Perbincangan ulama dan perpolitikan bukanlah hal yang baru, dalam sejarah Islam terdahulu para penguasa kerap menjadikan ulama sebagai stempel dalam melegitimasi regulasi hukum dan kebijakan-kebijakan politiknya.
Bahkan diyakini, beberapa mahzab yang sampai saat ini tetap terjaga eksistensinya merupakan hasil pergulatan para ulama-ulama besar yang hidup pada zamannya.
Tak lama sebelumnya, dan masih hangat menjadi perbincangan dalam arena pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) diberbagai daerah baik lingkup provinsi bahkan merambah ke kota dan kabupaten sebagai salah satu hajatan pemerintah dan masyarakat ditingkat lokal menjadi daya tarik tersendiri bagi penikmat pesta demokrasi yang tak jarang melibatkan berbagai tokoh-tokoh agama dan para ulama.
Jurus Pemikat yang Ampuh
Ali Maschan Moesa (1999) mengatakan, ulama diakui memiliki kelebihan dibandingkan dengan individu atau kelompok-kelompok masyarakat yang lain. Keunggulan dalam ilmu dan keunggulan beramal turut menjadikan seorang ulama menyandang status sebagai sosok yang selalu berusaha menyempurnakan diri bahkan berusaha untuk menyempurnakan orang lain.
Namun di satu sisi yang lain haruslah kita sebagai makhluk yang dikarunia akal pandai-pandai dalam memandang sosok ulama, seperti yang digolongkan oleh Imam Ghazali ke dalam dua jenis.
Ulama akhirat, merupakan ulama yang mewariskan semangat nabi menjadikan seluruh hidupnya sebagai ‘abdi’ untuk melestarikan nilai keagamaan dengan ilmu yang dimiliki, kedalaman ilmu yang dimiliki tersebut ia jadikan sebagai sandaran untuk tetap berbagi serta menyelesaikan segala bentuk persoalan yang terjadi di sekitar, tetap kharismatik dan tidak mudah terbawa arus terutama dalam pertarungan memperebutkan sebuah kekuasaan.
Berbeda sebaliknya dengan Ulama dunia, orientasi penerapan ilmunya hanya digunakan untuk kepentingan dan memuaskan hasrat duniawi.
Sosok ulama memang sangat identik dengan kharisma yang tinggi di kalangan masyarakat, sebagai panutan yang disebutkan dalam ajaran islam sebagai penerus para nabi dalam menyampaikan nilai-nilai keagamaan.
Hal demikian itu yang menjadikan peran para tokoh agama dan ulama menjadi sangatlah vital, mereka seringkali dikultuskan karena dianggap memiliki kedudukan yang tidak terjangkau terutama oleh kebanyakan masyarakat awam. Seorang ulama dengan segala kelebihannya bahkan betapapun kecil lingkup pengaruhnya masih diakui oleh masyarakat sebagai sosok yang ideal yang mungkin saja dapat mengindikasikan adanya kedudukan kultural ataupun struktural.
Kondisi ini yang kemudian sangat memungkinkan seorang ulama mampu memiliki peranan yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat ataupun seluruh pengikutnya baik dalam bidang religiusitas, bahkan mungkin di persoalan ekonomi, politik dan sosial kemasyarakatan lainnya.
Konsistensi yang Dipertanyakan
Belakangan ini, fenomena ulama yang kemudian terjun kedalam politik dan secara tidak langsung menjadikan seorang ulama sebagai aktor politisi menjadi hal yang lumrah dan sah-sah saja dalam perundang-undangan.
Tak hanya menjadi sebuah tuduhan bagi kalangan ulama besar, hal ini juga dapat menjadi ‘senjata makan tuan’ yang mencoreng nama baik para tokoh agama tersebut. khususnya setelah dideklarasikannya salah satu ulama kondang yang ikut tercatat dalam bursa calon presiden dan wakil presiden periode 2019-2014.
Biasanya alasan yang sering digunakan adalah bertujuan untuk membela dan menjaga agama, pada poin ini tidak ada hal yang aneh dan perlu dikritisi secara mendalam, siapa saja berhak membela agama dengan cara apapun bahkan diranah menjabati sebuah kekuasaan.
Namun pertanyaannya adalah apa sebenarnya yang dimaksud membela agama? Apakah membela agama harus merebut dan bertarung melalui kekuasaan melalui peran para ulama? Apakah membela agama tidak cukup dengan menjaga konsistensi menegakkan nilai-nilai keagamaan seperti halnya keadilan, kedamaian, kerukunan, persaudaraan dan keragaman?
Akhir-akhir ini menjadi tawaran strategis, merangkul para ulama adalah cara jitu untuk tetap menjaga keutuhan beragama, memang sepintas terdengar sangat mulia dan luhur. Dalam realitanya, teriakan-teriakan bahkan cara-cara seperti itu seakan-akan sungguh berhasil menghipnotis para pendengar atau si pembaca di halayak ramai baik media manapun.
Tapi politik sedikipun tidaklah mereda, bahkan semakin menjadikan agama beserta para ulama sebagai senjata dengan alih-alih menjaga kerukunan. Yang terjadi, ulama sebagai symbol agama malah semakin kehilangan auranya sebagai salah satu instrumen pembawa kesejukan dan pencerahan bagi masyarakat.
Pada bagian inilah keterlibatan ulama dalam dunia perpolitikan seharusnya menjadi perhatian serius oleh semua elemen masyarakat, bahkan kalau seandainya boleh, perlu diberikan kritikan keras dalam rangka semata-mata ingin menjaga khittah para ulama dalam menjadikan agama sebagai sumber inspirasi bukan disintegrasi melalui celah-celah yang memungkinkan keduanya (agama-ulama) untuk dipolitisasi oleh oknum yang syarat akan kepentingan melalui kekuasaan disektor lokal, daerah maupun nasional.
Semestinya, dalam kondisi kebangsaan yang sekarang ini sedang carut-marut, masyarakat sangat membutuhkan ulama yang siap menjaga jarak dengan kepentingan politik praktis sembari mengedepankan pandangan dan nasihat keagamaan yang mencerahkan dan ikut andil dalam mengawal tumbuhnya wacana pemikiran-pemikiran solutif bagi kalangan pemerintahan demi mewujudkan kedamaian dan memperkuat keindonesiaan.
Kharisma yang Melemah
Cobalah kita amati bersama, hiruk pikuk para ulama menjelang pesta demokrasi yang degelar setiap 5 tahun sekali ini. Setiap kali pentas politik digelar, masih banyak para tokoh agama atau beberapa ulama yang ikut menyibukkan diri menjadi ‘corong’ dari para oknum politisi, kandidat calon dan bahkan ikut terjun langsung menjadi pasangan calon yang siap bersaing dengan kubu lain yang menjadi rival politiknya.
Ulama yang sampai saat ini ‘golput’ dari kepentingan politik dan sangat menjaga jarak dengan politik praktis kekuasaan harus kita akui keberadaannya sudah sangat langka sehingga perlu kita lindungi keberadannya agar tidak menjadi punah.
Realita yang berlangsung hari ini, sudah mulai menunjukkan hal berbanding terbalik sebagaimana sejatinya peran dan fungi ulama didalam sebuah tatanan masyarakat, dimana banyaknya para ulama yang kehilangan taringnya didepan pemangku kekuasaan, sikap kritis kepada pemerintah sudah tumpul bahkan tidak banyak para ulama yang memutuskan untuk menjadi kolega dalam perpolitikan hanya sekedar ‘menjaga suara’ agar tetap aman sehingga mampu memenangkan pertarungan.
Kesalahan-kesalahan kecil seperti inilah yang sering dilakukan oleh para ulama sehingga dengan sadar atau tidak menyadari akan melemahkan kharismatik dari sosok yang dipercayai sebagai pewaris para nabi terdahulu, peran seorang ulama menjadi samar ditengah-tengah kehidupan bermasyarakat yang berindikasi hilangnya sebuah kepercayaan.