Rabu, April 30, 2025

Menyuarakan Pendapat di Era Sensitivitas Politik

Karunia Kalifah Wijaya
Karunia Kalifah Wijaya
Laki-laki kelahiran 13 Maret 1997 yang berasal dari sebuah kabupaten kecil yang terletak di lereng Gunung Merapi, tepatnya di Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Saat ini sedang menempuh pendidikan S1 di Fakultas Psikologi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, ruang di mana perjalanan intelektual dan spiritual saya terus berkembang. Lebih dari sekadar mahasiswa, saya adalah seorang pembelajar yang terinspirasi oleh filosofi dan gagasan luhur Ki Hadjar Dewantara. Pemikiran beliau tentang pendidikan dan kemanusiaan menjadi kompas hidup saya, memandu setiap langkah dalam memahami jiwa manusia dan mencari makna dalam kehidupan.
- Advertisement -

“Kebebasan berbicara tidak hanya berarti memiliki hak untuk berbicara, tetapi juga keberanian untuk menggunakannya.” – Barack Obama.

Dalam masyarakat yang semakin kompleks dan terhubung, kebebasan berbicara menghadapi tantangan baru yang tidak lagi terbatas pada hukum atau regulasi negara, tetapi juga tekanan sosial yang semakin kuat. Hari ini, berbicara secara terbuka tentang politik, ideologi, atau bahkan pandangan moral bukan lagi sekadar tindakan mengekspresikan diri, tetapi juga sebuah risiko sosial. Setiap kata yang diucapkan dapat dikutip, dipolitisasi, dan disalahartikan, sering kali tanpa konteks yang jelas.

Di era digital, di mana media sosial menjadi medan utama pertarungan opini, ekspresi politik bukan lagi perkara sederhana. Sebuah pernyataan yang dilontarkan di ruang privat pun dapat dengan mudah menyebar dan menimbulkan konsekuensi publik yang tidak terduga. Kita menyaksikan bagaimana individu, tokoh publik, bahkan akademisi harus menghadapi serangan daring, cancel culture, hingga boikot hanya karena pendapat mereka tidak selaras dengan opini mayoritas atau kelompok dominan.

Pertanyaannya kemudian, apakah fenomena ini mencerminkan berkurangnya kebebasan berbicara? Apakah ini adalah tanda bahwa kita semakin takut untuk berbicara secara jujur, atau justru ini adalah bentuk adaptasi sosial yang alami? Apakah diam adalah bentuk kebijakan, atau justru sebuah bentuk kepengecutan intelektual?

Ketika Kebebasan Berbicara Menjadi Beban

Dalam teorinya tentang Spiral of Silence, Elisabeth Noelle-Neumann (1974) menjelaskan bahwa individu cenderung menahan pendapat mereka jika merasa bahwa opini mereka minoritas atau berpotensi dikritik oleh lingkungan sosial. Hal ini menciptakan sebuah fenomena sosial di mana suara mayoritas semakin terdengar dominan, sementara suara-suara yang berbeda perlahan menghilang dari ruang publik.

Fenomena ini tidak hanya terjadi dalam sistem politik otoriter tetapi juga dalam masyarakat demokratis. Bahkan, dalam sistem demokrasi modern, tekanan sosial bisa lebih kuat dibandingkan sensor pemerintah. Hari ini, orang tidak hanya takut akan konsekuensi hukum atas pernyataan mereka, tetapi juga takut akan cancel culture, stigma sosial, hingga ancaman kehilangan pekerjaan atau hubungan personal.

Konsekuensi dari fenomena ini adalah terbentuknya ilusi konsensus, sebuah kondisi di mana sebuah opini tampak sebagai opini mayoritas, padahal banyak orang sebenarnya menahan diri untuk tidak berbicara. Sebagai contoh, di lingkungan akademik dan profesional, banyak orang yang sebenarnya memiliki pandangan yang berbeda tentang isu-isu sensitif seperti kebijakan keberagaman, kebebasan beragama, atau identitas gender, tetapi memilih diam karena takut akan konsekuensi sosial dari menyuarakan pandangan mereka.

Lebih jauh, sensor diri ini bukan hanya tentang ketakutan akan hukuman sosial, tetapi juga tentang bagaimana manusia secara naluriah berusaha mempertahankan posisi mereka dalam jaringan sosial. Kita hidup dalam ekosistem yang penuh dengan norma-norma yang tidak selalu tertulis, tetapi sangat berpengaruh dalam menentukan siapa yang diterima dan siapa yang dikucilkan.

Antara Kejujuran dan Kecerdasan Sosial

Di satu sisi, kita sering kali diajarkan bahwa kejujuran adalah prinsip moral yang harus dijunjung tinggi. Tetapi, dalam konteks sosial, apakah selalu berbicara dengan jujur adalah pilihan yang bijaksana? Dalam teori komunikasi, konsep code-switching menjelaskan bagaimana individu secara alami menyesuaikan cara berbicara mereka tergantung pada audiens mereka. Seseorang bisa berbicara dengan bahasa yang lebih akademis di lingkungan akademik, tetapi menggunakan bahasa yang lebih santai saat berbicara dengan teman-temannya.

Fenomena ini juga terjadi dalam diskusi politik. Seorang konservatif yang berbicara dengan kelompok liberal mungkin akan memilih kata-kata yang lebih netral agar tidak menimbulkan konflik, begitu pula sebaliknya. Ini bukan berarti mereka berbohong, tetapi mereka berusaha untuk menyesuaikan ekspresi mereka agar lebih efektif dalam berkomunikasi.

- Advertisement -

Namun, masalah muncul ketika code-switching berubah menjadi pemalsuan preferensi (preference falsification), di mana seseorang tidak hanya menyensor kata-katanya, tetapi juga berpura-pura mendukung opini yang sebenarnya tidak mereka yakini. Timur Kuran (1995) menunjukkan bahwa ketika individu secara kolektif memalsukan preferensi mereka, ini dapat menciptakan ketidakstabilan sosial, di mana suatu sistem atau kebijakan bertahan bukan karena didukung secara luas, tetapi karena tidak ada yang berani menentangnya.

Polarisasi atau Moderasi? Menilik Dampak Sensor Diri dalam Politik

Salah satu perdebatan utama dalam kajian sensor diri adalah apakah fenomena ini memperburuk polarisasi atau justru membantu menciptakan moderasi dalam diskusi politik.

Beberapa pihak berargumen bahwa sensor diri memperburuk polarisasi. Ketika orang-orang takut untuk berbicara jujur, mereka menciptakan ruang gema (echo chamber) yang memperkuat opini kelompok dan memperlemah diskusi lintas ideologi. Hal ini bisa dilihat dalam bagaimana media sosial mendorong individu untuk hanya berinteraksi dengan orang-orang yang sependapat dengan mereka, menciptakan pemisahan yang semakin tajam antara kelompok ideologis yang berbeda.

Namun, ada juga argumen yang menunjukkan bahwa sensor diri justru membantu mengurangi ketegangan sosial dan mendorong moderasi. Jika individu terlalu frontal dalam menyuarakan opini mereka, hal ini bisa memperburuk konflik dan menghambat dialog yang konstruktif. Dalam konteks ini, menyesuaikan cara berbicara dengan audiens bukanlah tindakan pengecut, tetapi strategi komunikasi yang efektif untuk menjaga kohesi sosial.

Berani Bicara, Berani Mendengar

Pada akhirnya, kebebasan berbicara bukan hanya soal berbicara, tetapi juga soal mendengar. Kita tidak hanya perlu keberanian untuk menyuarakan pendapat, tetapi juga kebijaksanaan untuk menavigasi ruang sosial yang semakin sensitif.

Jika kita terlalu takut untuk berbicara, maka kita kehilangan kesempatan untuk berdiskusi dan berkembang. Tetapi jika kita berbicara tanpa mempertimbangkan dampaknya, kita justru memperburuk polarisasi dan menciptakan lebih banyak konflik.

Jadi, apakah kita cukup berani untuk berbicara? Dan yang lebih penting, apakah kita cukup terbuka untuk mendengar?

Karunia Kalifah Wijaya
Karunia Kalifah Wijaya
Laki-laki kelahiran 13 Maret 1997 yang berasal dari sebuah kabupaten kecil yang terletak di lereng Gunung Merapi, tepatnya di Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Saat ini sedang menempuh pendidikan S1 di Fakultas Psikologi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, ruang di mana perjalanan intelektual dan spiritual saya terus berkembang. Lebih dari sekadar mahasiswa, saya adalah seorang pembelajar yang terinspirasi oleh filosofi dan gagasan luhur Ki Hadjar Dewantara. Pemikiran beliau tentang pendidikan dan kemanusiaan menjadi kompas hidup saya, memandu setiap langkah dalam memahami jiwa manusia dan mencari makna dalam kehidupan.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.