Muzakir Manaf, atau akrab disapa Mualem, Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA) dan ketua Dewan Pimpinan Aceh (DPA) Partai Aceh pada peringatan sembilan tahun wafatnya Wali Nanggroe Aceh ke-8, PYM Tgk Muhammad Hasan Di Tiro pada 27 Mei 2019, sebagaimana diberitakan oleh sekilasinfo.id dan ModusAceh.co, mengeluarkan statement mengejutkan.
Mualem mengajukan rencana referendum, berangkat dari kondisi Indonesia saat ini, yang menurutnya semakin tidak jelas. Mualem mempersoalkan kondisi Indonesia yang menurutnya di ambang kehancuran dari segi apapun, dan potensi dijajah oleh asing. Atas dasar ini, Mualem menyatakan; “Ukeu Aceh Kamoe Lakee Referendum Mantong”.
Menurut Mualem, Aceh lebih baik mengikuti jejak Timor Timor untuk melaksanakan referendum. Ia mengklaim telah mengkaji dan melakukan instropeksi diri terhadap berbagai kelemahan dan kemajuan yang perlu diperbaiki pada masa datang. Berdasarkan pengalaman tersebut, menurut Mualem, Aceh harus melihat dan meretas jalannya sendiri di masa depan.
Pernyataan Mualem menimbulkan perhatian yang luar biasa dari berbagai pihak. Dan, sebagai masyarakat Aceh, saya juga tertarik untuk mendiskusikan hal tersebut. Pertanyaannya sekarang adalah, apakah masih relevan isu referendum dimainkan pada masa sekarang? Jawabannya tidak.
Jika kita merujuk pada berbagai teori politik tentang referendum, referendum dimungkinkan apabila terjadi ketidakadilan sosial ekonomi secara masif akibat adanya perbedaan identitas. Misalnya pada kasus referendum Catalonia terhadap Spanyol, mereka menyerukan referendum karena terjadi kesenjangan ekonomi dan politik yang luar biasa dari Spanyol akibat adanya ketidakadilan.
Memang benar kata Mualem bahwa sesuai dengan Indonesia, Aceh memiliki bahasa, rakyat, dan daerah yang secara sosiokultural, karakteristiknya dapat dikatakan berbeda dari masyarakat Indonesia pada umumnya. Namun, referendum tidak dapat dilaksanakan hanya atas dasar perbedaan identitas semata. Jika kita periksa pernyataan Mualem mengenai kondisi Indonesia di ambang kehancuran dari berbagai segi, pernyataan ini tentu harus dibuktikan dengan data-data yang valid.
Faktanya, Indonesia juga tidak seburuk yang dikatakan Mualem, jika kita periksa kondisi ekonomi misalnya, pertumbuhan ekonomi pada kuartal 1 tahun 2019 berkisar diantara 5,07%─meskipun cenderung stagnan dibandingkan tahun sebelumnya, namun pendapatan perkapita naik menjadi Rp56 juta.
Keadilan ekonomi juga cenderung membaik dengan banyaknya program jaminan sosial seperti BPJS dan Program Keluarga Harapan (PKH) yang manfaatnya juga dirasakan masyarakat Aceh.
Jika kita berbicara soal demokrasi, menurut penilaian The Economist Intelligence Unit (EIU), Indeks demokrasi Indonesia berada pada kondisi flawed democracy (demokrasi cacat).
Penyebab dari permasalahan ini antara lain rendahnya kebebasan sipil, adanya praktik klientalistik antara elite politik dengan pemilih, dan struktur politik yang buruk. Partai politik adalah institusi yang harus bertanggung jawab atas buruknya demokrasi di Indonesia. Dan, dalam konteks ini, Mualem, Partai Aceh, dan berbagai Partai Politik lainnya, adalah bagian dari sistem dan struktur politik yang harus bertanggung jawab atas buruknya demokrasi di Indonesia.
Mualem mencontohkan Timor Timor sebagai referensi bagi Aceh jika ingin melakukan referendum. Dalam hal ini, menurut saya, Timor Timor sangat tidak baik dijadikan referensi. Mengapa? Karena pertama, lepasnya Timor Timor dari Indonesia tidak terlepas dari kuatnya intervensi Asing, salah satunya Australia.
Dan saat ini, Timor Timor atau Timor Leste menjadi negara dengan tingkat pengangguran dan kemiskinan yang tinggi, 40% warganya hidup di bawah garis kemiskinan. Padahal, Timor Leste memiliki banyak sumber daya alam, sama seperti Aceh. Saya khawatir, jika Aceh nantinya menjadi sebuah negara, kondisi nya mungkin akan mirip seperti Timor Leste.
Narasi referendum Aceh pada 1999 dengan narasi yang dimunculkan oleh Mualem saat ini jelas berbeda. Pada 1999, referendum bermuara dari konflik Aceh yang berkepanjangan akibat ketidakadilan dari rezim Soeharto, dan hal ini relevan dengan permintaan referendum pada saat itu.
Yang jika kita lebih kritis menilainya, sebenarnya narasai referendum yang dilontarkan Mualem tidak terlepas dari kekalahan pasangan Prabowo – Sandi dalam Pemilihan Presiden 2019, yang padahal di Aceh menang telak hingga 85%. Mungkin saja, ada kekecewaan akan hal tersebut, dan juga didasari sentimen yang kuat terhadap Jokowi dan PDIP, oleh karenanya narasi referendum kembali dimainkan.
Namun, saat ini, apa urgensi dari referendum? Adakah ketidakadilan yang luar biasa yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia terhadap Aceh? Memang Aceh masih berada pada kondisi miskin, namun jangan lupa, saat ini Aceh berstatus otonomi khusus dengan anggaran yang luar biasa besar.
Artinya, sangat berkemungkinan Aceh menjadi daerah yang sejahtera ‘jika dana otsus dikelola dengan baik’. Jadi yang terpenting bukanlah referendum, tapi bagaimana mengelola Aceh dengan baik. Dan hal itu berada di pundak elite politik Aceh, termasuk Mualem.
Terakhir, menurut Hans J Morgenthau dalam The Concept of Interest defined in Terms of Power; sebuah gagasan konseptual mengenai referendum, Morgenthau menyebutkan sebuah referendum didasari pada adanya kekuatan aktor politik dan suatu institusi yang berperan dalam konsolidasi dan mobilisasi massa dalam pelaksanaan referendum.
Pertanyaannya, institusi politik mana yang cukup ‘legitimate’ untuk menjalankan peran tersebut. Apakah Partai Aceh sebagai bentuk transformasi dari GAM? Rasanya penulis meragukan ditengah kekuatan politik PA yang kian hari kian merosot. Misalnya pada Pileg 2019 lalu saja, PA hanya meraih 18 kursi di DPRA, yang pada periode sebelumnya meraih 29 kursi.