Upaya pembaharuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sedang gencar-gencarnya dilakukan, hal ini dikarenakan mayoritas norma yang ada di dalam KUHP saat ini sudah tertinggal dan tidak relevan dengan realitas kejahatan yang sangat dinamis. Sehingga asumsi untuk memperbaharui KUHP menjadi perhatian utama.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mempunyai tanggungjawab yang kuat karena memiliki kewenangan sebagai fungsi legislasi. Tetapi dalam setiap pembahasannya selalu menarik perhatian dan menjadi polemik yang berkepanjangan.
Pada pembahasan sebelumnya, draf Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) menuai penolakan dan pertentangan oleh sebagian masyarakat. Kini, draf RKUHP yang sedang digodog oleh DPR pun kembali menjadi topik pembicaraan dikalangan publik maupun praktisi hukum.
DPR dan pemerintah menjadi buah bibir karena menggagas rumusan delik tindak pidana khusus dimasukkan ke dalam RKUHP, seperti rumusan delik tindak pidana korupsi (tipikor), pelanggaran berat HAM, narkotika, dan terorisme. Gagasan itu menimbulkan pro dan kontra serta pertentangan yang signifikan oleh beberapa kalangan termasuk lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Salah satu yang menjadi sorotan adalah diaturnya delik tipikor ke dalam RKUHP, hal tersebut dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum serta berimplikasi pada pelemahan terhadap kewenangan lembaga KPK. Menindak lanjuti hal tersebut, KPK mengirimkan surat kepada presiden yang pada substansinya keberatan atas pasal yang dirumuskan dalam RKUHP saat ini.
Peta Masalah
Persoalan diatas jika dipahami lebih dalam, merupakan tindak lanjut dari upaya rekodifikasi KUHP. Namun, memasukkan delik tindak pidana khusus ke dalam KUHP bukanlah merupakan hal yang urgent. Melalui tulisan ini, penulis ingin mengurai masalah-masalah tersebut melalui tataran politik hukum dan efektifitasnya dalam praktik ketatanegaraan saat ini.
Pertama, memang dalam sistem hukum eropa kontinental seperti yang dianut Indonesia, kodifikasi hukum merupakan karakteristik. Tapi, politik hukum yang berkembang saat ini belum sepenuhnya menghendaki adanya rekodifikasi hukum secara utuh, bangsa ini masih membutuhkan produk hukum sebagai bentuk pemenuhan hukum dan penyempurnaan hukum.
Kedua, menjadi kesepakatan bersama bahwa kejahatan tipikor, pelanggaran berat HAM, narkotika maupun terorisme termasuk dalam ranah extra ordinary crime, yang artinya sebuah kejahatan dengan klasifikasi khusus dan dengan penanganan khusus. sementara KUHP sendiri merupakan induk dari produk hukum pidana umum. Walaupun hanya sebagian pasal yang dimasukkan, apabila klausul tindak pidana khusus dirumuskan ke dalam KUHP, maka secara tidak langsung menjadi bagian tindak pidana umum bukan lagi klasifikasi extra ordinary crime. Kemudian, yang menjadi pertanyaan, apa urgensi dimasukkannya delik tindak pidana khusus ke dalam KUHP?
Ketiga, dalam hal delik tindak pidana korupsi, jika dicermati pasal yang dirumuskan dalam RKUHP saat ini, mangambil beberapa pasal yang ada di dalam UU Tipikor. Artinya, substansi dan karakter normanya tetap sama. Dalam teori hukum, ada asas lex posterior derogat legi priori (aturan yang baru mengesampingkan aturan terdahulu) berarti asas ini menghendaki sejumlah pasal yang ada di dalam UU Tipikor menjadi tidak berlaku, dan yang berlaku yang ada di dalam KUHP. Tetapi dalam praktik, hal tersebut malah memunculkan implikasi cukup yang serius. Contoh, dalam pasal 2 UU Tipikor dengan pasal 687 RKUHP, kedua pasal tersebut bila dicermati memiliki substansi norma yang sama, yang membedakan adalah terletak pada ancaman hukuman pidananya saja. Tidak menutup kemungkinan, melalui celah ini penegak hukum dapat memperdagangkan pasal yang ancaman pidananya lebih rendah terhadap pelaku korupsi.
Pertimbangan yang lain, Persoalan pemberantasan korupsi saat ini tidak terletak pada norma atau UU, namun lebih kepada implementasinya. Jika hal ini terjadi, semangat rekodifikasi KUHP menjadi faktor utama timbulnya kekacauan hukum. Tidak ada jaminan bahwa rumusan delik tipikor dimasukkan ke dalam KUHP akan berdampak pada kemajuan penegakan hukum korupsi, dan hal itu mengingkari semangat rekodifikasi sebagai penyempurnaan hukum.
Keempat, dalam hal kewenangan, memang dalam pasal 729 RKUHP, secara ekspresif verbis kewenangan KPK maupun lembaga khusus yang bersangkutan tidak akan terganggu. Sebagai pertimbangan, sifat extra ordinary crime merupakan kejahatan yang dinamis dan motifnya terus berkembang. Jika tetap kukuh masuk ke dalam RKUHP, ketika norma yang bersangkutan tidak lagi mencukupi sebagai dasar hukum dan perlu untuk diperbaharui, yang terjadi adalah kebuntuan produk hukum. Tidak mungkin mengandalkan rekodifikasi ulang.
Dari empat hal di atas penulis beranggapan, memasukkan delik tindak pidana khusus ke dalam KUHP senyatanya hanya membuang-buang waktu, energi dan menambah panjang perdebatan publik. Lebih baik DPR dan Pemerintah dalam membuat norma, concern pada hal yang bersifat general (umum). Sehingga dapat mem-back up keseluruhan isi KUHP yang lama dengan produk hukum yang bermutu dan dapat di implementasikan.