidak akan mampu melakukan pembangunan melampaui apa yang diperoleh dari kemajuan sistem pendidikan nasionalnya. Dengan kata lain, tahap menuju pembangunan nasional menuju bangsa Indonesia yang kuat dan bermartabat sebagai implementasi dari spirit Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tidak akan pernah tercapai selama pendidikan nasional kita belum mencapai tahap landasnya.
Akan tetapi, kenyataan menunjukkan bahwa sistem demokrasi yang berlaku di Indonesia selama ini telah menghilangkan peran keluarga sebagai pendidik utama pada anak. Hilangnya peran keluarga sebagai sektor penting dalam pendidikan mulai terganti oleh sebuah perangkat gadget pada anak yang telah mereposisi kedudukan keluarga dalam banyak hal.
Dampak logis daripada sistem demokrasi (liberal) dan kurangnya peran keluarga dalam dunia pendidikan anak ialah, hilangnya mutu dan kualitas belajar siswa selama di sekolah yang semata-mata hanya menjalani ritual formal dalam rutinitas kesehariannya.
Derasnya arus globalisasi yang diikuti oleh semangat revolusi industri 4.0 selain memberikan dampak positif juga ditemukan banyak penyimpangan terhadap perilaku hidup manusia, terutama pada anak remaja. Penyimpangan itu bisa berupa LGBT, seks bebas, minuman keras, dan masih banyak lagi yang berdampak buruk terhadap seluruh sendi kehidupan manusia.
Pendidikan sebagai upaya terhadap pembangunan kualitas hidup secara terus-menerus mengalami tekanan hebat, akibat kesenjangan kultural yang terjadi di tingkat lokal, nasional maupun internasional. Negara dan setiap sub elemen masyarakatpun dituntut keras dalam meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan anak bangsa, seperti menguatkan kembali nilai-nilai pendidikan karakter berwawasan nusantara.
Sebab itu, kurikulum untuk sekolah-sekolah perlu dirancang khusus tanpa meninggalkan tuntutan minimal dari kurikulum nasional. Pemupukkan sikap dan karakter yang sesuai dengan konsep wawasan nusantara juga harus mendapat prioritas, agar anak-anak zaman sekarang tidak merasa terisolasi dari pranata sosial yang berlaku di tengah masyarakat, apalagi jika sampai lupa dengan legacy nenek moyangnya.
Dalam struktur masyarakat yang sangat beragam dan majemuk ini Organisasi Masyarakat (Ormas) seperti NU dan Muhammadiyah didirikan dengan tujuan menjawab tantangan zaman.
Organisasi tersebut memiliki pola, bentuk, dan tujuan yang eksplisit, terlebih dalam urusan peningkatan mutu pendidikan anak di tingkat dasar dan menengah yang cenderung berorientasikan pada penguatan karakter peserta didik berasaskan nilai-nilai Islam. Pendidikan karakter (akhlak) dalam hal ini mendapat perhatian serius dari berbagai kalangan, terutama keluarga sebagai unsur utama dan menjadi bagian terkecil dari massa rakyat.
Ki Hadjar Dewantara telah mengungkapkan pendapatnya bahwa keluarga termasuk dari tri pusat pendidikan. Bagi Ki Hadjar Dewantara tiga pusat pendidikan berupa keluarga, sekolah, dan organisasi kepemudaan saling berhubungan satu sama lain.
Tantangan dan Hambatan
Berkaitan dengan itu, tri pusat pendidikan akan tetap menjadi suatu enigma yang sulit dipecahkan apabila tidak ada hubungan sinergis antara keluarga dan sekolah. Keluarga dalam hal ini menjadi tempat pertama dalam terjadinya proses pendidikan pada anak.
Namun, permasalahan yang ditemui di lapangan sangat paradoks dari tujuan sistem pendidikan nasional. Di era milenial ini, telah banyak terjadi ketimpangan yang membuat kita terperanjat kaget tak percaya, kita yg sejak lama dikenal sebagai bangsa yang pancasilais dan agamis telah terkikis akibat ulah diri kita sendiri.
Sebagai langkah strategis, pertama kali yang harus dilakukan adalah dengan melakukan penguatan sistem pendidikan keluarga. Karena berawal dari keluargalah lingkungan yang baik dan budi pekerti diproduksi. Sebagai langkah praktis setelah langkah pertama akan mengarah pada pendidikan akhlak dan sikap terbuka, berarti menerima pertimbangan berbagai perspektif lainnya.
Lewat kedua langkah tersebut di atas, kiranya kita dapat menumbuhkan kepribadian bangsa Indonesia yang ramah dan secara ekstensif bisa menatap masa depan yang lebih optimis.
Sebagai catatan akhir, saya akhiri tulisan ini dengan kalimat afirmatif Quraish Shihab (2016), bahwa yang hilang dari kita selama ini adalah akhlak. Pendidikan akhlak itu bukan sekedar mengetahui apa yang baik dan buruk, tetapi mengetahuinya untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Di tengah dunia yang serba chaos ini, kita tidak bisa mengelak dari keadaan tersebut kecuali dengan menjaga perilaku anak-anak kita, lewat pendidikan akhlak serta membiasakan hal-hal yang baik.