Lumrahnya, lembaga legislatif adalah lembaga pembuat undang-undang. Demikianlah teori hukum bersabda. Dimana, dalam satu negara hukum, kekuasaan harus dibagi dan didistribusikan ke banyak cabang kekuasaan, agar terjadi saling memeriksa dan terwujudnya keseimbangan.
Inilah niat daripada didirikannya lembaga perwakilan daerah bernama Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Dimana diharapkan DPD dapat menjadi pengawal kepentingan daerah untuk dijadikan alas bagi lahirnya produk undang-undang (UU) yang berbau daerah.
Seperti yang kita tahu, undang-undang menjadi kata kunci dalam setiap laku kehidupan pembangunan, berbangsa dan bernegara. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan: negara Indonesia adalah negara hukum.
Peran legislasi DPD sebenarnya cukup penting dalam upaya pembentukan peraturan perundangan. Pasal 22D UUD menyebutkan bahwa DPD dapat mengusulkan Rancangan Undang-Undang, ikut membahas RUU, melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU, dan memberikan pertimbangan RUU. Dan tentu saja RUUnya adalah yang berkaitan dengan otonomi daerah.
Kesulitannya mulai terlihat manakala prakteknya, DPD tidak dilibatkan dalam memutuskan satu UU. Hampir 15 tahun DPD berdiri, sedikit sekali RUU yang berasal dari DPD yang kemudian menjadi UU. DPD kemudian menganggap dirinya tidak penting. Berbagai upaya dilakukan. Mulai mengusulkan amandemen UUD, sampai mengajukan uji materil ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Amandemen gagal, tapi putusan MK beberapa kali selalu menguatkan peran legislasi DPD. Utusan MK menyiratkan bahwa usulan dan pertimbangan DPD terhadap satu rancangan undang-undang menjadi syarat dalam satu proses legislasi. Artinya satu UU tidak akan sah kalau tidak melibatkan DPD. Cacat formil itu barang. Tapi nasib DPD tidak ditentukan oleh tangan mereka sendiri. Kekuasaan legislasi masih dipegang oleh DPR dan Pemerintah. Sebagus apapun RUU yang dibuat DPD, kalau DPR ogah membahasnya maka RUU itu hanya akan menjadi sampah.
Masalahnya, DPD kelihatannya terlalu mengikuti mekanisme legislasi DPR. Bahkan Alat kelengkapan DPD pun seakan menduplikasi, untuk tidak menyebut mencontek, alat kelengkapan yang ada di DPR. Kalau di DPR ada komisi, di DPD disebut komite, di DPR ada Badan Legislasi di DPD disebut Panitia Perancang UU. Di DPR ada Badan Kehormatan yang mengawasi perilaku anggota dewan, di DPD pun namanya sama. Sedikit sekali perbedaannya. Sehingga terlihat sekali ada resistensi dari anggota DPR, yang merasa kewenangan mereka diambil alih DPD.
Padahal ada perbedaan yang sangat signifikan. Jumlah anggota DPD tak sampai sepertiga anggota DPR. Jumlah anggota DPD hanya 132, sedangkan DPR mencapai 560 anggota. Jumlah anggota DPD ini akan mengalami kesulitan dalam mengikuti proses pembentukan UU di Baleg dan komisi-komisi DPR yang biasanya memakan waktu yg lama (Bayangkan RUU KUHP yang sudah berpuluh tahun dibahas, belum juga diputus DPR). Apalagi pembahasan tingkat 1 ditingkat komisi, posisi DPD disamakan dengan fraksi di DPR.
Maksud tulisan ini tidak ingin menambah jumlah anggota DPD (amit-amit ya, karena nambah anggota berarti menambah beban APBN). Karena memang rata-rata jumlah anggota kamar kedua lembaga legislatif di negara lain juga biasanya lebih sedikit. Karena itu, DPD harusnya berani tampil beda dari saudara tuanya di DPR.
Fungsi legislasi hanyalah satu dari beberapa fungsi yang diberikan UUD kepada DPD. Kalaupun ingin menjalankan fungsi itu, harusnya DPD bersifat pasif. Artinya DPD hanya memberikan masukan dan pendapat terhadap satu RUU yang dimintakan pendapatnya oleh DPR atau pemerintah, atau dapat bersifat aktif terhadap RUU yang memang dianggap sangat mendesak.
Toh selama ini usulan RUU dari DPD hanya dianggap angin lalu. Catatan legislasi DPR sebenarnya sangat buruk. Target 50an UU di tahun 2018, hanya terealisasi 5 UU saja (tidak termasuk UU Kumulatif terbuka). Kalau DPR anak sekolah, tentu dia gak akan naik kelas. Catatan ini pun dipastikan tidak akan membuat DPR melibatkan DPD dalam pembuatan UU.
Karena itu tampaknya DPD harus benar-benar merubah paradigma dan cara kerjanya. Karena inilah yang bisa serta merta dapat segera diubah, melalui perubahan Tatib DPD. Fungsi Pengawasan tampaknya dapat dimaksimalkan DPD. Melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU yang terkait otonomi daerah dapat dijadikan fungsi utama DPD. Daripada sibuk ngerengek kewenangan legislasi yang tak ada ujungnya.
Pelaksanaan otonomi daerah melalui UU Pemda, UU perimbangan keuangan pusat dan daerah dan UU sektoral lainnya bisa menjadi ladang pengabdian DPD. Tugas DPD harusnya memperbanyak rapat-rapat dimana pemerintah daerah dan masyarakat dapat menyampaikan masalah dan usulannya secara langsung kepada Pemerintah pusat, untuk kemudian disepakati untuk diselesaikan dan diakomodir dalam kebijakan pemerintah. Atau sebaliknya DPD juga ikut aktif terlibat dalam mengawal musyawarah perencanaan pembangunan daerah sampai menjadi Rencana Kerja Pemerintah.
Dengan melaksanakan fungsi pengawasan, secara bersamaan DPD juga melakukan fungsi legislasi. Karena rekomendasi dari pengawasan dapat berupa usul perubahan dari satu UU, atau pengusulan UU baru. Usul ini kemudian ditindak lanjuti oleh alat kelengkapan DPD yang pada dasarnya bersifat Ad hoc seperti panitia kerja atau panitia khusus.
Dengan begitu, DPD tidak terjebak pada rutinitas perancangan undang-undang, yang LSM pun mampu membuatnya. Fungsi pengawasan ini kemudian menjadikan DPD sebagai lembaga supervisi, yang kerjaannya mengkritik dan memberikan masukan bagi DPR dan pemerintah dalam pembuatan dan pelaksanaan UU. Lebih jauh DPD bisa membatalkan UU tertentu jika menurut DPD bertentangan dengan UUD atau mengabaikan pertimbangan DPD melalui uji materi di Mahkamah Konstitusi.