Penjatuhan hukuman yang dilakukan oleh Dewan Pengawas KPK terhadap Lili Pantauli Siregar (Wakil Ketua KPK) pada 30 Agustus lalu dengan tuduhan pelanggran pasal 4 ayat 2 huruf b dan a Peraturan Dewan Pengawas Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK berupa penyalahgunaan pengaruh pimpinan KPK untuk kepentingan pribadi dan berhubungan langsung dengan pihak-pihak yang perkaranya sedang ditangani oleh KPK, kini melahirkan pergultan idealisme dalam beberapa kacamata jurist.
Salah satu pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar (2021) menilai bahwasanya tindakan Wakil Ketua KPK pada kasus tersebut seyogyanya perlu diapresiasi dan tak perlu dicaci maki apalagi diberi hukuman. Terdapat beberapa alasan yang melatar belakang asumsi dari pakar Hukum Tata Negara UGM tersebut.
Pertama, tindakan wakil ketua KPK merupakan bentuk pelayanan prima. Setelah diberlakukannya revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), kedudukan KPK yang mulanya merupakan lembaga independen kini berubah menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), pejabat ASN diharapkan untuk melakukan pelayanan prima, yaitu pelayanan yang tertuju kepada siapa saja, tanpa terkecuali, khususnya yang menjadi pelanggan atas pelayanan publik. Maka dengan demikian tindakan Wakil Ketua KPK tersebut sejatinya merupakan tindakan yang konstitusional karena selaras dengan isi Undang-Undang.
Kedua, mampu bertindak sesuai dengan tren pemerintahan saat ini. Jika ditinjau secara filosofis, tindakan yang dilakukan oleh Wakil Ketua KPK merupakan gaya pemberantasan korupsi baru yang lebih kreatif daripada pemberantasan korupsi di masa lalu. Titik tekannya adalah koruptor sebaiknya jangan terburu-buru ditangkap, namun diajak menjalin komunikasi secara baik terlebih dahulu agar koruptor bisa menyadari kesalahan dan dampak buruk yang ditimbulkan oleh perbuatan korupnya. Dengan demikian koruptor bakal jadi penyintas yang pantas dalam mengkhotbahkan anti-korupsi ke depannya. Cara demikian jauh lebih ampuh dalam menangani kasus korupsi yang turun temurun.
Asumsi Lain
Bertolak belakang dengan Zainal Arifin Mochtar, Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Iwan Satriawan (2021) menilai bahwa apa yang dilakukan oleh wakil ketua KPK tersebut patut diberikan hukuman, bahkan hukuman yang lebih berat daripada sekedar pemtongan gaji 40% karena tindakan Wakil ketua KPK yang melanggar peraturan dewan pengawas nomor 2 tahun 2020 pada kasus yang dimaksud dinilai mencederai marwah KPK sebagai lembaga yang memiliki otoritas besar dalam pemberantasan korupsi sehingga menimbulkan kekecewaan yang serius dari khalayak.
Jika ditinjau secara historis, lahirnya KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi dilatar belakangi oleh erosi kepercayaan publik terhadap instutusi Kepolisian dan Kejaksaan karena dianggap terkontaminasi oleh perilaku koruptif dan hipokrit, sehingga salah satu harapan besar atas Kemunculan KPK ini adalah mampu mengaktualisasikan prinsip integritas agar bisa menjadi institusi pemberantasan korupsi yang efektif dan bersih dari perilaku koruptif dan hipokrit.
Makna integritas yang harus dimiliki oleh KPK berdasarkan Peraturan Dewan Pengawas nomor 1 tahun 2020 adalah kesatuan antara pola pikir, perilaku yang selaras dengan nurani, dan norma yang berlaku di KPK. Unsur-unsur daripada Integritas ini meliputi ketaatan pada peraturan perundang-undangan, konsistensi pada nilai-nilai kebenaran, antikorupsi, kejujuran, budi luhur, kebaikan, ketepercayaan, dan reputasi yang baik
Secara tertulis, dalam Peraturan Dewan Pengawas nomor 2 tahun 2020 ketentuan menjunjung tinggi integritas KPK sebagaimana yang termaktub dalam Peraturan Dewan Pengawas nomor 1 tahun 2020 bersifat wajib untuk dipatuhi oleh Insan KPK yang terdiri dari Dewan Pengawas, Pimpinan, dan Pegawai KPK.
Maka berdasarkan ketentuan tersebut, secara yuridis normatif sudah selayaknya Wakil Ketua KPK mendapatkan sanksi atas perbuatannya karena sifat daripada peraturan dewan pengawas tersebut bersifat mengikat bila ditinjau dari Pasal 8 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Pernyataan Sikap
Sejatinya tidak ada yang salah dari pergulatan idealisme antar jurist tersebut karena baik di pihak pendukung wakil ketua KPK maupun opisisi, masing-masing memiliki justifikasi yang kuat dan dapat dibenarkan karena keduanya sama-sama berlandaskan pada persepktif logis dan realistis. Namun jika harus memilih, saya lebih menyepakati agar tindakan wakil ketua KPK yang melanggar pasal 4 ayat 2 huruf b dan a Peraturan Dewan Pengawas Nomor 2 Tahun 2020 tersebut tetap dikenakan sanksi karena pada dasarnya Peraturan Dewan Pengawas merupakan peraturan paling fundamental yang harus dijadikan acuan dalam kinerja KPK.
Kendatipun KPK juga terikat oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN yang seacara substabsial pejabat ASN diharapkan untuk melakukan pelayanan prima, namun dalam hukum terdapat asas lex specialis derogat legi generalis, yaitu hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum. Oleh karenanya, Peraturan Dewan Pengawas KPK harus menjadi acuan utama karena sifatnya terspesialisasikan untuk KPK daripaada UU No. 5 Tahun 2014 yang diperuntukkan kepada seluruh ASN secara general.
Kewajiban elemen negara, termasuk dalam aspek lembaga pemerintahan yang memaksa agar penyelenggaraan kekuasaan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dikarenakan sebelum amandemen ketiga UUD 1945 yang penyelenggaraan kekuasaan lembaga pemerintahan didasarkan sepenuhnya kepada wewenang MPR mengakibatkan kondisi sangat kacau karena sumber legitimasinya tidak didasarkan pada rakyat namun pada subjektifitas MPR itu sendiri.
Oleh karenanya harapan utama pasca amandemen ketiga UUD 1945 yang mengalihkan tolak ukur atau acuan atas penyelenggaraan kekuasaan tak lain agar tidak ada kerancuan yang berpotensi menimbulkan kerugian salah satu pihak karena nilai-nilai dari sumber legitimasinya bersifat tendensius. Karena itu, jargon yang biasa digunakan dalam bahasa Inggris untuk menyebut prinsip Negara Hukum seperti di Indonesia saat ini adalah ‘the rule of law, not of man’.