Keputusan pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta penyelenggara pemilu untuk tetap melanjutkan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2020 dalam masa pandemi tentu membawa konsekuensi. Perdebatan antara hak memilih dan hak hidup mengemuka menjadi gelombang penolakan oleh sebagian besar organisasi dan tokoh-tokoh masyarakat.
Tahapan kampanye pilkada tahun ini yang berlangsung pada 26 September hingga Desember 2020 menjadi salah satu tahapan pilkada yang ditakutkan banyak pihak akan menjadi kluster baru penyebaran Covid-19 yang tersebar pada 270 daerah pilkada di Indonesia. Alasannya tentu saja karena terus bertambahnya kasus baru dan belum tersedianya vaksin Covid-19.
Ketatnya protokol kesehatan kemudian seakan menjadi jalan tengah yang diambil pemerintah untuk tetap melaksanakan pesta demokrasi daerah tersebut. Hal ini tentu untuk tetap mengakomodir kampanye sebagai bagian dari komunikasi yang terencana dengan tujuan menciptakan efek tertentu untuk mempengaruhi massa yakni pemilih agar meraih dukungan yang sebanyak-banyaknya dalam pilkada namun tetap memperhatikan pertimbangan kesehatan.
Untuk itulah, kemudian penyelenggara mengeluarkan regulasi berupa Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 13 Tahun 2020 tentang Pilkada Serentak Lanjutan dalam Kondisi Bencana Non-alam Covid-19 yang resmi diundangkan pada Rabu 23 September yang lalu. Meskipun demikian, menurut penulis kampanye pilkada yang dilakukan dalam masa pandemi saat ini tetap sulit dilakukan dengan benar karena 3 (tiga) persoalan.
Pertama, kekosongan hukum, tidak adanya pengaturan setingkat undang-undang yang komprehensif mengatur pilkada pada masa pandemi menjadi kendala tersendiri bagi penyelenggara dan masyarakat sebagai pemilih. Undang-undang pilkada sebagai regulasi utama penyelenggaraan pilkada sejatinya dibentuk untuk kondisi normal sehingga tidak mampu menjawab situasi bencana Covid-19.
Kondisi itu menciptakan kekosongan hukum bagi banyak pembatasan kegiatan pilkada seperti aturan dalam Pasal 88C Ayat (1) PKPU Nomor 13 Tahun 2020 disebutkan jenis-jenis kegiatan kampanye yang dilarang dalam pilkada 2020. Kegiatan tersebut, mulai dari pentas seni, panen raya, konser musik, jalan santai, perlombaan, bazaar, donor darah hingga peringatan hari ulang tahun partai politik serta kampanye akbar atau rapat umum.
Namun sanksi atas pelanggaran larangan kegiatan kampanye tersebut seakan tidak menjawab masalah pandemi karena hanya berupa peringatan tertulis dari Bawaslu provinsi/kabupaten/kota. Apabila sanksi itu tidak diindahkan Bawaslu bisa menghentikan dan membubarkan kegiatan kampanye.
Tidak adanya sanksi administrasi berupa diskualifikasi keikutsertaan dalam pilkada yang memberikan efek jera, memberi celah bagi banyak pasangan calon, partai politik pengusung hingga tim pendukung untuk terus melakukan pelanggaran kampanye dalam masa pandemi. Kekosongan hukum ini terutama soal sanksi yang tegas bisa saja diatasi andai Presiden mau mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) untuk mengatur pilkada dalam masa pandemi.
Kedua, terkendala kampanye daring, keterbatasan ruang gerak dalam melakukan kampanye membuat para calon kepala daerah dituntut kreatif dan mengoptimalkan kampanye dalam jaringan (daring). Ketentuan itu seperti yang diamanatkan dalam Pasal 58 Ayat (1) PKPU Nomor 13 Tahun 2020 bahwa partai politik atau gabungan partai politik, pasangan calon, tim kampanye mengutamakan metode kampanye terbatas dan dilakukan melalui media sosial dan media daring. Kemudian dipertegas dalam Pasal 63 bahwa bentuk kampanye lain yang tidak melanggar ketentuan undang-undang agar dilakukan melalui media sosial atau media daring.
Namun hal itu terkendala dengan masih dominannya paradigma pasangan calon dan tim sukses yang meyakini kemenangan dalam pilkada harus tetap melalui pertemuan fisik. Setidaknya kondisi ini terlihat berdasarkan hasil pengawasan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pada tanggal 28-30 September, dimana terdapat 582 aktivitas kampanye di 187 kabupaten/kota.
Dari jumlah itu, 43 persen diantaranya merupakan pertemuan terbatas atau tatap muka, diikuti penyebaran bahan kampanye 22 persen, alat peraga 17 persen dan hanya 11 persen kampanye yang dilakukan melalui media sosial (Kompas, 2/10/2020).
Pada sisi lain, keterbatasan infrastruktur juga menjadi kendala terbesar dalam pelaksanaan kampanye secara daring melalui aplikasi seperti Zoom, live streaming Youtube, Instagram, Facebook, Twitter dan media sosial lain yang dapat mengumpulkan banyak orang tanpa pertemuan secara fisik. Berdasarkan Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) Pilkada 2020 yang dirilis Bawaslu menyebutkan bahwa infrastruktur internet menjadi salah satu titik kerawanan di hampir semua wilayah yang menyelenggarakan pilkada di Indonesia. Hal ini tentu membuat banyak pasangan calon kepala daerah tidak bisa melakukan kampanye secara daring seperti yang diharapkan saat masa pandemi ini.
Ketiga, rendahnya disiplin protokol kesehatan, meskipun aturan dalam PKPU telah mendorong calon kepala daerah untuk kampanye secara daring, namun masih dimungkinkannya pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka dan dialog dilaksanakan dalam ruangan dengan jumlah maksimal peserta 50 orang seperti yang dijelaskan dalam Pasal 58 Ayat (2) PKPU Nomor 13 Tahun 2020 tentu membuka peluang pelanggaran protokol kesehatan.
Hal itu, diperparah rendahnya disiplin protokol kesehatan peserta pilkada. Bawaslu misalnya mencatat selama masa pendaftaran peserta pilkada 2020 kemarin saja 243 dugaan pelanggaran yang dilakukan bakal calon kepala daerah. Pelanggaran tersebut berkaitan dengan jumlah masa yang hadir saat pendaftaran sehingga mengabaikan aturan protokol kesehatan pencegahan Covid-19.
Rendahnya kesadaran untuk mematuhi protokol kesehatan tentu bisa membuat ketakutan terhadap membludaknya penyebaran Covid-19 akan menjadi kenyataan. Apalagi jika pelanggaran protokol kesehatan tersebut dilakukan oleh para calon pemimpin yang seharusnya menjadi contoh bagi masyarakat terutama para pendukungnya saat berkampanye. Selain itu, tidak siapnya calon kepala daerah dengan perubahan metode kampanye yang harus taat protokol kesehatan juga bisa diperparah dengan besarnya peluang money politics di tengah kelesuan ekonomi karena pandemi.
Akhirnya kampanye sebagai sarana politik dalam pilkada sudah semestinya tetap mempertahankan keselamatan masyarakat agar terhindar dari Covid-19. Bukan kemudian kampanye dilakukan dengan segala cara dan sumberdaya bagaikan “perang terbuka” yang harus dimenangkan oleh setiap kontestan pilkada sehingga mengabaikan aspek keselamatan.
Kampanye yang sejatinya bertujuan untuk meyakinkan masyarakat sebagai pemilih terhadap diri, visi dan misi beserta program calon kepala daerah, jangan sampai berakhir membuat masyarakat yang diyakinkan menjadi sakit bahkan meninggal. Jika hal itu tidak bisa diwujudkan oleh calon kepala daerah, partai politik pengusung dan tim sukses maka kampanye bahkan pilkada sekalipun tidaklah ada artinya karena harus mempertaruhkan nyawa masyarakat.