Nilai tukar rupiah kembali terpuruk, bahkan menyentuh angka diatas Rp15.000 per dolar Amerika Serikat. Kekhawatiran dan desakan-desakan publik yang mendorong pemerintah agar segera melakukan langkah-langkah konkrit terus disuarakan. Pasalnya, dampak nyata pelemahan nilai tukar secara langsung dirasakan oleh masyarakat. Seperti inflasi dan menurunnya daya beli.
Dalam beberapa kesempatan, pemerintah menyampaikan bahwa pelemahan nilai tukar yang terjadi akhir-akhir ini adalah sentimen atas kenaikan suku bunga The Fed, serta dampak perang dagang AS dengan China yang memberikan pengaruh buruk bagi sejumlah negara, khususnya negara berkembang.
Indonesia sebagai negara emerging market menjadi salah satu yang paling rentan tertekan dolar AS. Selain didukung oleh faktor eksternal tersebut, di sisi domestik, kondisi neraca dagang Indonesia yang terus mengalami tren defisit juga turut berkontribusi, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Sistem nilai tukar di Indonesia saat ini menganut sistem nilai tukar mengambang bebas (freely floating exchange rate). Sehingga volalitas nilai tukar memang menjadi sesuatu yang lazim dialami oleh semua negara yang menganut sistem nilai tukar yang demikian. Dan tentunya bukan yang pertama atau baru sekali ini saja. Hukum pasar yang mengacu pada prinsip demand dan supply memang menghendaki minimnya peran negara/pemerintah dalam perekonomian, termasuk salah satunya adalah sistem nilai tukar mata uangnya.
Namun, meskipun menganut sistem nilai tukar mengambang, idealnya negara sudah memiliki skema untuk menjaga stabilitas nilai tukar, sebagai bagian integral dari upaya pemerintah untuk melindungi perekonomian nasional (menjaga inflasi, pertumbuhan ekonomi, daya beli, dll) akibat volalitas nilai tukar rupiah.
Pemerintah memang terus berupaya menjaga stabilitas nilai tukar, khususnya melalui bauran kebijakan, baik dari sisi kebijakan fiskal, moneter maupun perdagangan. Beberapa kebijakan tersebut di antaranya adalah upaya menekan laju pertumbuhan impor dengan mengendalikan impor barang konsumsi dan penerapan program mandatori biodiesel 20 persen (B20). Serta bersama dengan Bank Indonesia (BI) yang melakukan kebijakan dengan suku bunga atau intervensi untuk selalu berada di pasar.
Kebijakan dengan penerapan program mandatori biodiesel 20 persen memang cukup ideal, khususnya dalam rangka menjaga stabilitas nilai tukar dengan pendekatan mengendalikan impor BBM. Pasalnya, impor BBM berdasarkan pada laporan BPS mengenai Neraca Perdagangan Indonesia bulan Agustus mengalami defisit sebera US$ 1,02 miliar. Defisit ini terjadi karena impor Indonesia pada bulan Agustus 2018 adalah sebesar US$ 16,8 miliar, sedangkan ekspor Indonesia bulan Agustus 2018 tercatat US$ 15,82 miliar. Penyumbang utamanya adalah dari sektor migas sebesar US$ 8,03 miliar, sementara sektor non-migas justru surplus US$ 4 miliar.
Sementara kebijakan dengan suku bunga atau intervensi di pasar tentunya akan berdampak secara terhadap cadangan devisa negara yang akan terkuras. Sehingga pertanyaan kemudian adalah seberapa kuat pemerintah melalui kebijakan moneter yang dilakukan BI mampu melakukan intervensi pasar di tengah tren volalitas nilai tukar yang cenderung melemah.
Simak saja data cadangan devisa dalam beberapa bulan terakhir. Data Bank Indonesia menunjukkan bahwa dalam beberapa bulan terakhir, posisi cadangan devisa Indonesia memang terus mengalami penurunan. Januari cadangan devisi Indonesia adalah sebesar US$ 131,98 miliar, Februari sebesar US$ 128,06 miliar, Maret sebesar US$ 126 miliar dan April sebesar US$ 124,86 miliar. Mei sebesar US$ 122,9 miliar, Juni sebesar US$ 119,8 miliar, Juli sebesar US$ 118,3 miliar dan Agustus sebesar US$ 117,9 miliar.
Operasi pasar khususnya dengan menambah pasokan dolar AS di pasar baik pasar valas maupun SBN, dengan meningkatkan Net Open Position (NOP) atau posisi devisa netto secara jangka pendek dengan menggelontorkan dolar AS di pasar memang sesekali diperlukan sebagai bagian integral untuk melakukan penetrasi di market. Namun melihat tren nilai tukar rupiah yang terus menurun, nampaknya kebijakan ini sebaiknya ditinjau kembali.
Bagaimanapun jika intervensi pasar terus digunakan bukan tidak mungkin lambat laun akan terus menguras cadangan devisa negara. Oleh sebab itu, kebijakan-kebijakan yang lebih konkrit harus dilakukan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Oleh sebab itu, bauran kebijakan yang lebih berorientasi jangka panjang harus segera dilakukan oleh pemerintah. Antara lain adalah dilakukan dengan;
Pertama, memberikan insentif kepada para eksportir. Mengacu dari data Bank Indonesia, bahwa sekitar 85-90 persen devisa hasil ekspor sudah dibawa pulang ke Indonesia dan sisanya, sekitar 10-15 persen dipakai oleh eksportir untuk membayar kewajiban cicilan utang kepada kreditur di luar negeri atau untuk modal pembelian bahan baku.
Dari sekitar 85-90 persen devisa yang dibawa pulang tersebut, hanya 20- 25 persen yang dikonversi ke dalam rupiah. Oleh sebab itu, memberikan insentif kepada eksportir menjadi penting, sehingga para eksportir mau menyimpan dan menahan lebih lama devisanya di perbankan nasional dan bersedia mengkonversi seluruh devisanya ke dalam mata uang rupiah.
Kedua, memberikan insentif pajak terhadap para investor yang notabene adalah para pemilik dana asing yang diinvestasikan dalam bentuk portofolio hingga periode tertentu, misalnya minimal enam bulan sampai dengan satu tahun. Hal ini sekaligus menjadi jaminan untuk menjaga liquiditas valas di pasar modal.
Ketiga, pemerintah atau BI sebaiknya segera menerbitkan SBN khusus yang berdenominasi valas dengan kupon bunga yang menarik, tapi harus di-hold pada periode tertentu, sehingga cadangan devisi masih dapat terjaga dan terkendali.
Keempat, mempermudah dan memberikan insentif bagi para investor PMA untuk dapat menanamkan modalnya di Indonesia. Insentif investasi ini diberikan khususnya kepada para investor PMA yang berinvestasi pada industri-industri berorientasi ekspor dan memiliki tambah tinggi. Sehingga dampaknya dapat secara langsung dirasakan bagi masyarakat dan negara. Insentif tersebut, dapat diberikan berupa keringanan pajak (tax allowance), pembebasan pajak dalam jangka waktu tertentu (tax holiday), stimulus fiskal lainnya, serta pemberian kemudahan-kemudahan dalam melakukan pengurusan perizinan.
Bauran kebijakan tersebut di atas harus segera dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mengembalikan volalitas nilai tukar. Bagaimanapun jika gejolak nilai tukar tersebut tidak segera diatasi, maka di tahun politik ini, pelemahan nilai tukar akan menjadi bagian dari politisasi, yang di mata investor dapat diterjemahkan dengan kondisi instabilitas perekonomian dan instabilitas keamanan. Jika kondisi yang demikian terjadi, upaya menciptakan iklim investasi yang kondusif hanya akan menjadi cita-cita yang utopis.