Sabtu, April 27, 2024

Menyelami Pemikiran Gus Dur, Sebagai Penawar Racun Fanatisme

Wahyu Eka Setyawan
Wahyu Eka Setyawan
Alumni Psikologi Universitas Airlangga. Bekerja di Walhi Jawa Timur dan sebagai asisten pengajar. Nahdliyin kultural.

”Gus Dur memancing tawa saat menyelingi pembicaraannya dengan Castro bahwa semua presiden Indonesia punya penyakit gila. Presiden pertama Bung Karno gila wanita, presiden kedua Soeharto gila harta, presiden ketiga Habibie benar-benar gila alias gila beneran, sedangkan Gus Dur sendiri sebagai presiden keempat sering membuat orang gila karena yang memilihnya juga orang-orang gila. Sebelum tawa Castro reda, Gus Dur langsung bertanya. “Yang Mulia Presiden Castro termasuk yang mana?” Castro menjawab sambil tetap tertawa, “Saya termasuk yang ketiga dan keempat.”

Lelucon di atas akan dimaknai sebagai penghinaan, ketika kita belum mampu objektif dalam menyikapi sesuatu. Di satu sisi akan memunculkan sisi lucu, merangsang kita untuk tertawa terbahak-bahak tiada hentinya. Lantas semua itu merupakan bagian dari pro dan kontra yang lumrah kita temui. Pada titik tertentu akan memunculkan perdebatan diantara netizen, seperti ungkapan begini, ”masak Gus Dur menjelek-jelekan Presiden Indonesia dimata seorang Castro, jelas itu penghinaan”. Begitu juga sebagaian orang juga akan berpikir, “sudahlah ada benernya juga, toh kenyataannya gitu”.

Begitulah gambaran masyarakat di sekitar kita, baik di forum-forum warung kopi, pengajian mamah-mamah, hingga netizen budiman yang tak pernah salah. Bahkan mas-mas, mbak-mbak, bapak-bapak, ibu-ibu dan dedek-dedek, masih belum bisa move on dari sentimen pilpres 2014 silam. Mereka masih terbawa perasaan, nyatanya persoalan hari ini tidak jauh-jauh dari kenangan yang lampau.

Media sosial akhir-akhir ini ibarat medan pertempuran, dimana semua orang saling menghujat satu sama lainnya. Hingga melupakan realitas yang sedang terjadi, tenggelam dalam dunia maya yang kejam. Isu-isu dilahap dengan mentah lalu dimuntahkan di sembarang tempat, tak ayal banyak yang jengah hingga marah-marah. Kondisi yang demikian secara sepintas terlihat bagus untuk ukuran demokrasi, namun sepintas dapat dimaknai sebagai perubahan orientasi dalam budaya bermasyarakat.

Isu-isu yang sering diperdebatkan berkutat diseputar agama, ras dan sentimen politik. Secara tidak langsung kita melihat bahwa ada yang tidak sehat dalam berdemokrasi, dimana hal tersebut rentan menimbulkan konflik horizontal antar masyarakat. Itulah kenyataan yang terpampang jelas di mata kita, apalagi menjelang pemilu 2019 kebaperan masa lalu masih menghinggapi. Sampai-sampai bermutasi menjadi gerakan-gerakan angka cantik, pemikiran-pemikiran konservatif kembali menjadi dominan. Keberagaman kini menghadapi dekandensi oleh sebuah dunia semua, yang telah di setting sedemikian rupa oleh para elite kita.

Salah satu penyebab dari permasalahan tersebut adalah fanatisme, dimana mereka mempercayai bahwa apa yang dipahami dan dipercaya mutlak benar. Mereka tidak mentolerir perbedaan pandangan dan keyakinan, karena pada dasarnya mereka menutup pemikiran akan hal-hal yang berseberangan. Fanatisme merupakan kunci dari isu-isu sektoral yang kembali menyeruak, dinaikan kembali sebagai upaya busuk untuk meraup keuntungan elite. Diskursus seperti inilah yang terus direproduksi, direplikasi menjadi alat untuk merebut kekuasaan.

Melihat Kembali Esensi Fanatisme

Denis Diderot dalam Essai sur le mérite et la vertu mengatakan fanatisme berada dalam satu langkah menuju barbarisme. Dia melihat bahwa fanatisme akan membutakan realitas sehingga menutup hati nurani, maka hal-hal yang dipercaya akan dilindungi bahkan akan melakukan apa saja untuk melindungi kepercayaannya.

Fanatisme sendiri menurut Voltaire merupakan dampak dari hati nurani yang palsu, dimana membuat agama tunduk pada imajinasi dan ekses (melampaui batas) nafsu. Voltaire memandang fanatisme seperti takhayul, delirium (gangguan psikologis, menurunya kesadaran terhadap lingkungan) seperti demam dan amarah. Mereka yang mengalami hal tersebut akan tenggelam dalam ekstase (tidak sadar) dan visi, yang mengambil mimpi untuk realitas dan imajinasi diri sendiri untuk dijadikan nubuat. Mereka yang fanatik memiliki harapan yang besar dan janji semu, mungkin disatu titik akan mencapai puncak tertinggi pemahamanya dan tidak segan membunuh yang bersebrangan demi cinta kasih tuhan. (Philosophical Dictionary)

Fanatisme sebenarnya mengacu pada hal yang aksiomatik bahkan postulat, dimana sebuah kebenaran dipercaya mutlak tanpa adanya proses pembuktian kebenaran. Logika yang dipakai yaitu memahami suatu ajaran tanpai memahami dan memaknai, sehingga terjebak dalam taklid buta tak mampu bersikap tawazun. Maka tidak heran jika orang-orang yang terlibat pertempuran baik pendukung setia maupun barisan gagal move on, selamanya tidak akan berubah jika mereka tidak membuka tirai pemikiran mereka.

Nilai-Nilai Gus Dur Sebagai Upaya Dekonstruksi Fanatisme

Gus Dur pernah bilang jika dia benci pada orang yang membenarkan agamanya (pemikirannya) sendiri, lalu menganggap salah agama orang lain. Seharusnya kita belajar dari filosofi beliau, terkait humanisme itu sendiri. Beliau selalu mengajarkan untuk menghormati dan menghargai pendapat orang lain. Ada tiga nilai yang diajarkan oleh Gus Dur terkait pandangan yang memanusiakan manusia, sejalan dengan keyakinan beliau terkait Islam yang Rahmatan Lil Alamin. Mengutip dalam artikel sembilan nilai utama Gus Dur, tiga nilai yang sesuai sebagai solusi permasalahan akan fanatisme ialah:

  • Ketauhidan

Allah sebagai yang Maha Ada sebagai salah satu sumber keimanan kita dalam beragama. Allah sebagai Dzat hakiki yang Maha Cinta Kasih satu-satunya, yang disebut dalam bermacam-macam nama. Ketauhidan muncul bukan dari sekadar dari intensitas mengucap dan menghafal, akan tetapi juga melihat realitas dan mengimplementasikan dalam kehidupan. Ketauhidan yang sebenarnya mendorong kesadaran terdalam, bahwa Dia adalah sumber dari rahmat yang menentramkan kehidupan.

  • Kemanusiaan

Ketauhidan akan memunculkan sisi-sisi humanis, memanusiakan manusia, menghargai segala sesuatu yang menjadi ciptaan-Nya. Kemanusiaan muncul sebagai bentuk implementasi ketauhidan, bahwasanya manusia itu diciptakan oleh Allah sebagai mahkluk sosial. Kemanusiaan sendiri merupakan proyeksi yang implementatif dari sifat-sifat ketuhanan. Memuliakan Allah secara tidak langsung juga memuliakan ciptaanNya. Maka tidak heran jika merendahkan dan menistakan manusia, secara tidak langsung telah merendahkan dan menistakan Allah

  • Keadilan

Keadilan merupakan pengejahwantahan dari pandangan kemanusiaan, yang dasarnya berasal dari ketauhidan. Memanusiakan manusia dan menghargai ciptaan-Nya akan terwujud jika berlaku adil. Keadilan sendiri bersumber dari keseimbangan, kelayakan, dan kepantasan dalam kehidupan masyarakat. Keadilan tidak akan nada jika kita masih menihilkan sesama, menganggap hidup ini hanya golongan kita saja. Hadirnya semangat keadilan merupakan sebuah upaya untuk menjalankan perintah-Nya dan karena itu harus diperjuangkan, sebagai bentuk jihad yang sesungguhnya amar ma’ruf nahi munkar. Membebaskan nmanusia dari penindasan dan penghisapan, berpihak pada kaum-kaum yang mustadhafin.

Islam menurut Gus Dur adalah agama pembebasan, nilai-nilai di atas merupakan pengejahwantahan dari Islam yang sesungguhnya. Islam itu sangat menghargai perbedaan dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan. Bukan Islam namanya kalau menindas sesama.

Wahyu Eka Setyawan
Wahyu Eka Setyawan
Alumni Psikologi Universitas Airlangga. Bekerja di Walhi Jawa Timur dan sebagai asisten pengajar. Nahdliyin kultural.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.