Senin, Oktober 14, 2024

Menjegal Cakada Korup

Muwaffiq Jufri
Muwaffiq Jufri
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo Madura; Kader Penggerak NU Kabupaten Bangkalan

Riak Pilkada di beberapa kabupaten/kota sudah semakin lancang bersuara, menghiasi portal berita, mulai dari surat kabar hingga layar kaca. Momentum Pilkada memang ajang menitipkan asa, tentang harapan dianugerahkannya penguasa yang memprioritaskan profesionalisme kerja demi terbenahinya nasib para jelata.

Pada ajang ini, semua kontestan berebut panggung untuk mengumumkan segala keunggulannya, sikap kedermawanannya, dan segala unsur kelebihan agar mampu mendapat tempat di hati para pemilihnya. Bahkan, dalam banyak kesempatan para kontestan itu sengaja memoles diri dengan lipstik-lipstik kesalehan sosial dan kezuhudan ritus agama.

Pilkada bukanlah ajang pertunjukan para kaum agama, bukan pula pagelaran intelektual para cendekia, apalagi lakon para saudagar kaya raya. Sebab sejatinya Pilkada adalah proses menuju optimalnya tatanan sosial kenegaraan yang demokratis berbasis kehendak seluruh lapisan masyatakat.

Pilkada adalah suksesi kepemimpinan yang melibatkan semua lapisan masyarakat untuk ikut serta menentukan pemimpinnya dengan berpegang teguh pada prinsip kedaulatan rakyat, yakni suatu konsep kedaulatan yang memposisikan rakyat sebagai satu-satunya pemegang tertinggi dari sistem  kekuasaan negara.

Pengoperasian secara optimal atas konsep kedaulatan ini dirasa akan mampu menciptakan sehatnya penyelenggaraan negara, sebab para pemimpinnya dipilih murni didasarkan pada kehendak mayoritas warga. Ikhtiar warga untuk memaksimalkan realisasi konsep kedaulatan rakyat akan berbuah pada terciptanya kepemimpinan ideal yang berorientasi pada kepentingan rakyat, bukan pada kepentingan golongan, keluarga, apalagi kepentingan pribadi dan keluarga.

Pemimpin yang berorientasi pada kepentingan rakyat biasanya akan konsisten menghindar dari segala rayuan dan tipu daya korupsi. Setiap pemimpin pasti tidak akan pernah sepakat dengan korupsi, tetapi tidak semua pemimpin mampu menolak rayuan manis korupsi. Di sini diperlukan sosok pemimpin yang berintegritas tinggi berbalut karakter iman.

Perjalanan panjang pelaksanaan Pilkada telah membuktikan bahwa masih banyak pemimpin-pemimpin di daerah yang mudah terperangkap dalam godaan korupsi, ini pertanda bahwa korupsi masih tetap menggelora menawarkan janji-janji kegelimangan, kesejahteraan, dan kekayaan yang dapat dicapai secara instan.

Silau pancaran korupsi telah banyak menjebak para pemimpin di daerah untuk tidak lagi mementingkan nasib dan masa depan warganya, sebab yang disasar hanyalah nafsu kekuasaan yang memimpikan kegelimangan harta benda. Program-program kesejahteraan hanya dikapling untuk sanak saudara dan beberapa kolega. Dan, pada akhirnya para jelata tetap istiqomah menjadi kelompok nestapa.

Tegaknya budaya korupsi telah sukses mengkandaskan mimpi-mimpi reformasi, tentang mimpi untuk membangun tatanan negeri yang terbebas dari nafsu keserakahan para pejabatnya. Mimpi untuk kembali mengibarkan panji-panji ‘Indonesia Raya’ dan meratakan kesejahteraan berbasis keadilan sosial yang mampu diakses oleh seluruh warga negara.

Penyelenggaraan Pilkada Serentak tahun 2020 adalah momentum emas dalam memilih pemimpin ideal agar pesta rakyat lima tahunan ini tidak lagi mewariskan pemimpin-pemimpin nakal yang hanya memikirkan kenyangnya perut sendiri, sementara busungnya perut warga sama-sekali tak membuat mereka berbela-sungkawa. Jangankan bergerak merealisasikan program kerja, untuk sekedar bersimpati saja sukar dilakukan oleh mereka yang dimabuk kuasa.

Ada beberapa faktor dan agenda penting untuk mewujudkan penyelenggaraan Pilkada serentak ini berlangsung sehat, antara lain: Pertama, para pimpinan dan elit partai politik (Parpol) hendaknya mengetatkan penyaringan kontestan yang diusung dalam perhelatan Pilkada. Bukan malah melonggarkan mekanisme penjaringan dengan merekom kontestan minus integritas.

Parpol adalah wadah politik warga negara, Pasal 40 ayat (1) UU No. 10 tahun 2016 tentang Pemilihan (UU Pilkada) menyebutkan bahwa Parpol menjadi pintu masuk para kontestan dalam perhelatan Pilkada. Peranan Parpol dalam perhelatan Pilkada sangatlah signifikan, sebab dari institusi ini muara kepemimpinan dimulai.

Baik tidaknya figur pemimpin yang dihasilkan oleh Pilkada bergantung selektif tidaknya Parpol mengusung kontestannya. Perhelatan Pilkada yang masih akan digelar di bulan September 2020 dirasa masih menyisakan cukup waktu bagi Parpol untuk mengusung figur-figur yang berkarakter mapan dan bekerja untuk  kesejahteraan rakyat.

Kalaupun telah terlanjur menjatuhkan rekomendasi pada kontestan yang minus integritas, masih ada upaya bagi para petinggi Parpol untuk sekedar mengkoreksi rekomendasi atau bahkan mencabutnya. Elit Parpol juga bisa menggembosi kontestan korup tersebut dengan jalan melemahkan mesin partai dalam proses pemenangan.

Kedua, Profesionalitas penyelenggara Pilkada, UU Pilkada mengamanatkan pelaksanaan Pilkada diselenggarakan oleh KPUD, Bawaslu, dan DKPP. Kepada tiga lembaga negara itulah kemurnian penyelenggaraan Pilkada disematkan. Karenanya tiga lembaga ini dituntut untuk bekerja professional dalam proses penetapan, pengawasan, dan penindakan pelanggaran etik penyelenggaraan Pilkada.

Problem regulasi dalam tahapan ini ialah ketiadaan ketentuan tentang larangan narapidana korupsi untuk maju dalam kontestasi Pilkada. PKPU No. 18 tahun 2019 yang menjadi dasar teknis bagi penyelenggaraan Pilkada justru terkesan melempem pada koruptor. Tentu hal ini patut disayangkan mengingat di kesempatan sebelumnya para petinggi KPU terlihat agak garang pada koruptor.

Ketiga, peran serta masyarakat, peran masyarakat dalam menciptakan Pilkada sehat dan melahirkan pemimpin ideal sangatlah besar. Pilkada memberikan kesempatan kepada seluruh warga negara untuk memilih pemimpin yang sehat lahir bathin, bukan pemimpin lalim dan bermental korup.

Kesempatan emas ini sudah selayaknya dimanfaatkan dengan baik, bukan untuk siapa, tetapi untuk menyejahterakan kehidupannya sendiri. Masyarakat dituntut untuk tidak lagi berkompromi dengan para pemimpin yang memiliki rekam jejak korup dan figur pemimpin yang kekuasaannya hanya berorientasi pada nafsu birahi.

Masyarakat juga ditutntut aktif melaksanakan pengawasan dalam proses penyelenggaraan Pilkada, dan sebisa mungkin tidak membiarkan beredarnya politik uang dalam penyelenggaraannya. Sebab kegiatan ini telah nyata dilarang dalam sistem hukum kita, sebagaimana ketentuan Pasal 73 ayat (1) UU Pilkada.

Tegak tidaknya prinsip-prinsip Pilkada bergantung kekompakan seluruh elemen masyarakat dalam menjaga dan mengupayakan terselenggaranya Pilkada secara sehat, berintegritas, dan menghindari segala praktik-praktik curang. Sebab praktik curang hanya akan memupuskan asa warga negara untuk menikmati manisnya buah pembangunan.

Harapan kita adalah terselenggaranya Pilkada secara bersih, jujur, dan berintegritas, sehingga pemimpin yang dihasilkan dapat berjuang total dalam ikhtiar meningkatkan derajat kesejahteraan warganya. Hanya kekompakan seluruh lapisan masyarakat yang mampu menjegal laju para “Cakada” korup. Ketidak-kompakan dalam usaha ini hanya membuat Pilkada sebatas ritus lima tahunan yang mempertontonkan kepongahan dan kedigdayaan para pemimpin korup. Selamat ber-Pilkada!

Muwaffiq Jufri
Muwaffiq Jufri
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo Madura; Kader Penggerak NU Kabupaten Bangkalan
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.