Hari Buruh Internasional di Indonesia setiap tahun begitu ramai dibicarakan. Hal yang sering dibahas oleh para buruh adalah upaya akan kenaikan upah setiap tahun. Hal itu dilakukan dengan mengadakan demonstrasi besar-besaran terhadap pemerintah yang menjadikan ritual tahunan bagi para buruh.
Di Indonesia, kita teringat bahwa kita memiliki sosok wanita pemberani yang berjuang menegakkan keadilan dan HAM (Hak Asasi Manusia) sekaligus sebagai penggerak buruh di Indonesia.
Siapakah sosok wanita pemberani tersebut?
Ia adalah Marsinah, salah satu penggerak unjuk rasa di PT. Catur Surya pada Mei 1993. Ia ditemukan tewas mengenaskan pada 8 Mei 1993 di usia 24 tahun. Setelah memperjuangkan kenaikan upah buruh di PT. Catur Surya.
Kejadian ini berawal dari para buruh PT. Catur Surya yang melakukan mogok kerja karena pihak perusahaan menolak untuk menaikkan upah buruh sesuai dengan surat edaran Gubernur Jawa Timur No. 50/Th.1992.
Surat itu berisi himbauan kepada pengusaha agar menaikkan kesejahteraan karyawannya dengan memberikan kenaikan gaji sebesar 20% gaji pokok.
Karena itu Marsinah bersama rekan buruhnya membahas terkait surat edaran ini dan menuntut perusahaan agar memenuhi hak mereka. Sehinga pada tanggal 3 dan 4 Mei 1993, seluruh karyawan PT. Catur Surya berunjuk rasa untuk menuntut kenaikan upah dari Rp 1.700,00 menjadi Rp 2.250,00.
Kejadian 5 Mei 1993
Marsinah bersama rekan buruhnya masih aktif merundingkan dalam kegiatan unjuk rasa. Marsinah merupakan salah 1 dari 15 orang perwakilan buruh yang melakukan perundingan dengan pihak perusahaan.
Pada jam 1 siang, 13 buruh tanpa Marsinah dibawa ke Komando Dustrik Militer (Kodim) Sidoarjo karena dituduh telah melanggar rapat gelap dan mencegah para buruh masuk kerja.
Mendengar kabar itu, Marsinah mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan rekan buruhnya yang dibawa oleh pihak Kodim.
Kejadian 6 – 8 Mei 1993
Namun sejak itu, keberadaannya mulai tidak diketahui oleh rekan buruhnya. Setelah hilang selama tiga hari, Marsinah ditemukan tewas terbujur kaku di sebuah hutan yang berlokasi di Dusun Jegong, Kecamatan Wilangan Nganjuk.
Berdasarkan visum dari Rumah Sakit Umum di Nganjuk, pada bagian leher dan kedua tangan Marsinah ditemukan luka memar bekas pukulan benda tajam. Melihat bercak-bercak darah di tubuhnya, Marsinah diduga diperkosa sebelum dibunuh.
Kejadian 9 – 11 Mei 1993
Setelah kejadian itu, tercatat sembilan nama berasal dari kepemimpinan dan pemilik perusahaan PT. Catur Surya sebagai tersangka pelaku penganiayaan Marsinah, berdasarkan hasil penyelidikan.
Pada 11 Mei 1993, di persidangan tingkat pengadilan negeri dan tingkat banding. Sembilan orang tersebut dinyatakan bersalah.
Kejadian 15 Mei 1993
Ketika persidangan naik ke tingkat kasasi Mahkamah Agung, sembilan tersangka yang dinyatakan bersalah justru dibebaskan.
Pelaku pembunuhan Marsinah belum terungkap
Sudah ada tiga satpam PT. Catur Surya yang mengaku membunuh Marsinah. Tetapi, dalam sesi persidangan, mereka membantah pengakuan yang ditulis di sebuah Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Di depan majelis hakim, salah satu seorang tersangka mengaku menandatangani BAP karena telah disiksa secara fisik dan psikis oleh petugas keamanan.
Pada 29 April 1995 merupakan puncak dari kasus Marsinah. Mahkamah Agung membatalkan semua keputusan pengadilan dan membebaskan terdakwa dari semua tuduhan. Karena semua saksi memberikan keterangan yang terus berganti.
Hingga kini kematian Marsinah meninggalkan misteri karena belum ada upaya serius untuk membongkar kematian Marsinah.
Pelanggaran Kasus Marsinah
Dalam kasus ini termasuk pelanggaran HAM berat yang tertera pada pasal 9 UU No 26 Tahun 2000. Dasar hukum yang dilanggar pada Pancasila sila ke-2 yakni “kemanusiaan yang adil dan beradab” dan juga sila ke-5 “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Karena kasus ini terdapat tindak pembunuhan, perbudakan,penyiksaan serta ketidakadilan yang dialami oleh Marsinah.
Pada 1993 Yayasan Pusat Hak Asasi Manusia menganugerahinya Yap Tiam Hiem Award karena menjadi salah satu pelanggaran HAM berat yang terjadi saat pemerintahan Orde Baru
Hikmah dari kasus Marsinah
Marsinah menjadi simbol perlawanan dari para buruh yang menuntut keadilan di sebuah perusahaan yang menolak akan kenaikan upah para buruh walaupun sudah tertera dalam surat edaran Gubernur Jawa Timur No. 50/Th.1992.
Marsinah patut diberi gelar pahlawan keadilan karena aksi berani menentang ketidakadilan yang dirasakannya bersama rekan buruhnya pada saat itu.
Di era sekarang ini, kita bisa meniru keberanian Marsinah dalam menentang ketidakadilan walaupun kondisi Indonesia saat ini tumpul ke atas dan lancip ke bawah. Yang artinya hukum di Indonesia tidak berlaku bagi para petinggi negara dan justru berlaku tajam bagi rakyatnya.
Disamping itu, kita sebagai makhluk sosial harus memperjuangkan HAM milik kita sendiri dan juga tidak boleh melanggar HAM orang lain. Jadi kita harus mampu menjaga HAM diri sendiri dan orang lain.
Sumber dari www.tempo.com , www.kumparan.com dan www.vhrmedia.com