Suasana gempita kemerdekaan masih segar terasa. Seluruh pelosok negeri yang tahun ini memasuki titik kemerdekaannya yang ke-72, ramai dengan kegiatan perayaan. Di desa dan kota, masyarakat menyesakinya dengan lomba dan pentas seni yang semarak. Perayaan tersebut menjadi ritus tahunan yang akan terus dilaksanakan, sebagai satu wujud mengenang perjuangan para pahlawan kemerdekaan.
Pemerintah sendiri, dalam hal ini Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, juga mempunyai ritus tahunan yang selalu dilaksanakan. Salah satunya pemberian remisi hukuman. Bonus pengurangan hukuman tersebut diberikan kepada para narapidana yang memang memenuhi syarat. Bahkan sebab remisi itulah ada beberapa narapidana bisa menghirup udara bebas tepat di tanggal 17 Agustus 2017, beberapa hari yang lalu.
Salah satu narapidana yang menghirup udara bebas tersebut adalah Aman Abdurrahman. Seperti diberitakan CNN Indonesia (17/08), pria berwajah tegas ini mendapat remisi 5 bulan yang mengantarkannya bisa menghirup udara bebas, keluar dari Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan di Jawa Tengah. Namun ketika keluar dari lapas yang sangar tersebut, ia kembali harus berurusan dengan kasus hukum yang baru. Ia langsung ditangkap Tim Densus 88, kemudian dibawa ke Jakarta untuk diproses dalam kasus bom Thamrin.
Sosok Aman Abdurrahman
Pemberitaan tentang Aman Abdurrahman memang selama ini tidak begitu banyak. Hal itu salah satunya disebabkan ia ada di dalam penjara, menjalani hukuman 9 tahun, terakhir di Lapas Nusakambangan. Sehingga sosok dan jati diri pemimpin Jamaah Ansharut Daulah (JAD) ini, yang di kalangan jihadis diangkat sebagai ustad mereka, seperti tenggelam oleh deburan ombak berita-berita lainnya.
Padahal jika mengetahui sosok ini, boleh jadi akan segera memunculkan ketakutan di tengah masyarakat. Ia memang menjalani hukuman karena keterlibatannya dalam kasus terorisme di Aceh, dimana ia turut membantu pelatihan militer di Pegunungan Jalin Jantho Aceh Besar pada 2009 yang lalu. Tetapi sepak terjang dirinyalah yang menjadi faktor betapa ia sosok yang harus diperhitungkan. Terutama bagi kepolisian dan militer.
Salah satu yang menjadi faktor betapa berbahayanya ustad Aman Abdurrahman adalah 8 diktum tentang NKRI yang disampaikannya dalam ceramah beberapa tahun yang lalu di Lapas Nusakambangan seperti diberitakan Viva.co.id (25/01/2016). Pertama, berlakungan hukum selain Allah Swt. Kedua, mengadukan kasus persengketaannya kepada taghut. Ketiga, negara dan pemerintah bertotalitas kepada orang-orang kafir seperti PBB, Amerika Serikat dan Eropa. Keempat, memalingkan hukum dan undang-undang kepada selain Allah, tapi kepada MPR, DPR dan DPD. Kelima, memberikan hak untuk berbuat syirik, kekafiran dan kemurtadan dengan dalih kebebasan beragama dan hak asasi manusia. Keenam, menyamakan antara orang kafir dengan orang Muslim. Ketujuh, sistem yang berjalan adalah demokrasi, kedaulatan di tangan rakyat, bukan Allah Swt. Kedelapan, NKRI berlandaskan Pancasila yang falsafahnya syirik, taghutiyah dan syaithaniyah.
Delapan diktum tersebut tercetak dalam buku Tadzkirah II “Peringatan dan Nasehat Karena Allah Kepada Aparat Taghut NKRI 2013” yang ditulis bersama Abu Bakar Baasyir. Pada akhirnya delapan diktum tersebut dijadikan ideologi yang sangat kuat di kalangan jihadis (teroris) untuk menghukum NKRI. Oleh sebab syirik, taghutiyah dan syaithaniyah itulah, NKRI dihalalkan darahnya. Aksi-aksi terorisme yang selama ini terjadi di negeri ini, disinyalir semuanya berangkat dari ideologi hitam putih ala khawarij yang disuntikkan ustad Aman Abdurrahman tersebut.
Dibanding dengan Ustad Abu Bakar Baasyir yang kini menjalani hukuman di Lapas Gunung Sindur, Bogor, banyak pihak yang menyatakan jika Aman Abdurrahman lebih berbahaya dari mantan pengasuh Ponpes Ngruki Solo yang kini berusia 79 tahun itu.
Menurut BNPT Aman Abdurrahman adalah salah satu narapidana terorisme yang peling keras, bahkan sampai perlu dipisah dari narapidana lainnya. Banyak pula yang menjulukinya sebagai “Bapak Takfiri Indonesia”, yang disinyalir melahirkan anak ideologisnya, bernama Afif alias Sunakim, pelaku bom Thamrin pada medio Januari 2016, setahun yang lalu.
Kewaspadaan dan Perlawanan Ideologi
Betapapun semarak kemerdekaan masih kita rasakan, menilik informasi terbaru tetaplah harus dilakukan oleh seluruh elemen bangsa ini. Terutama terhadap kasus terorisme yang silih berganti terjadi di beberapa belahan dunia. Di dalam negeri kita tentu tilik informasi terorisme tersebut kita fokuskan pada sel-sel tidur para gembong teroris global biadab saat ini, ISIS.
Pihak yang paling berwenang dalam menanggulangi terorisme tentu saja kepolisian dan TNI. Dua institusi ini haruslah selalu sigap dan bermata tajam melihat gerak-gerik para jihadis atau teroris. Tidak terkecuali Aman Abdurrahman yang walaupun terpenjara, namun masih mampu menyebar ideologi Islam radikalnya dengan cara komunikasi antar narapidana.
Tetapi dalam hal-hal tertentu peran serta masyarakat juga sangat diperlukan. Apalagi setelah kita semua dihentakkan serangan ISIS di Marawi yang tidak terduga sebelumnya. Padahal selama ini Marawi dikenal dengan masyarakatnya yang rukun dan damai.
Paling tidak ada dua peran penting masyarakat untuk ikut serta menanggulangi terorisme. Pertama, kewaspadaan lingkungan. Selama ini terjadinya kasus-kasus terorisme diawali ketidakpekaan masyarakat mengendus para pelaku teror yang ada di lingkungannya. Masyarakat terbiasa berperilaku permissive, sehingga para jihadis begitu enaknya tinggal di daerah mereka, tanpa pernah dicurigai.
Kongkritnya, masyarakat diharapkan sering menilik apa-apa yang terjadi di setiap rumah yang ada di lingkungannya. Bahkan kecurigaan itu sangat diperlukan. Tetapi kecurigaan tersebut harus dibarengai dengan observasi atau verifikasi secara langsung tentang benar tidaknya dugaan tersebut. Oleh karenanya dibutuhkan keutuhan masyarakat di wilayah terkecil, minimal Rukun Tetangga (RT).
Dan kedua, perlawanan ideologi sangat perlu dilakukan sejak dini. Penguatan Pancasila sebagai ideologi negara atau substansi tiap agama yang mengajak kedamaian, seharusnya diajarkan oleh semua elemen masyarakat. Tidak terkecuali orang tua kepada anaknya.
Salah satu misal dilakukan oleh Arifin Badri pemilik ArifinBadri.com. Dalam sebuah artikelnya (05/01/2016), ia menceritakan bahwa di tahun 2002 pernah disodori edaran dan ajakan dari Aman Abdurrahman untuk mengkafirkan Indonesia. Menurutnya banyak hal dalam edaran tersebut isinya terlalu ekstrim dan menyimpang dari kebenaran. Terutama tentang mudahnya memurtadkan atau mengkafirkan Muslim yang lain.
Karenanya, iapun menulis surat yang tujuannya menjelaskan dan memberitahu poin-poin kesalahan dalam edaran tersebut. Salah satu isi suratnya ia kutip dari pendapat Syeikh Sholeh al-Fauzan dalam buku yang berjudul “al-Muntaqa min Fatawa Syeikh Sholeh al-Fauzan” yang substansinya menyebutkan bahwa mengkafirkan atau memurtadkan seseorang itu dilarang. kecuali bagi seorang hakim yang benar-benar paham ilmu agama.
Kiranya dengan bersikap menolak lupa pada sosok Aman Abdurrahman, dengan sendirinya kita akan selalu ingat pada esensi toleransi dan perdamaian yang harus disemai di negeri ini. Bukankah seperti itu?