Rabu, Oktober 9, 2024

Menurunkan Biaya Logistik

Eko Setiobudi
Eko Setiobudi
Dr Eko Setiobudi, SE, ME Dosen di STIE Tribuana Bekasi

Bank Dunia merilis Logistic Performance Index (LPI) tahun 2018. Dalam rilis tersebut Indonesia menduduki peringkat ke 46 atau naik 17 peringkat dari posisi dua tahun sebelumnya yakni pada peringkat 63 dunia.

LPI sendiri didasarkan pada enam aspek yaitu, efisiensi waktu kepabeanan, kualitas infrastruktur perdagangan dan transportasi, kemudahan pengaturan pengiriman internasional, kompetensi dan kualitas jasa logistik, kemampuan melakukan tracking & tracing, dan frekuensi pengiriman tepat waktu.

Peringkat Indonesia meningkat ke posisi 46 dengan skor 3,15 atau naik 17 tingkat dari sebelumnya di posisi 63 dengan skor 2,98. Dari semua aspek penilaian LPI 2018, aspek kepabeanan meraih skor terendah sebesar 2,67. Sementara itu, aspek penilaian tertinggi adalah ketepatan waktu dengan skor 3,67. Aspek lainnya yaitu infrastruktur dengan skor 2,89, pengiriman barang internasional 3,23, kualitas dan kompetensi logistik 3,1, dan pencarian barang sebesar 3,3.

Peningkatan peringkat ini sekaligus menunjukkan bahwa program pembangunan infrastruktur yang sudah dilakukan oleh pemerintahan Jokowi dalam kurun waktu 4 tahun terakhir berdampak signifikan khususnya terhadap penurunan biaya logistik.

Sebagaimana diketahui, belanja infrastruktur dalam APBN dari tahun ke tahun juga terus meningkat.  Pada 2016, anggaran infrastruktur sebesar Rp 317,1 triliun setara 15,2 persen dari belanja negara. Angka ini meningkat pada tahun 2017 yakni sebesar Rp 387,3 triliun atau setara 18,6 persen dari total belanja belanja pemrintah. Kembali meningkat di tahun 2017 yakni sebesar Rp 410 triliun, dan di tahun 2019 meningkat Rp 10 triliun jika dibandingkan tahun 2018 yakni sebesar Rp 420 triliun.

Spirit konektifitas yang menjadi grand strategi pembangunan infrastruktur yang berdampak pada penurunan biaya logistik.  Infrastruktur konektivitas spiritnya adalah untuk mempermudah mobilitas masyarakat  dalam bekerja dan berusaha, serta mempermudah industri dalam pemerataan distribusi barang/jasa ke semua wilayah di Indonesia.

Infrastruktur konektifitas tersebut diantaranya adalah jalan, jembatan, pelabuhan, jalur kereta api dan bandar udara. Berdasarkan data, dalam empat tahun pemerintahan Jokowi-JK, telah membangun jalan sepanjang 3.432 kilometer, jalan tol sepanjang 947 kilometer, jembatan sepanjang 39,8 kilometer, jembatan gantung sebanyak 134 unit, jalur kereta api, termasuk jalur ganda dan reaktivasi sepanjang 754.59 km’sp, 10 (sepuluh) bandar udara baru (Miangas, Letung, Tebeliang, Maratua, Morowali, Namniwel, Weru dan Koroway Batu), 19 (sembilanbelas) pelabuhan baru dan lain-lain.

Dampak pembangunan infrastruktur tersebut memang tidak bisa langsung dirasakan oleh kelompok rumah tangga (masyarakat) dalam waktu singkat. Pembangunan infrastruktur dan pengembangan ekonomi makro memiliki hubungan timbal balik, karena pembangunan infrastruktur menimbulkan ekspansi ekonomi melalui efek multiplier.

Sementara ekspansi ekonomi menimbulkan kebutuhan untuk memperluas infrastruktur yang ada, untuk menyerap makin besarnya aliran barang dan orang yang beredar atau bersirkulasi di seluruh kegiatan perekonomian.  Karena inilah efek multiplier bagi kegiatan ekonomi sektor rumah tangga baru akan dirasakan dalam kurun waktu 10-20 tahun mendatang.

Hal berbeda dirasakan oleh dunia industri. Konektifitas infrastruktur akan mendorong penurunan biaya logistik baik menyangkut biaya handling, biaya transportasi termasuk efisiensi waktu yang berkorelasi pada penurunan biaya. Sebagai contoh adalah di perusahaan kami yang notabene adalah industri elektronik dengan mayoritas bahan baku bersumber dari impor.

Sebelum adanya konektifitas infrastruktur, biaya logistik dalam struktur biaya industrii rata-rata 23-25 persen dari total biaya per unit. Biaya logistik ini hampir sama dengan biaya pengadaan bahan baku. Namun seiring dengan konektifitas infrastruktur, biaya logistiknya terus mengalami penurunan dan saat ini pada posisi 18-20 persen dari struktur biaya per unit.

Sementara biaya logistik Indonesia saat ini rata-rata sebesar 24 persen dari PDB Indonesia, yang sekaligus menujukkan bahwa bahwa kinerja sistem logistik nasional masih kurang signifikan meskipun konektifitas infrastruktur sudah selesai dikerjakan oleh pemerintah, sehingga tata kelolanya harus diperbaiki secara komperhensif.

Pemerintah sebelumnya telah mengeluarkan Paket Kebijakan Ekonomi Jilid ke-15 tentang Pengembangan Usaha dan Daya Saing Penyedia Jasa Logistik Nasional. Paket kebijakan ini difokuskan untuk perbaikan sistem logistik nasional dan menurunkan biaya operasional logistik. Paket ini bertujuan untuk melakukan penguatan kelembagaan dan kewenangan Indonesia National Single Window (INSW).

Bentuk kebijakan yang diambil antara lain berupa pemberian fungsi independensi badan  INSW untuk dapat mengembangkan sistem elektronik pelayanan dan pengawasan ekspor impor, kepabeanan, dan kepelabuhan di seluruh Indonesia dan pengawasan kegiatan ekspor impor yang berpotensi sebagai perdagangan illegal serta membangun single risk management untuk kelancaran arus barang dan penurunan dwelling time dan pengembangan INSW sebagai competent authority dalam integrasi ASEAN Single Window dan pengamanan pelaksanaan FTA.

Selain itu, untuk mendukung kelancaran arus barang, pemerintah juga membentuk Tim Tata Niaga Ekspor Impor. Tim ini bertujuan mengurangi jumlah Larangan Pembatasan (Lartas) dari 49 persen menjadi sekitar 19 persen, atau mendekati rata-rata non-tarif barrier negara-negara ASEAN sebesar 17 persen.

Namun beberapa hal prinsip justru belum terakomodir dalam kebijakan tersebut, dimana persoalan prinsip tersebut masih cukup membebani porsi besarnya biaya logistik dalam struktur cost industri. Hal ini tecermin dalam harga-harga barang yang terdistorsi menjadi jauh lebih mahal pada daerah-daerah pinggiran dan luar Jawa, jika dibandingkan dengan harga barang yang sama, yang dijual pada pusat-pusat kota dan di jual di Pulau Jawa.

Persoalan tersebut adalah , (1) industri yang belum berjalan secara maksimal di berbagai daerah di Indonesia. Sebut saja untuk industri elektronik. Persebaran industri elektronik banyak berada di Jateng (Semarang dan Kudus), Jabar (Bekasi dan Kerawang), Surabaya, dan Banten. Sementara vendor bahan baku (bahan baku selain impor)   banyak berada di Bekasi dan Tangerang.

Hal inilah yang menyebabkan masih tingginya biaya logistik akibat masih besarnya biaya transportasi. (2) belum adanya standarisasi logistik, baik meliputi standarisasi dokumen, standarisasi ukuran palet, standarisasi berat, standarisasi keamanan, termasuk hal yang paling mendasar adalah standarisasi penulisan alamat. Akibatnya kontainer yang melakukan pengiriman barang, kembalinya dalam keadaan kosong, akibat belum adanya standarisasi-standarisasi sebagaimana tersebut di atas.

Jika standarisasi diberlakukan, kontainer yang mengirimkan barang-barang elektronik misalnya, pulangnya dapat mengangkut bahan pangan atau barang-barang lainnya, sehingga akan memangkas biaya transportasi. (3) intensifikasi strategi dan upaya untuk menurunkan biaya logistik dengan melakukan koordinasi semua pihak, terutama pemerintah, industri secara umum, pelaku usaha pengangkutan dan perhubungan, serta masyarakat lainnya.

Eko Setiobudi
Eko Setiobudi
Dr Eko Setiobudi, SE, ME Dosen di STIE Tribuana Bekasi
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.