Rabu, Oktober 9, 2024

Menyibak Pembunuhan Jurnalis

Estu Wilujeng
Estu Wilujeng
Estu Putri Wilujeng telah merampungkan studinya pada program magister sosiologi. Sesekali meneliti secara mandiri, sesekali meneliti bersama lembaga-lembaga lain. Tertarik pada isu lingkungan, kajian budaya khususnya konsumerisme, literasi dan media, serta sosiologi digital. Sedang berusaha untuk lebih produktif dalam menulis artikel ilmiah maupun ilmiah populer.

Dunia berita internasional sedang diramaikan oleh kasus pembunuhan Jamal Khasshoggi. Khasshoggi adalah salah satu jurnalis Washington Post yang berasal dari Arab Saudi. Sebelum menghilang, ia kerap kali mengabarkan dengan kritis tentang kebijakan Pangeran Arab Saudi. Hal ini membuat kita kembali mempertanyakan jaminan kebebasan pers.

Memaparkan informasi serta kritik secara bebas dan terbuka bisa menjadi barang mahal. Tidak semua jurnalis bisa memiliki kesempatan tersebut. Beberapa pun bahkan diduga menjadi korban dari institusi yang berwenang. Salah satunya adalah Khasshoggi, jurnalis dari Washington Post yang kerap kali menuliskan kritik tentang kebijakan Muhammad bin Salman, Pangeran dari Arab Saudi.

Pada 2 Oktober 2018, Khasshoggi berniat mengurus dokumen perceraian dengan mantan istrinya untuk menikah dengan tunangannya. Cengiz, tunangan Khashoggi, menunggu di luar kantor konsulat Arab Saudi, semantara Khashoggi memasuki kantor konsulat. Setelah sekitar tiga jam menunggu, Cengiz pun berusaha mencari Khasshoggi, namun tak kunjung ketemu.

Staf konsulat mengatakan bahwa Khasshoggi telah meninggalkan kantor konsulat melalui pintu belakang. Selama beberapa hari, keberadaan Khasshoggi pun tidak dapat ditemukan.  Pemerintah Turki menyatakan bahwa tubuh Khashoggi dipotong menjadi beberapa bagian. Recep Tayyip Erdogan, Presiden Turki meminta Arab Saudi untuk menyingkap lokasi tubuh serta mengidentifikasi pelaku pembunuhan.

Khassoggi bukanlah satu satunya jurnalis yang terbunuh. Berdasarkan data Committee to Protect Journalists (CPJ), terdapat 1953 jurnalis dan pekerja media lainnya yang terbunuh. 1435 diantaranya sudah terungkap motif yang melatarbelakangi kasus pembunuhan tersebut. Reporters without Borders melaporkan bahwa di tahun 2018 saja sudah terdapat 61 jurnalis , 11 jurnalis warga, dan 4 asisten media yang tebunuh. Sementara total jurnalis yang dipenjarakan mencapai 167 jurnalis, 150 jurnalis warga, dan 19 asisten media.

Pihak-pihak yang berkuasa menginginkan kontrol atas penyebaran informasi yang tersedia. Hal ini seperti yang disampaikan oleh Robert Trager dan Donna L. Dickerson dalam Freedom of Expression in the 21st Century, keinginan untuk mengendalikan apa yang orang lain tulis dan katakan merupakan fenomena yang universal. Sejarah mencatat bahwa pemerintah menjadi salah satu restrainer atas ekspresi, sekalipun pada negara yang melawan intervensi pemerintah terhadap kebebasan berbicar mauoun pers.

Pada kasus Khassoggi, terlihat jelas bagaimana Pemerintah Arab Saudi menjawab hilangnya Khassogi, mulai dari pernyataan bahwa Kasshoggi sudah meninggalkan kantor konsulat lewat jalur belakang. Sayangnya, pernyataan tersebut tidak terbukti. Pemerintah Turki menduga Kasshoggi telah dibunuh dan dimutilasi. Pemerintah Arab Saudi diduga masih menyembunyikan keberadaan tubuh Kasshoggi. Hingga artikel ini ditulis, Pemerintah Turki masih berusaha mencari potongan tubuh Khassoggi.

Timothy Kenny dan Peter Gross dalam Journalism in Central Asia: A Victim of Politics, Economics, and Widespread Self-censorship mencoba menggambarkan bagaimana perkembangan dunia jurnalistik di wilayah Asia Tengah. Salah satu kasus yang ia bahas yakni bagaimana artikel jurnalis di Tajikistan seringkali mendapat sensor dari hal yang tabu oleh pemilik media, editor, maupun jurnalis lainnya. Hal yang tabu di sini adalah Presiden beserta keluarga dan lingkaran jejaringnya, pemilik media dan para editor, serta jejaring politik mereka.

Lalu, bagaimana dengan Indonesia?

Indonesia menempati peringkat 124 dalam World Press Freedom Index. Ada lima kategori yang menggambarkan kebebasan pers, mulai dari: situasi baik, situasi memuaskan, masalah nyata, situasi sulit, dan situasi yang sangat serius. Reporters without Borders menyatakan bahwa Indonesia masuk ke dalam kategori situasi sulit.

Salah satu contoh kasus yang menyebabkan Indonesia masuk ke dalam kategori tersebut yakni terjadinya kasus kematian Muhammad Yusuf. Kasus ini berawal dari tuntuan dari PT Multi Sarana Agro Mandiri terhadap Muhammad Yusuf atas artikelnya pada kemajuanrakyat.co.id. Muhammad Yusuf pun kemudian dimasukkan ke dalam jeruji besi. Hal tersebut tentu tidak sesuai dengan prosedur jurnalistik.

Pihak yang merasa dirugikan atau tidak sepakat dengan artikel yang ditulis oleh Muhammad Yusuf sebenarnya memiliki hak jawab. Sayangnya, saat dipenjara Muhammad Yusuf pun tewas. Komnas HAM menduga adanya pelanggaran hak untuk mendapatkan perawatan kesehatan yang memadai hingga berujung kematian.

Selain kasus pemidanaan yang berujung kematian tersebut, kita juga masih menemui kasus penganiayaan terhadap wartawan. Seperti yang terjadi pada 5 Juni 2018 lalu, dimana wartawan Radar Papua yang dianiaya ketika meliput  terbakarnya sebuah sepeda motor di SPBU Sangeh, Manokwari.

AJI mencatat bahwa ada 60 kasus penganiayaan terhadap wartawan selama 2017. Bentuk penganiayan tersebut berupa kekerasan fisik mulai dari pemukulan, pemitingan, dan penamparan. Pelaku terbanyak yakni dilakukan oleh warga sipil, dan disusul oleh polisi, pejabat pemerintah, dan TNI.

Penganiayaan terhadap jurnalis ini tentu membuat kita perlu mempertanyakan kembali kebebasan pers. Pers sebagai salah satu bentuk control sosial perlu diberi kebebasan sesuai dengan kaidah jurnalistik. Selain pembunuhan fisik, kita juga perlu berhati-hati terhadap pembunuhan nalar para jurnalis dalam menyampaikan informasi. Baik pembunuhan fisik maupun nalar, sama sama mematikan kebebasan pers sebagai bagian dari demokrasi.

Membiarkan fisik dan nalar jurnalis hidup sama dengan menjaga demokrasi.

Daftar Pustaka

Trager, Robert. & Donna L. Dickerson. 1999. Freedom of Expression in the 21st Century. Thousand Oaks, London, New Delhi: Pine Forge, Inc.  

Estu Wilujeng
Estu Wilujeng
Estu Putri Wilujeng telah merampungkan studinya pada program magister sosiologi. Sesekali meneliti secara mandiri, sesekali meneliti bersama lembaga-lembaga lain. Tertarik pada isu lingkungan, kajian budaya khususnya konsumerisme, literasi dan media, serta sosiologi digital. Sedang berusaha untuk lebih produktif dalam menulis artikel ilmiah maupun ilmiah populer.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.