Sudah dua hari belakangan ini, rumah Pak Widjojo terlihat sepi tak berpenghuni. Lima puluh meter arah timur dari rumah Pak Widjojo – ada sebuah taman kecil yang baru saja terbangun – khusus di buat oleh Pak Lurah bagi para warganya.
Di tengah hiruk pikuk politik soal isu beli suara menjelang pemilukada yang turut mencemari lingkungan tersebut, entah dalih apa maksud dari Pak Lurah, saya tetap husnudzon menilai tujuan dari Pak Lurah membangun taman itu adalah demi memberikan kenyamanan bagi para warganya yang bertempat tinggal di wilayah itu semata.
Sementara dari keterangan Pak Lurah sendiri, konon taman tersebut katanya diperuntukkan bagi para warga yang apabila merasa bosan berdiam diri di rumah bisa memilih taman itu untuk mendapatkan suasana berbeda.
Di taman itu, pada pagi hari selepas ayam berkokok, Pak Ijo (nama akrab PakWidjojo bagi masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya) beserta Istri biasanya terlihat berjalan-jalan kecil mengitari wilayah taman tersebut.
Ya, semenjak istrinya bunting lima bulan mengandung anak pertama mereka, Pak Ijo yang sehari-harinya bekerja pada pabrik tekstil kenamaan di kota metropolis itu – untuk sesaat menanggalkan urusannya membahagiakan para kapitalis dengan memusatkan perhatiannya pada rutinitas memanjakan sang istri (yang katanya) demi kesenangan sang buah hati yang akan lahir ke dunia itu.
Pada suatu hari di siang bolong, ia sempat mampir ke rumah saya untuk memetik beberapa buah mangga muda yang kebetulan tengah berbuah lebat di halaman rumah. Untuk istri yang tengah ngidam, katanya. Pohon itu tingginya lebih kurang mencapai 40 meter-an. Pak Ijo bisa dibilang nekat juga ingin menaiki pohon tersebut. Saya sendiri sebagai pemilik ogah untuk memanjatnya karena merasa ngeri dengan ketinggiannya.
Perlu untuk memiliki pengalaman dan pengetahuan yang memadai soal teknik dunia panjat-memanjat bagi barang siapa yang hendak memanjat pohon itu. Misal, pentingnya untuk mengukur kekuatan angin yang berhembus di sekitar pohon ataupentingnya memastikan kerapuhan batang pohonnya.
Mungkin sepele, namun halsemacam itu penting untuk diperhatikan apabila tidak ingin kejadian buruk menimpa siapa saja yang hendak memanjat pohon (jenis apa saja). Namun, hal itu sepertinya tidak berlaku bagi Pak Ijo. Demi memenuhi hasrat ngidam istrinya itu – rintangan dan pantangan macam apapun tidak menjadi penghambat.
Rumah yang hanya berjarak sepuluh meter dengan Masjid yang terletak di sebelah barat tersebut, kini senyap dalam aktivitas kebiasaan Pak Ijo. Rumor yang beredar dari mulut tetangga mengatakan bahwa istri Pak Ijo sebelumnya mengalami komplikasi hebat sehingga harus segera dilarikan ke rumah sakit.
Lalu konon kabarnya akibat komplikasi itu, bayi yang dikandung oleh Istri Pak Ijo harus segera dilahirkan. Sang Ibu berhasil melahirkan secara normal dengan selamat. Namun dari keterangan dokter yang menangani, sang bayi – terlahir secara prematur atau tidak normal. Berat bayi Pak Ijo yang baru saja lahir ternyata tidak mencapai angka berat bayi normal pada umumnya.
Dalam kitab dunia kedokteran, kelahiran prematur adalah kelahiran yang terjadi pada tiga minggu atau lebih sebelum waktu kelahiran normal. Dalam kasus lain, sering terjadi karena ibu tiba-tiba merasa harus melahirkan saat itu juga, padahal usia kehamilan belum cukup dan pertumbuhan bayi dalam rahim masih belum sempurna.
Konon, bayi yang terlahir secara prematur berpotensi mengalami resiko penyakit yang cukup berbahaya bagi tumbuh kembangnya nanti seperti, learning disabilities, gangguan neurologis, cacat fisik, dan banyak jenis penyakit lainnya yang ogah saya sebutkan satu persatu karena kengerian dan ketidakmengertian saya pada macam penyakit-penyakit tersebut.
Ngomong-ngomong soal prematur – selain sepotong kisah kelahiran prematur yang dialami oleh anak Pak Ijo di atas, ada suatu peristiwa kelahiran prematur lain yang belakangan ini cukup heboh di jagat Indonesia. Bukan kelahiran prematur seorang bayi. Melainkan lahirnya tiga pasal RUU MD3 (MPR, DPD, DPR, dan DPRD) yang telah disahkan oleh DPR.
Dibandingkan dengan potensi penyakit bayi yang terlahir prematur, saya sebetulnya lebih merasa ngeri dengan potensi ‘penyakit’ yang akan ditimbulkan akibat dangkalnya rasio dan tindakan pemerintah yang mengesahkan RUU MD3 itu. Kemungkinan dampak negatif yang impulsif bisa timbul ke depannya kepada masyarakat dan negara inisecara lebih luas.
Konon, DPR yang berdiri sebagai lembaga legislatif yang menampung aspirasi rakyat itu mendapatkan tiga kuasa tambahan, yaitu pemanggilan paksa dalam rapat DPR,imunitas, dan juga anti kritik.
Imunitas dan Anti Kritik
Bisa anda bayangkan betapa ngerinya kata-kata itu. Pasal imunitas dan juga antikritik pada esensinya adalah suatu tanda kemunduran bagi negara ini. Mungkin secara eksplisit pasal tersebut hanyalah sebuah produk formalitas peraturan dari DPR sebagai sebuah fungsi lembaga legislatif di pemerintahan sebagaimana lazimnya peraturan negara yang lain.
Namun secara implisit, pasal imunitas dan antikritik merupakan suatu bentuk pembunuhan terhadap kebebasan demokrasi yang telah larut menjadi pilar kehidupan rakyat Indonesia dalam berbangsa dan bernegara saat ini. Seperti ada upaya pemerintah untuk menciptakan gap dengan menutup ruang koneksi kepada masyarakat melalui pasal tersebut.
Tugas dan fungsi DPR yang dinarasikan sebagai ‘penyambung lidah rakyat’ justru ambivalen apabila diaktualisasikan melalui peraturan semacam itu kepada rakyat yang sejatinya telah berjasa terhadap berdirinya legitimasi kelembagaan dan wewenang orang-orang yang ada di lembaga DPR itu sendiri.
Perjalanan Indonesia dari masa pemerintahan pasca kemerdekaan era demokrasi parlementer hingga era reformasi demokrasi seperti sekarang ini tidaklah dilewati dalam tempo waktu yang singkat. Mestinya ia dimaknai sebagai sebuah hadiah perjuangan kemerdekaan dalam bernegara yang harus diusahakan dan dipertahankan terus tanpa henti.
Di mana seharusnya pula kekuasaan mayoritas bagi warga negara hari ini dipegang secara utuh dan sepenuhnya untuk membawa negara ini ke arah yang lebih baik. Sehingga menurut saya, terlalu naïf rasanya apabila hendak dihancurkan oleh seonggok peraturan yang lahir prematur dari pragmatisme syahwat kekuasaan minoritas semata.
Sudah menjadi tugas kita semua untuk terus mengawal negara ini agar tidak jatuh di lubang yang sama dimana kala itu negara ini pernah merasakan kuatnya represifitas otoritarianisme pemerintahan era Soeharto – dimana hegemoni kuasa atas negara yang begitu kuatnya menyebabkan aspek pengetahuan, sosial, ekonomi, budaya bersifat sentralitas sehingga menutup kebebasan rakyat pada masa itu.
Sekarang,saya mulai di selimuti perasaan ketakutan dan kesedihan yang luar biasa. Tidak hanya karena soal kabar dari Pak Ijo, tetapi juga soal kemunduran demokrasi negara yang ditandai oleh depresinya pemerintah kita akan kekuasaan dengan mulai menggaungkan kembali rezim atau penguasa yang represi.