Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi memiliki posisi yang strategis dalam mengubah kebijakan maupun tata kelola negara. Ditambah dengan kewenangan penindakan yang memungkinkan KPK menangkap banyak koruptor di negeri ini. Posisi strategis ini lah yang kemudian memunculkan banyak resistensi di antara oknum-oknum yang merasa terusik dengan kerja KPK.
Resistensi tersebut muncul dalam berbagai bentuk, baik yang sifatnya kasuistis dan diarahkan kepada individu, maupun yang menyentuh kebijakan dan menyerang kinerja KPK sebagai sebuah lembaga seperti peristiwa cicak vs buaya yang berjilid-jilid.
Resistensi yang kemudian dapat dianggap sebagai upaya pelemahan terhadap KPK tersebut, makin tidak mampu dibendung dikala datang dari DPR sebagai legislatif melalui mekanisme yang sah proses legislasi dengan cara melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 (Revisi UU KPK).
Kondisi inilah yang dihadapi KPK saat ini, dimana DPR kembali menggulirkan revisi terhadap UU KPK yang disahkan dalam rapat paripurna (5/9/2019) dengan seluruh fraksi di DPR setuju revisi UU KPK menjadi RUU inisiatif DPR.
Sejatinya mengubah sebuah peraturan bukanlah sesuatu yang tabu. Bahkan, peraturan setingkat konstitusi pun bisa diubah melalui amandemen jika ada kehendak mayoritas rakyat.
Dalam konteks UU perubahan atau revisi dapat dilakukan dengan menyisipkan atau menambah materi ke dalam rumusan ketentuan UU atau dengan menghapus serta mengganti sebagian materi dari UU tersebut. Namun yang terjadi pada rencana revisi UU KPK adalah sebaliknya, dimana rakyat seolah dilupakan dengan ”operasi senyap” yang tiba-tiba oleh DPR. Maka setidaknya ada 3 (tiga) problem yang patut dipersoalkan terhadap rencana revisi UU KPK.
Pertama, problem legislasi, secara historis usaha untuk melakukan revisi terhadap UU KPK sudah berkali-kali dilakukan. Pertama kali diwacanakan pada 26 Oktober 2010 pada masa pemerintahan presiden SBY namun gagal karena presiden SBY menyatakan sikapnya dengan menilai revisi UU KPK waktunya belum tepat.
Kemudian tahun 2015 revisi ditunda lewat kesepakatan pemerintah dan DPR, 2016 presiden Jokowi menghentikan rencana revisi, 2017 revisi kembali ditolak rakyat, 2018 DPR tidak mewacanakan revisi karena bersamaan dengan pemilu serentak dan barulah 2019 DPR kembali menggulirkan revisi terhadap UU KPK (m.detik.com).
Pelaksanaan fungsi legislasi DPR ini perlu menjadi perhatian mengingat masa jabatan DPR periode 2014-2019 akan berakhir pada 30 September mendatang. DPR saat ini seakan mengebut pembahasan revisi UU KPK yang tidak masuk program legislasi nasional (prolegnas). Padahal menurut Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan bahwa RUU, baik yang berasal dari DPR maupun Presiden serta RUU yang diajukan DPD kepada DPR haruslah disusun berdasarkan prolegnas.
Selain itu, Pasal 23 ayat (2) menjelaskan bahwa dalam keadaan tertentu, DPR atau Presiden memang dapat saja mengajukan RUU di luar prolegnas yang mencakup untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam dan keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional. Sehingga jika pun revisi UU KPK dianggap DPR sebagai sesuatu yang mendesak di luar prolegnas maka tidak relevan karena patokannya sudah sangat jelas.
Kengototan DPR untuk merevisi UU KPK juga seakan menjadi anomali sebab kinerja DPR di bidang legislasi sangatlah rendah. Dari 189 RUU prolegnas hanya 26 RUU yang disahkan dengan rincian 3 tahun 2015, 10 tahun 2016, 6 tahun 2017, 5 tahun 2018 dan baru 2 RUU pada tahun 2019 (tirto.id). Kondisi ini diperparah dengan kasus korupsi yang dilakukan oleh wakil rakyat tersebut bahkan merambah hingga ketua DPR.
Kedua, problem materi, salah satu substansi dari revisi UU KPK adalah soal pembatasan penyadapan (interception) yang harus dapat izin dari Dewan Pengawas. Ketentuan ini tentu akan membuat KPK sulit untuk melakukan operasi tangkap tangan (OTT).
Sebab dapat dibayangkan jika penyadapan harus izin terlebih dahulu kepada Dewan Pengawas maka akan berpotensi bocornya informasi penyadapan, sehingga terduga koruptor dapat menempuh langkah-langkah memanipulasi alat bukti dan menghilangkan jejak keterlibatannya. Maka sudah seharusnya revisi UU KPK tidak mengutak-atik kewenangan penyadapan karena kontraproduktif dengan semangat pemberantasan korupsi. Efek terbesarnya tanpa bebas melakukan penyadapan, KPK dipastikan semakin sulit mengungkap kasus-kasus korupsi besar.
Selain itu, DPR juga sangat berkeinginan memberikan kewenangan surat penghentian penyidikan dan penuntutan (SP3) kepada KPK. Padahal, kewenangan SP3 KPK tidak lagi relevan setelah tersedianya mekanisme koreksi atas penetapan tersangka oleh KPK melalui lembaga praperadilan.
Salah satu problem utama yang selalu menghambat proses penegakan hukum (law enforcement) di Indonesia adalah buruknya integritas penegak hukum. Praktik persekongkolan antara aparat penegak hukum dan tersangka berakibat tidak maksimalnya fungsi penindakan. Tidak adanya SP3 dimaksudkan untuk memaksimalkan proses penegakan hukum terhadap tindak korupsi yang sedang KPK tangani, sehingga seluruh perkara yang ditangani oleh KPK akan berakhir di pengadilan, bukan di tengah jalan.
Selain soal penyadapan dan SP3 masih banyak lagi ketentuan kontroversial yang dibuat DPR secara tertutup dari publik dan tidak jelas dasarnya ini patut dicurigai akan “menggergaji” kewenangan dan mengubah wajah KPK kedepannya. Padahal jika ingin merevisi UU KPK maka standarnya tentu saja ketentuan yang ada dalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU Nomor 7 Tahun 2006.
Indonesia memiliki kewajiban hukum untuk menyelaraskan ketentuan hukum nasionalnya dengan UNCAC. Sehingga materi revisi UU KPK seharusnya mengakomodir ketentuan-ketentuan UNCAC yang belum diatur sempurna dalam UU KPK seperti mengkriminalisasi delik-delik korupsi baru memperdagangkan pengaruh (trading in influence), penyembunyian hasil korupsi, korupsi di sektor swasta hingga instrumen pemidanaan.
Ketiga, problem paradigma, dalam revisi UU KPK saat ini DPR mencoba menggeser paradigma pemberantasan korupsi dari penindakan kepada pencegahan. Padahal fokus utama KPK sejatinya adalah penindakan kasus korupsi besar, termasuk yang melibatkan aparat penegak hukum atau pejabat negara.
KPK juga menangani kasus-kasus yang menimbulkan keprihatinan publik seperti yang termaktub dalam Pasal 6 UU KPK. Lebih dari itu, semua investigasi yang dilakukan KPK harus dikembangkan menjadi penuntutan untuk menghindari potensi penyimpangan dimana diskresi untuk menghentikan tuntutan melahirkan peluang bagi pemerasan, seperti yang terjadi di masa lalu.
Akhirnya realisasi revisi terhadap UU KPK akan sangat bergantung sepenuhnya pada persetujuan Presiden dalam bentuk surat presiden (surpres) kepada DPR. Presiden tentu harus mendengarkan suara rakyat serta memetik pelajaran dari kegagalan badan-badan pemberantasan korupsi sebelumnya yang tidak memiliki independensi, sumber daya yang cukup dan dukungan politik yang kuat dari elite politik sehingga mandul dan akhirnya dibubarkan.