Jumat, Oktober 4, 2024

Menjarah Mahkota Kemuliaan MK

Dea Tri Afrida
Dea Tri Afrida
Mahasiswa Program Studi Sarjana Fakultas Hukum Universitas Andalas

Revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang disahkan pada 1 September lalu menjadi hadiah sekaligus menjadi dilema bagi kesembilan hakim konstitusi di usianya yang ketujuh belas tahun.

Betapa tidak, perpanjangan masa jabatan hakim konstitusi memang menguntungkan namun “kenegarawanan” kesembilan hakim konstitusi ini sedang dipertaruhkan. Intervensi politik terhadap  independensi peradilan akan menjarah mahkota kemuliaan MK sebagai The Guardian of Constitution.

Pengujian formil maupun materil terhadap UU yang baru disahkan ini sedang diupayakan berbagai pihak yang tergabung dalam Koalisi Save MK.  Revisi UU MK ini sudah bermasalah sejak awal.

Cacat Prosedural

Bukan pertama kalinya DPR dan pemerintah melakukan pembahasan suatu undang-undang dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Pembahasan revisi UU MK yang dibahas secepat kilat (tujuh hari) ini ternyata tidak masuk dalam daftar Prolegnas 2020-2024 dan tidak memenuhi syarat carry over sebagaimana diatur dalam Pasal 71 A UU No. 15 Tahun 2019.

Pembahasannya yang tergesa-gesa, tertutup, dan alpa dari partisipasi publik jelas bertentangan dengan asas keterbukaan dan partisipasi masyarakat sebagaimana diatur dalam Pasal 5 dan Pasal 96 UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Melanggar asas dan teori pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sudah menjadi kebiasaan DPR dan Pemerintah akhir-akhir ini, terbukti dengan lahirnya UU krusial sekaligus kontroversial seperti UU KPK, UU Keuangan Negara untuk Penanganan Covid-19, dan UU Minerba. Hal ini tentu tidak untuk dimaklumi namun harusnya menjadi bahan evaluasi bagi legislator.

Materi tidak substantif

Revisi UU MK ini hanya berfokus pada masalah masa jabatan ketua dan wakil ketua MK, masa jabatan hakim konstitusi tanpa periodisasi yang berlaku retroaktif, dan syarat usia minimal hakim konstitusi yang tidak ada relevansinya dengan penguatan lembaga MK. Dalam Pasal 87 huruf b revisi UU MK menyatakan bahwa hakim konstitusi dapat menjabat hingga 15 tahun, Pasal 4 Ayat (3) mengatur masa jabatan  ketua dan wakil ketua MK hingga 5 tahun, dan Pasal 15 ayat (2) huruf d yang mengatur syarat usia minimum hakim MK yakni 55 tahun.

Masa jabatan hakim konstitusi ini merupakan masa jabatan terlama yang berpotensi disalahgunakan jika tidak dibarengi dengan sistem pengawasan yang baik “Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely.” Bisa kita lihat dengan periodisasi masa jabatan hakim pun ketua MK Akil Mochtar dan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar menyalahgunakan kewenangannya karena tidak ada sistem pengawasan yang baik, keduanya terjerat kasus korupsi dan ditangkap KPK.

Terkait syarat usia minimum hakim MK, di dalam naskah akademik UU MK ini tidak akan kita temui dasar kuat peningkatan usia minimum dari 47 tahun menjadi 55 tahun. Jika ketua baleg menghubungkan masalah usia dengan kebijaksanaan dan kenegarawanan seseorang, maka hal ini terbantahkan dengan fakta empirik soal kiprah hakim konstitusi yang justru menjabat di usia kurang dari 55 tahun.

Jimly Asshiddiqie menjabat di usia 47 tahun dengan prestasi sebagai peletak dasar berdirinya MK, Mahfud MD menjabat di usia 51 tahun menduduki posisi 10 besar MK terbaik dunia, dan Hamdan Zoelva menjabat di usia 48 tahun mampu memulihkan nama MK pasca kasus Akil Mochtar.

Seharusnya, revisi UU MK memuat hal-hal yang lebih substantif demi penguatan lembaga MK, seperti detail sistem rekrutmen hakim yang lebih transparan, sistem pengawasan hakim konstitusi, melengkapi hukum acara MK,  pengujian undang-undang satu atap, serta perluasan kewenangan untuk constitutional complaint dan constitutional question guna lebih memberikan perlindungan maksimal terhadap hak konstitusional warga negara.

Potensi Konflik Kepentingan

Intervensi politik terhadap kekuasaan kehakiman ini  akan menjebak hakim pada pusaran konflik kepentingan. Masyarakat khawatir jika revisi UU MK ini hanya upaya domestifikasi DPR dan Pemerintah terhadap kesembilan hakim konstitusi ini untuk mempengaruhi objektivitasnya dalam menangani proses judicial review. Wajar saja jika masyarakat berspekulasi demikian, sebab revisi UU yang memanjakan hakim konstitusi ini dilakukan di saat yang “tepat” yaitu saat berbagai UU krusial yang mengancam hak konstitusional warga negara   sedang diujikan.

Pengujian formil maupun materil terhadap revisi UU MK sedang diupayakan oleh beberapa pihak, hal ini menjadi dilema tersendiri bagi MK sebab mereka harus menguji pasal yang berkaitan langsung dengan kepentingan pribadinya.

Sedangkan hukum acara MK mengenal asas Nemo judex idoneus in propria causa yang melarang hakim konstitusi menjadi hakim bagi perkaranya sendiri guna menjamin independensi dan imparsialitas hakim sebagai pemberi keadilan. Namun di lain sisi, dikenal juga asas ius curia novit dimana hakim dilarang untuk menolak mengadili suatu perkara.

Hakim konstitusi serba salah, bak makan buah simalakama. Di satu sisi ia tidak dapat menolak pengujian formil maupun materil revisi UU MK di sisi lain objektifitasnya dalam proses pengujian formil revisi UU MK tentu diragukan masyarakat.

Bagaimanapun juga, mau tidak mau, MK sebagai The Guardian of Constitution diharapkan sanggup memberikan putusan yang berperspektif konstitusionalisme demi kepentingan publik juga demi menjaga marwah kelembagaan MK. Jangan sampai Mahkota Kemuliaan MK dijarah oleh konflik kepentingan yang kemudian bermuara pada keruntuhan MK sebagai Benteng Lembaga Kekuasaan Yudikatif di Indonesia.

Dea Tri Afrida
Dea Tri Afrida
Mahasiswa Program Studi Sarjana Fakultas Hukum Universitas Andalas
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.