Tahun 2004, publik Indonesia terpesona oleh jalinan cerita novel Ayat Ayat Cinta (AAC), yang hingga kini sudah terjual lebih dari 500 ribu eksemplar. Saat diadaptasi menjadi film yang dirilis tahun 2008, berhasil menorehkan prestasi mengagumkan dengan raihan 3,7 juta penonton. Kesuksesan ini dilanjutkan novel Ketika Cinta Bertasbih (KCB) tahun 2007 yang juga diadaptasi menjadi film Ketika Cinta Bertasbih 1 dan 2 yang dirilis tahun 2009.
Aktor di balik kebangkitan novel dan fiksi Islami ini adalah Habiburrahman El Shirazy atau Kang Abik yang merupakan santri alumni Pondok Pesantren Al-Anwar, Mranggen, Demak. Sejak itu, novel dan film Islami semakin banyak diminati masyarakat Indonesia, seperti terlihat pada novel Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi, alumni Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo.
Semua ini membuktikan bahwa santri mampu berkiprah sebagai pionir sekaligus penggerak dunia sastra dan perfilman Indonesia, sehingga saat ini seringkali dijumpai novel, film atau sinetron bernuansa religi.
Santri alumni pesantren pun diterima dengan baik saat berkiprah di dunia musik. Misalnya Wali Band yang berisi empat personil, semuanya berstatus alumni pesantren. Faank dan Apoy alumni Pondok Pesantren La Tansa, Pandegelang, Banten; Tami alumni Pondok Pesantren Al-Falah, Lampung; dan Ovie alumni Pondok Pesantren Al-Hikmah Annajiyah, Bogor.
Band ini berhasil menciptakan lagu-lagu bernuansa religi yang digemari masyarakat, seperti Tomat (Tobat Maksiat) yang menjadi soundtrack sinetron Islam KTP yang ditayangkan SCTV. Saat ini pun masyarakat Indonesia sedang demam lagu-lagu religi yang dilantunkan Nissa Sabyan, yang sudah ditonton ratusan juta kali di youtube dan menjadi trending topik di youtube. Grup Musik Gambus Sabyan yang berisi enam personel ini pun, rata-rata merupakan alumni pesantren.
Kiprah santri alumni pesantren semakin berkibar pada tahun 2016. Saat itu, Indonesia hanya meraih satu medali emas Olimpiade Rio de Janeiro Brazil di cabang bulu tangkis campuran, atas nama Tantowi Ahmad (Owi) dan Liliana Natsir. Setelah ditelusuri, Owi merupakan alumni Pondok Pesantren Al-Falah, Ploso, Kediri. Prestasi santri di bidang olahraga semakin gemilang dengan ditunjuknya Imam Nahrawi (alumni Pondok Pesantren Al-Kholiliyah An Nuroniyah, Bangkalan), sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga.
Ada juga sejumlah santri alumni pesantren yang ditunjuk menjadi menteri dalam Kabinet Kerja. Antara lain: Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin (alumni Pondok Modern Gontor); Menteri Riset Teknologi dan Perguruan Tinggi, M. Nasir (alumni Pondok Pesantren Mambaul Ilmi Sarang, Rembang) dan Menteri Tenaga Kerja, Hanif Dakhiri (alumni Pondok Pesantren Al-Muayyad Solo).
Bukan hanya di tingkat kabinet, santri alumni pesantren juga dipercaya menjadi pemimpin publik di sejumlah daerah. Misalnya, Tuan Guru Bajang (TBG) Muhammad Zainul Majdi (menuntaskan hafalan al-Qur’an 30 Juz di Ma’had Darul Qur’an wal Hadits Nahdlatul Wathan Pancor) sebagai Gubernur Nusa Tenggara Barat; Wakil Gubernur Jawa Tengah, Gus Taj Yasin Maimoen (putra KH. Maimoen Zubair); hingga Walikota Malang, Sutiaji (alumni Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambak Beras, Jombang).
Sedangkan puncak kiprah santri sebagai pemimpin publik adalah Gus Dur sebagai Presiden Republik Indonesia ke-4 pada tahun 1999-2001. Menurut Rhenald Kasali, kendati hanya menjabat dua tahun, Gus Dur telah melakukan sepuluh perubahan besar. Antara lain kebebasan pers dengan menghapus Departemen Penerangan, membangun Kementerian HAM, reformasi TNI (larangan tentara aktif ikut berpolitik) dan menggilir jabatan Panglima TNI.
Contoh terakhir, Ustadz Yusuf Mansur merupakan teladan bagi generasi milenial untuk meraih kesuksesan “dunia-akhirat”. Di bidang pendidikan, sukses mendirikan Pondok Pesantren Daarul Qur’an (DAQU); di bidang dakwah, sukses berdakwah secara lisan melalui saluran televisi dan berdakwah secara tulisan melalui buku; di bidang ekonomi, sukses mendirikan Veretra Sentosa Internasional yang meluncurkan Paytren.
Paparan di atas menunjukkan bahwa kiprah santri zaman now bukan sekedar mengaji dan berdakwah ke sana-sini; melainkan sudah berhasil melebarkan sayap-sayap kemanfaatan di berbagai lini kehidupan. Jika dikaitkan dengan nilai-nilai al-Qur’an, keanekaragaman peran santri sesuai dengan pesan Nabi Ya’qub AS, “Wahai putraku, janganlah kalian masuk dari satu pintu gerbang saja; namun masuklah dari pintu gerbang yang beraneka-ragam” (Q.S. Yusuf [12]: 67).
Adapun tali pengikat yang menghubungkan para santri dengan beragam profesi tersebut adalah “jiwa pesantren” atau “ruh al-ma’had”. Antara lain: Pertama, Ketaatan. Ketaatan santri kepada guru bukan karena takut hukuman, layaknya pegawai kepada majikan; melainkan karena rasa hormat dan rendah hati (tawadhu’) di hadapan sang guru. Sikap ini selaras dengan pernyataan Sayyidina ‘Umar ibn al-Khaththab RA: “Bersikap tawadhu’-lah kalian kepada orang yang mengajari ilmu kepada kalian” (H.R. al-Baihaqi).
Dalam Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim, Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari menyatakan agar santri memposisikan diri di hadapan guru, layaknya pasien di hadapan dokter. Ekspresi ketaatan kepada guru juga diwujudkan melalui perilaku “tabaruk” (ngalap berkah; mencari keberkahan) yang seringkali disalahpahami oleh “orang luar (outsider)”. Misalnya, berebut minuman bekas sang guru atau kiai.
Kedua, Kesederhanaan. Sikap sederhana dan bersahaja santri merupakan bentuk peneladanan terhadap gaya hidup Rasulullah SAW. Beliau pernah bersabda: “Hiduplah sederhana, karena kenikmatan-kenikmatan (duniawi) itu tidak abadi”. Imam al-Syafi’i juga pernah memberi tips, “Sungguh tidak akan sukses orang yang menuntut ilmu disertai ketinggian hati dan ekonomi melimpah. Akan tetapi orang yang menuntut ilmu disertai kerendahan hati, ekonomi sederhana dan berkhidmah kepada ulama-lah yang akan sukses”.
Pada umumnya, kesederhanaan berpadu dengan kemandirian, sehingga sulit menemukan santri alumni pesantren yang menjadi pengangguran. Hal ini dikarenakan kemandirian membuat santri terbiasa berusaha keras, sedangkan kesederhanaan membuat santri terbiasa hidup sesuai kebutuhan, bukan keinginan, sehingga minim pengeluaran.
Ketiga, Kemanfaatan. Ada istilah populer “santri paku” yang diperkenalkan oleh pendiri Pesantren Lirboyo Kediri, Almaghfurlah Kiai Abdul Karim, yang sering berpesan kepada para santri beliau: “Kamu mondok bertahun-tahun, kalau pulang jadilah paku!”.
KH. Abdul Aziz Manshur menjelaskan maksudnya, “sekalipun (paku) dipukuli terus, tapi sudah jelas bermanfaat. Yaitu bisa menyatukan reng, usuk dan papan lainnya”. Artinya, santri mampu untuk menyatukan berbagai lapis masyarakat, meski dianya sendiri tidak terlihat.
Walhasil, ruh pesantren yang terpatri dalam jiwa santri, membuat peran santri tidak pernah lekang oleh zaman; bahkan peran dan kiprahnya semakin dinanti-nantikan, karena terbukti dapat diandalkan di berbagai lini kehidupan; sebagai bukti nyata bahwa “Hari Santri Nasional” (22 Oktober 2018) memang pantas untuk dirayakan.
Sumber Foto: http://www.aisjawatengah.com/2017/12/arus-informasi-bagi-santri-kekosongan.html