Pemeritah akhirnya mengeluarkan regulasi mengenai pembatasan dan pemblokiran Internasional Mobile Equipment Identity (IMEI) smartphone yang tidak terdaftar alias black market (BM). Peraturan ini dikeluarkan melalui skema Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga kementerian, yakni Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Kementerian Perindustrian (Kemenperin), dan Kementerian Perdagangan (Kemendag).
Desakan agar pemerintah mengeluarkan peraturan ini sudah berlangsung sejak lama, paling tidak dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Desakan-desakan tersebut muncul dari kalangan pemegang merk (brand) dan para produsen smartphone lokal.
Namun pro dan kontra terkait dengan regulasi tersebut terus mengemukan, dengan beragam dalih dan argumentasinya masing-masing. Seperti bagaimana dengan turis atau wisman negara lain yang sedang berwisata ke Indonesia, bagaimana dengan smarphone yang pembeliannya dilakukan di luar negeri, serta bagaimana dengan smartphone testing yang dipakai di industri atau produsen smartphone, serta beragam argumentasi pemerintah lainnya.
Tujuan dari peraturan ini adalah untuk melindungi industri smartphone dalam negeri dan konsumen penguna smartphone di Indonesia. Dengan jumlah penduduk yang sangat besar dan penguna aktif smartphone yang sangat besar, Indonesia memang menjadi pasar potensial bagi produsen smartphone baik smartphone dengan merek lokal maupun merek internasional.
Bukan hanya itu, potensi tersebut sekaligus menjadi surga bagi para penyeludup smartphone, yang didukung dengan luas perairan yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dan pelabuhan-pelabuhan tikus yang tersebar diseluruh Indonesia sebagai pintu masuk bagi penyeludupan smartphone.
Keterbatasan SDM serta alat pendeteksi dan pemantau importir illegal smartphone (penyeludup) seringkali menjadi alasan bagi Bea dan Cukai terkait dengan kurang memaksimalnya pengawasan terhadap peredaran smartphone illegal di Indonesia.
Peraturan mengenai pembatasan IMEI ini, sebenarnya adalah tindaklanjut dari peraturan-peraturan yang sudah terbit sebelumnya, khususnya terkait dengan industri dan produksi smartphone yang sudah ada selama ini.
Misalnya Permenperin No. 16/M-IND/PER/2/2011 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Penghitungan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), Permenperin No. 68/M-IND/PER/8/2015 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Penghitungan Nilai Tingkat Komponen Dalam Negeri Produk Elektronika dan Telematika dan Permenperin No. 29/M-IND/PER/7/2017 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Penghitungan Tingkat Komponen Dalam Negeri Produk Telepon Seluler, Komputer Genggam dan Komputer Tablet
Melalui peraturan pembatasan IMEI ini, pemerintah akan mengunakan sistem Device Identification, Registration, and Blocking System (DIRBS) atau Sistem Informasi Registrasi Identifikasi Nasional (SIRINA) yang memungkinkan regulator untuk mengidentifikasi, mendaftarkan, dan mengontrol akses jaringan seluler melalui nomor IMEI.
Sistem identifikasi smartphone ilegal yaitu DIRBS akan mendata dan singkronisasi melalui data mobile subscriber integrated services digital network number (MSISDN) atau nomor identitas kartu SIM dari provider telekomunikasi. Dan operator atau provider telekomunikasi bakal membenamkan aplikasi pendeteksi smartphone ilegal saat konsumen mengaktivasi nomor kartu SIM dan terhubung ke jaringan, dan ketika teridentifikasi ilegal, koneksi jaringan otomatis akan terputus dan tidak dapat digunakan untuk akses data dan internet.
Dan sistem ini juga dipakai untuk untuk memverifikasi nomor IMEI smartphone menggunakan jaringan operator, dengan mengacu pada database smartphone resmi. Dengan pemberantasan smartphone illegal (BM) yang diperkirakan jumlahnya sekitar 7,2 juta unit per tahun akan jauh lebih efktif ketimbang mengunakan skema pengawasan oleh pihak Bea dan Cukai semata.
Berdasarkan data dari kemenperin menyebutkan bahwa pada tahun 2014 jumlah impor smartphone dan kompiuter tablet adalah sebesar 60 juta unit, terus menurun sampai dengan tahun 2018 adalah sebesar 3 jutaan unit. Dari sisi pendapatan negara berdasarkan HS Code tahun 2014 adalah sebesar 3,5 triliun rupiah dan terus menurun sampai dengan tahun 2018 adalah sekitar 200 juta rupiah.
Artinya, industri dalam negeri tumbuh signifikan dan memberikan nilai tambah yang jauh lebih besar bagi perekonomian, seiring dengan pemberlakukan ketentuan mengenai TKDN, dan jumlah smartphone illegal sekitar 12% dari total smartphone yang diproduksi secara resmi, baik produksi dalam negeri maupun impor.
Beberapa hal tekhnis yang harus disiapkan pemerintah sebelum peraturan tersebut efektif dijalankan per 17 Agustus 2019 antara lain meliputi database IMEI yang valid, tes sinkronisasi data operator seluler, sosialisasi, kesiapan SDM serta SOP dari Kemenkominfo, Kemenperin, Kemendag; dan kesiapan operator seluler.
Selain hal tersebut, beberapa hal tahapan prinsip yang harus menjadi perhatian pemerintah terkait dengan pelaksanaan peraturan tersebut. Tahap pertama, adalah fase pemutihan. Pemutihan ini adalah untuk menjawab kesimpangsiuran informasi yang beredar mengenai skema berlakunya peraturan. Jika peraturan ini dikeluarkan, apakah diberlakukan kedepan sejak tanggal ditetapkannya (yakni berlaku terhadap smartphone baru yang beredar setelah dikeluarkannya peraturan) atau dapat berlaku surut dengan obyek semua smartphone yang sudah ada di Indonesia.
Oleh sebab itu, pemutihan terhadap semua IMEI smartphone yang sudah beredar di Indonesia baik sesuai dengan Tanda Pendaftaran Produk (TPP) baik TPP Impor maupun TPP Produksi termasuk smartphone illegal alias BM. Bagaimanapun tanpa pemutihan, maka diprediksi dapat menimbulkan gejolak sosial di masyarakat, pasalnya jumlah smartphone illegal yang cukup besar peredarannya setiap tahun, sebagaimana data yang disampaikan tersebut di atas.
Agar pelaksanaan tahap pemutihan ini berlangsung efektif, maka perlu dilakukan pembatasan secara waktu, misalnya satu sampai dengan tiga bulan tergantung dari kesiapan server data base pemerintah serta hasil singkronisasi antara data base dengan operator selular.
Tahap kedua adalah tahapan regristasi, dimana pemerintah mewajibkan semua smartphone yang berada di gudang, distributor, agen serta toko ritael untuk dilakukan regristasi IMEI, sebelum dijual kepada konsumen. Dan agar tahapan ini juga efektif, perlu diberlakukan batasan waktu, misalnya satu sampai dengan 3 bulan pelaksanaan regristasi.
Tahap ketiga adalah tahap pelaksanaan secara penuh melalui skema regristasi oleh penguna/konsumen smartphone. Dimana apabila konsumen membeli smartphone baru diwajibkan untuk melakukan regristasi data dan singkronisasi dengan kartu SIM operator selular.
Apabila singkronisasi tidak dilakukan dan tidak berhasil karena IMEI-nya tidak terdaftar dalam data base IMEI pemerintah maka secara otomatis smartphone nya tidakk dapat digunakan untuk akses data atau internet.
Jika tahapan-tahapan tersebut dapat berjalan baik dan efektif, maka dikeluarkannya peraturan pembatasan IMEI ini, akan efektif dan tujuan pemerintah untuk melindungi industri smartphone dalam negeri dan konsumen di Indonesia dapat terwujud.