Selasa, April 16, 2024

Menyentuh Kesadaran dalam Merawat Sampah Melalui Garam

Sanna Sanata
Sanna Sanata
Dukung saya agar bisa terus menulis dengan membeli produk-produk di linktr.ee/tokosaya

Sampah di lingkungan kita sudah semakin banyak. Parahnya sampah-sampah tersebut terus bergerak menuju ke laut. Disana menjadi tempat terakhir sampah yang tidak dikelola dengan baik.

Tanpa kita sadari sampah tersebut kembali ke darat dalam ukuran yang lebih kecil bersama bahan makanan yang dihasilkan dari laut seperti ikan dan garam. Bahan makanan tersebut masuk kedalam tubuh kita, mengalir didalam aliran darah kita. Sampah plastik yang sulit terurai di alam bebas tentu akan sangat sulit terurai pula didalam aliran darah. Jika aliran darah terganggu maka kesehatan kita tentu juga akan bermasalah.

Menyadari hal itu saya pernah melakukan percobaan menggunakan garam untuk menumbuhkan kesadaran tentang sampah bersama anak-anak di Sanggar Anak Code, Yogyakarta.

Saya ingin anak-anak menyadari masalah sampah dengan merawat sampah. Sebab masalah sampah berawal dari ketidaktahuan masyarakat merawat sampah. Jika kita semua tahu bahwa sampah bisa masuk ke tubuh kita dan resiko yang diakibatkannya mungkin kita semua mau merawat sampah.

Menumbuhkan kesadaran terhadap orang dewasa sangatlah sulit, banyak resistensi yang harus kita hadapai. Oleh karena itu mendidik anak-anak adalah jalan keluar dalam memberikan solusi permasalahan ini. Tidak mudah melakukannya karena banyak orang tua telah mengajarkan anak-anak membuang sampah sembarangan tanpa mereka sadari. Jika kita mencermati orang yang memiliki kebiasaan membuang sampah sembarangan (termasuk orang tua), itu seperti melihat orang makan saat perutnya lapar.

Orang yang sedang lapar secara otomatis tahu apa yang harus dilakukan, yakni makan. Membuang sampah sembarangan telah berada di alam bawah sadar banyak orang sehingga mereka dengan mudah melakukannya. Kebiasaan ini ditiru oleh anak-anak sebagai golongan yang melakukan sesuatu karena melihat contoh dari orang tua, di kemudian hari kebiasaan buruk ini berada di alam bawah sadarnya juga. Oleh karena itu menghadapi masalah sampah sesungguhnya menyentuh alam bawah sadar banyak orang.

Tiga tahun lalu saya berkesempatan mendampingi anak-anak Sanggar Anak Code berwisata di sebuah pantai di Kulonprogo. Di sekitar pantai terdapat lahan yang digunakan untuk membuat garam. Anak-anak melihat lahan tersebut saat perjalanan menuju pantai, pengalaman ini adalah hal baru bagi mereka yang tinggal di kota. Sayangnya kita tidak mengujungi tempat tersebut karena jadwal kegiatan yang telah disusun tidak memungkinkan melakukan kegiatan disana.

Seminggu setelah bertamasya ke pantai, saya membawakan anak-anak garam menggunakan kotak makan saya. Tanpa saya duga, mereka memakan garam tersebut seperti menikmati es krim. Entah mengapa mereka menikmati memakan garam bahkan saling berebut kotak makan saya, mungkin karena mereka tidak pernah diberi kesempatan memakan garam sebelumnya.

Ada yang mengambil garam lalu menggenggam ditangannya, ada yang sambil nyengir memakannya tetapi terus melakukannya. Seorang anak seakan tidak mau melepaskan kotak makan tersebut jatuh ke anak lain. Meskipun demikian mereka mampu berbagi garam tanpa bermusuhan. Ini sangat menyenangkan.

Saya mengajak mereka berdiskusi dari mana garam ini berasal. Mereka bekerjasama menggambar di beberapa kotak yang telah saya sediakan di papan tulis putih. Satu kotak mewakili satu tempat, mereka menggambar pantai di kota pertama dan menggambar dapur di kotak terakhir. Ada gambar warung kelontong, pasar tradisional, dan truk di kotak-kotak tersebut. Mereka berhasil menelusuri perjalanan garam dari laut sampai ke meja makan mereka.

Sampai mereka selesai menggambar, garam di kotak makan saya masih ada dan mereka masih menikmatinya. Saat itu saya menunjukkan foto pantai tempat kita bertamasya. Saya memotret banyak sampah yang bertebaran di pantai tersebut, saya juga memotret sungai yang bermuara ke pantai tersebut dengan kondisi yang sangat kotor.

Dengan cara yang sama saat menelusuri darimana garam berasal, mereka juga menggambar darimana sampah yang ada di pantai itu berasal. Lingkungan tempat tinggal anak-anak ini berada di sekitar sungai Code, kebetulan disana juga terdapat kalen (selokan) yang menjadi petunjuk arah, apakah seseorang tinggal di kulon kalen (sebelah barat selokan) atau wetan kalen (sebelah timur selokan.

Jadi dengan mudah mereka menggambar kotak-kotak tersebut. Mereka mengisi kotak pertama dengan gambar orang membuang sampah di selokan dan mengakhirinya dengan gambar laut. Bahkan mereka meminta saya menunjukkan peta Jogja untuk melihat seberapa panjang sungai Code sampai ke laut untuk memperkirakan seberapa banyak orang yang membuang sampah ke sungai. Walaupun sungai Code tidak bermuara di pantai yang kita kunjungi, anak-anak telah memahami bahwa di sungai lain pun dilakukan hal yang sama.

Ada seorang anak yang bertanya “Bukankah garam itu dibuat dari air laut, ya?” Sesaat kemudian ada yang membenarkan. Pada saat itu pula semua anak saling memandangi lalu menghentikan makan garamnya. Anak yang masih menggenggam garam menaruh kembali garamnya di kotak makan.

Beberapa anak juga mengeluarkan isi mulutnya di tempat sampah. “Nggak cuma sampah, limbah kamar mandi dan cucian juga mengalir kesana lho” Kata seorang anak yang lain sambil menunjuk ke arah sungai. Ia lalu menyimpulkan bahwa garam yang Ia makan bersama teman-temannya dibuat dari air laut yang tercemar sampah dan limbah lainnya dari kota.

Setelah kegiatan tersebut, saya sering mendapati anak yang mengambil kembali sampah yang Ia buang begitu saja. Entah itu mereka lakukan karena didepan saya atau karena mereka lupa jika membuang sampah itu seharusnya di tempat sampah. Saya menduga karena selama ini tidak ada pengawasan dari orang tua atau orang-orang terdekat dari anak-anak untuk merawat sampah.

Memang itu kesalahan saya tidak berkoordinasi dengan orang tua dari anak-anak untuk ikut mengawasi dan mencontohkan mereka dalam merawat sampah. Saya selalu meminta anak-anak mengambil kembali sampahnya yang mereka buang begitu saja karena di akhir kegiatan tersebut kita telah berjanji untuk merawat sampah.

Cerita diatas hanya upaya kecil yang bisa saya lakukan untuk mengurangi tumpukan sampah yang tidak terawat. Garam hanyalah benda kecil yang saya gunakan untuk menyentuh kesadaran anak-anak. Banyak media lain yang bisa digunakan untuk menyentuh kesadaran tersebut.

Namun yang paling susah adalah menumbuhkan kesadaran pemangku dan pelaksana kebijakan di negara ini untuk mengeluarkan regulasi dan melaksanakannya dengan tegas peraturan tentang sampah. Kita seakan tidak punya malu karena harus orang lain yang membersihkan sampah di sungai-sungai kita.

Sanna Sanata
Sanna Sanata
Dukung saya agar bisa terus menulis dengan membeli produk-produk di linktr.ee/tokosaya
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.