Selasa, Maret 25, 2025

Menyerang Total dan Kekalahan Total

Harpen Jaksana
Harpen Jaksana
Halo, saya Harpen Dwi Jaksana, saya berusia 32 tahun saat ini. saya memiliki perhatian khusus pada dunia pendidikan nasional.
- Advertisement -

Lima gol bersarang di gawang sendiri, hanya satu yang bisa dibalas. Hasilnya? Kekalahan memalukan 5-1 dari Australia. Sebuah tragedi di lapangan hijau yang tidak perlu peramal untuk menebaknya. Semua unsur dalam kisah ini sudah jelas, keputusan taktik yang tak masuk akal, pergantian pelatih di waktu yang krusial, dan federasi yang lebih sibuk bermain kursi panas dibanding membangun fondasi sepak bola nasional.

Mari kita mulai dengan sang nahkoda baru, Patrick Kluivert. Seorang legenda di eranya, tetapi ternyata pengalaman sebagai pemain hebat tak selalu berbanding lurus dengan kecakapan sebagai pelatih. Mungkin Kluivert mengira dirinya masih bermain di Barcelona, tempat tiki-taka dan serangan tanpa henti adalah kunci kemenangan. Sayangnya, ia kini membesut Timnas Indonesia yang baru saja belajar menyusun puzzle taktik, bukan tim yang siap berpesta gol ke gawang lawan.

Menghadapi Australia di kandangnya, di mana mereka sudah pasti lebih unggul dalam pengalaman, persiapan, dan mentalitas, Kluivert justru memilih strategi serangan total. Ah, pendekatan ini sungguh revolusioner! Berani mati? Tentu! Tapi sayang, yang mati adalah lini pertahanan sendiri. Formasi menyerang yang terlalu agresif malah membuka ruang sebesar lapangan golf bagi Australia untuk berpesta. Hasilnya?

Lima kali bola bersarang di gawang kita. Seharusnya, logika sederhana sepak bola cukup diterapkan, bertahan dengan disiplin, serang balik dengan cerdik. Tapi tidak, Kluivert tampaknya ingin menciptakan mahakarya taktik yang tak bisa dipahami oleh siapapun, termasuk para pemainnya sendiri. Toh, menyerang itu penting, kan? Sayangnya, ini bukan PlayStation. Ini pertandingan nyata yang hasilnya lebih pahit dari kopi tanpa gula.

Namun, jangan hanya menyalahkan Kluivert seorang. Ada arsitek lain di balik tragedi ini, PSSI. Ah, federasi sepak bola kita yang tak pernah kehabisan kejutan. Mengganti pelatih di momen paling genting? Itu sudah biasa. Mungkin mereka berpikir, “Mengapa tidak mencoba eksperimen baru? Toh, kita suka sensasi!” Seolah tak cukup masalah dengan inkonsistensi performa, mereka menambahkan bumbu baru dengan mengganti pelatih di saat yang seharusnya digunakan untuk membangun stabilitas.

Seorang pelatih butuh waktu untuk memahami tim, merancang strategi, dan menyesuaikan filosofi permainannya. Tapi di Indonesia, waktu itu seperti barang mewah yang tak bisa diberikan. “Habis manis sepah dibuang” tampaknya menjadi prinsip utama dalam memilih dan memecat pelatih. Sebelumnya, kita punya pelatih yang perlahan membangun fondasi. Tapi, tiba-tiba PSSI memutuskan bahwa kita butuh “kejutan baru”. Dan lihatlah, kejutan itu kini berwujud kekalahan telak.

Mungkin para pengurus PSSI terinspirasi dari serial anime Jepang, di mana plot twist dan perubahan mendadak harus terjadi agar penonton tetap terhibur. Sayangnya, dalam sepak bola, yang ada hanyalah pendukung yang semakin lelah dengan harapan palsu dan strategi coba-coba. Ironisnya, kekalahan ini bukan yang pertama kali terjadi akibat keputusan-keputusan impulsif.

Jika kita telusuri sejarah, ada contoh nyata di mana PSSI lebih sibuk mencari kambing hitam daripada solusi jangka panjang. Ketika hasil buruk datang, yang dipersalahkan adalah pelatih. Padahal, sistem yang mereka bangun sendiri adalah akar dari semua masalah ini. Harusnya, pergantian Luis Milla yang mendadak sudah menjadi pelajaran. Kala itu, Indonesia terjatuh ke dalam jurang kehancuran setelah sempat merambat naik langkah demi langkah yang penuh peluh.

Lihat saja bagaimana negara-negara lain membangun sepak bolanya. Jepang dan Korea Selatan, misalnya, tidak pernah bergantung pada pergantian pelatih dadakan atau strategi “asal tunjuk”. Mereka punya fondasi yang kokoh, pembinaan usia dini yang terstruktur, kompetisi yang sehat, serta federasi yang paham bagaimana mengelola sepak bola secara profesional. Hasilnya?

Mereka tidak sekadar ikut-ikutan dalam turnamen internasional, tetapi juga bersaing dengan tim-tim elite dunia. Sebaliknya, Indonesia terus berada dalam siklus yang sama, euforia sesaat, sensasi sembrono, lalu terhempas kembali ke jurang kegagalan. Kita terlalu sibuk mencari solusi instan tanpa mau berinvestasi pada pembinaan jangka panjang. Selama pola ini masih berlanjut, jangan harap kita bisa menembus Piala Dunia atau bahkan sekadar bertahan di level Asia.

- Advertisement -

Jadi, apa yang kita pelajari dari kekalahan 5-1 ini? Bahwa dalam sepak bola, selain memiliki pemain berbakat, kita juga butuh kepemimpinan yang paham bagaimana membangun tim dengan strategi yang sesuai.

Bukan hanya sekadar nama besar di kursi pelatih, bukan hanya keputusan dadakan yang terlihat brilian di atas kertas tapi bencana di lapangan. Jika ingin melihat Timnas maju, PSSI harus berhenti memainkan drama dan mulai bekerja dengan serius. Beri pelatih waktu, rancang proyek jangka panjang, dan pahami bahwa sepak bola bukan soal “serangan total” tanpa pertimbangan, tetapi soal keseimbangan dan strategi yang matang. Sampai saat itu terjadi, jangan heran kalau kita terus menyaksikan pertandingan yang hasilnya lebih menyakitkan dari patah hati.

Harpen Jaksana
Harpen Jaksana
Halo, saya Harpen Dwi Jaksana, saya berusia 32 tahun saat ini. saya memiliki perhatian khusus pada dunia pendidikan nasional.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.