Sabtu, April 20, 2024

Menyematkan Kembali Sebutan Negara Agraris

Muhammad Beni Saputra
Muhammad Beni Saputra
Seorang pengajar, pelajar, entrepreneur, penulis, dan petualang.

Indonesia impor beras lagi. Padahal negara yang subur makmur ini, dulu pernah memproklamirkan dirinya sebagai negara agraris atau negara pertanian. Sebutan itu tidak lain karena bentangan alam Indonesia yang sangat pas untuk dijadikan tempat bercocok tanam; tanahnya subur, iklimnya tropis, dan curah hujan tinggi.

Akan tetapi, akhir-akhir ini sebutan ‘negara agraris’ yang melekat pada Indonesia selama berpuluh-puluh tahun itu tak terdengar selantang dulu. Samar-samar saja. Barangkali tidak berapa lama lagi sebutan itu akan hilang. Ikut musnah bersamaan dengan para petani Indonesia yang secara perlahan, tapi konsisten, hilang dari peredaran.

Menjadi seorang petani di Indonesia saat ini bukanlah sebuah pilihan yang bijak. Ada banyak alasan mengapa demikian.

Pertama, lahan pertanian di Indonesia terus tergerus oleh kepentingan modal-modal besar. Bos-bos berduit, baik yang datang dari luar negeri maupun pengusaha lokal, berlomba-lomba mengkapling beribu-ribu hektar tanah di seluruh pelosok Indonesia. Melalui perusahaan yang mereka punya, mereka menebang hutan yang hijau ranau itu lalu menggantinya dengan kelapa sawit atau karet.

Bak gayung bersambut, aktifitas mereka ini disambut dengan tangan terbuka oleh pemerintah. Pemerintah senang bukan main sebab kehadiran perusahaan-perusahaan tersebut dapat meningkatkan penghasilan negara melalui pajak dan juga mengurangi angka pengangguran.

Oleh karena itulah, pemerintah Indonesia merasa bertanggung jawab untuk tidak hanya mendukung aktifitas perusahaan besar ini, tetapi juga melindunginya dari segala macam ‘gangguan’. Perduli apa dengan hutan yang hancur. Persetan dengan binatang yang kehilangan habitat. Masa bodoh dengan nasib para petani yang kehilangan lahan.

Maka tak heran bila para petani kini mengalami penurunan produktifitas (Kompas.com,  25/09/2016) karena memang telah banyak petani yang tidak punya lahan lagi untuk bercocok tanam. Biaya kebutuhan hidup yang kian mencekik dan harga hasil tani seperti karet yang lama terpuruk telah berhasil memaksa petani untuk menjual tanah mereka kepada perusahaan perkebunan. Belum lagi dengan kebijakan pemerintah Indonesia yang terus-terusan mengimpor bahan pangan dari luar negeri. Semakin sukses membuat hidup para petani morat-marit.

Adapun yang kedua adalah, lahan pertanian di Indonesia merupakan sumber konflik. Komnas HAM mencatat, pada tahun 2012, dari sekian banyak konflik yang melibatkan perusahaan di Indonesia, konflik agraria berada di urutan teratas (Lusia Arumingtyas, Mongabay.co.id, 31 October 2016).

Apa arti konflik ini bagi para petani? Artinya tak lain adalah pertentangan mereka dengan perusahaan besar hanyalah sebuah penegasan kekalahan mereka. para petani selalu lemah bila sudah berurusan dengan perusahaan dalam hal sengketa lahan. Aduan mereka ke pemerintah berhenti di meja. Tidak diberikan solusi sama sekali. Ketika mereka protes, mereka akan dihadapkan dengan moncong senapan Brimob atau TNI.

Maka jangan heran dalam konflik antara perusahaan dan petani, korban yang berjatuhan hampir selalu di pihak kedua. Sepanjang tahun 2014 misalnya, sebagaimana yang dicatat oleh Serikat Petani Indonesia (SPI), tedapat 90 orang petani yang menjadi korban kekerasan dan penganiayaan. Itu belum termasuk 89 petani yang dikriminalisasi secara hokum. Data ini semakin memberikan titik terang dengan pihak mana pemerintah Indonesia berkawan.

Ketiga, menekuni profesi sebagai petani dengan mimpi membangun kehidupan sejahtera di Indonesia tampaknya hanya sebuah mimpi di siang bolong. Petani di Indonesia sepertinya telah secara sistematis untuk dimiskinkan melalui berbagai macam persekongkolan antara penguasa dan pengusaha.

Disamping lahan pertanian yang kian habis dirongrong oleh korporasi, pemerintah Indonesia acapkali lepas tangan soal upaya perbaikan kesejahteraan para petani. Mereka dibiarkan berjuang sendiri tanpa bantuan pupuk dan alat pertanian.

Pendidikan soal bercocok tanampun tidak diberikan kepada mereka. kalaupun ada, itu hanya dirasakan oleh kelompok-kelompot tani tertentu saja yang punya link kuat dengan penguasa. Selebihnya, khususnya petani-petani kecil lagi miskin, betul-betul mesti berjuang sendiri seolah-olah mereka bukan bagian dari penduduk negara yang dulunya membanggakan diri sebagai ‘negara agraris’ ini.

Tak heran bila kini sudah banyak petani yang meninggalkan ladang-ladang mereka dan memilih pekerjaan lain. Dalam kurun waktu sepuluh tahun saja terdapat penurunan jumlah petani yang lumayan signifikan yaitu dari awalnya 44 persen dari total penduduk yang berkerja ke 32.9 persen.

Sensus pertanian tahun 2013 juga mencatat tren serupa dimana pada tahun tersebut Jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian (RTUP) turun sekitar 5,1 juta rumah tangga dari satu dekade sebelumnya. Mau bukti lain? Pergilah ke pelosok-pelosok desa di Sumatera, Jawa, atau Kalimantan.

Maka akan ditemukan warga desa yang berbondong-bondong pergi ke perusahaan perkebunan menjadi buruh perusahaan tersebut. Mereka rela dibayar seadanya sebab memang tidak ada pilihan lain lagi untuk bertahan hidup. Padahal jika ditilik dari upah riil buruh tani Indonesia, jerih payah mereka hanya dihargai dengan Rp 37.000 per hari. Sungguh sebuah angka yang amat jauh dari kata manusiawi.

Fenomena tragis ini amat ironis bila kita menilik nasib petani di negara lain seperti di Eropa, Amerika, atau di negara-negara maju lainnya. Hidup petani disana makmur. Pertanian mereka dikelola secara modern. Tanah tempat bercocok tanam luas. Kegiatan bertani mereka didukung oleh pemerintah melalui berbagai kebijakan pro petani dan pemberian subsidi pertanian.

Dan yang lebih pentingnya lagi adalah, bermata pencaharian sebagai petani di negara-negara tersebut bukanlah perkerjaan rendahan seperti di Indonesia. Banyak petani yang berlatar belakang pendidikan tinggi. Bahkan setara S2 sekalipun. Hal ini dikarenakan profesi sebagai petani menjanjikan perbaikan hidup sama seperti profesi-profesi lainnya.

Sekarang coba kita bandingkan dengan Indonesia. Profesi sebagai petani kian dijauhi oleh anak muda terlebih yang berpendidikan tinggi. Di mata mereka, sektor pertanian adalah pekerjaan rendahan dan telah terbukti gagal dalam menyejahterakan orang tua mereka. Jadi untuk apa menekuninya.

Toh, berkerja di sektor bisnis atau jasa lebih menjajikan masa depan yang cerah. Lagipula, jangankan membeli mobil atau traktor untuk mengolah ladang, membeli sepeda motor buat berangkat ke kebun saja banyak petani Indonesia yang tidak mampu. Masuk akal bila profesi sebagai petani mesti dijauhi oleh anak muda tersebut.

Kian redupnya pamor profesi sebagai petani ini tentu saja bukan permasalahan sepele. Bila hal ini dibiarkan bisa-bisa sektor pertanian di Indonesia akan mati total dan negara yang dulunya bangga dengan slogan ‘negara agraris-nya’ ini akan terus-terusan mengimpor bahan pangan dari negara lain.

Untuk itu, sebelum semuanya terlambat, pemerintah perlu serius berkerja untuk memperbaiki nasib petani agar lebih sejahtera. Pemerintah mesti insyaf kalau petani adalah tulang punggung negara. Tanpa mereka mustahil kirannya sebutan ‘negara agraris’ tersemat kembali di dada burung garuda seperti di tahun-tahun yang terdahulu.  

Muhammad Beni Saputra
Muhammad Beni Saputra
Seorang pengajar, pelajar, entrepreneur, penulis, dan petualang.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.