Momentum reformasi pada 1998 yang diiringi dengan serangkaian aturan terkait desentralisasi, sedikit banyak telah memberikan gairah baru bagi kehidupan demokrasi di Indonesia.
UU Otonomi yang disahkan pada masa Habibie telah menjamin adanya rekognisi[1] hukum atas ekspresi budaya lokal, keistimewaan budaya daerah, dan penghargaan terhadap kekhasan sejarah[2] atas beberapa wilayah di Indonesia. Melalui otonomi daerah, pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus daerahnya masing-masing dalam berbagai hal.
Peluang ini “dimaknai” beragam oleh pejabat di daerah, termasuk menerapkan syariat Islam dalam peraturan daerah di wilayah mereka, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.[3]
Sangat terlihat, bahwa pasca reformasi 1998 seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah, wacana penerapan hukum Islam secara eksplisit kembali muncul dalam kancah regional maupun nasional. Hal ini berbeda dengan masa sebelum reformasi, hampir tidak terdengar isu penerapan Islam di wilayah regional, kecuali dalam urusan yang sangat terbatas.[4]
Aceh adalah wilayah yang paling awal menuntut pemberlakuan syariat Islam pasca Orde Baru. Pada 13 Januari 1999, Angkatan Intelektual Darussalam mengeluarkan pernyataan politik yang mengimbau dilaksanakannya referendum di Aceh untuk menyelesaikan konflik yang telah dan masih melanda wilayah itu sejarah era sebelumnya.
Tuntutan semacam ini, kemungkinan tidak lepas dari keberhasilan referendum rakyat Timor Timur yang menjadikan wilayah mereka sebagai negara merdeka, lepas dari NKRI. Pemerintah pusat lalu merespon tuntutan itu dengan mengundangkan UU No. 44/1999 tentang penyelenggaraan keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.[5]
Berdasar pada UU No. 44/1999 inilah, serangkaian peraturan daerah — seperti Perda No. 3/2005 tentang Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), Perda No. 5/2000 tentang pelaksanaan syariat Islam, Perda No. 6/2000 tentang penyelenggaraan pendidikan, Perda No. 7/2000 tentang penyelenggaraan kehidupan adat – dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Aceh.
Namun ternyata, gejolak di Aceh terkait tuntutan referendum belum juga sirna, sehingga memaksa pemerintah mengeluarkan UU No. 18/2001 tentang Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), yang mengatur lebih jauh otonomi khusus bagi NAD, seperti mahkamah syariat, qanun, lambang daerah, zakat, kepolisian dengan ciri khas Aceh, kepemimpinan adat, dan lainnya. UU NAD inilah, yang melatarbelakangi kesibukan eksekutif dan legislatif Aceh dalam merancang sejumlah Qanun untuk mengimplementasikan syariat Islam secara kaffah di wilayah Aceh.[6]
Di masa awal desentralisasi diberlakukan, sepanjang tahun 2002 hingga akhir 2003, legislatif Aceh telah menetapkan sejumlah Qanun yang kemudian diundangkan dalam tahun-tahun tersebut. Di antaranya adalah Qanun No. 10/2002 tentang Peradilan Syariat Islam[7], Qanun No. 11/2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam[8], Qanun No. 12/2003 tentang Larangan Minuman Khamr dan Sejenisnya[9], Qanun No.13/2003 tentang Maisir (Perjudian)[10], dan Qanun No. 14/2003 tentang Khalwat (Mesum)[11].
Keinginan dan ambisi atas formalisasi syariat Islam telah dibuktikan dengan beragam Qanun yang dikeluarkan oleh lembaga legislatif di Aceh. Pendefinisian syariat Islam yang sangat luas, yaitu tuntunan bagi umat dalam segala aspek kehidupan telah menjadi justifikasi utama dari ambisi tersebut. Namun demikian, masalah apakah berbagai ketentuan yang dibuat itu mampu diterapkan atau selaras dengan kehendak dan kondisi aktual masyarakat, tampaknya belum dipikirkan secara matang.[12]
Selain itu, pelaksanaan beberapa Qanun di Aceh juga seringkali bermasalah dan mendapat kritik, terutama dari aktivis dan lembaga pegiat HAM. Salah satunya adalah Qanun tentang Khalwat[13]yang dianggap mengandung unsur diskriminasi dan berpotensi mengkriminalisasi perempuan,[14] dan pelaksanaan hukum Jinayah (pidana) yang ditengarai melanggar Hak Asasi Manusia.[15]
Sebagaimana efek domino dari tuntutan referendum maupun etnonasionalisme pasca Orde Baru, Perda berbasis syariah juga mulai bermunculan dan “dijual” di mana-mana. Mulai dari tingkat provinsi, seperti Riau, Gorontalo, Sulawesi Selatan, Sumatera Barat, Banten, maupun kabupaten/kota, semisal Cianjur, Tasikmalaya, Kebumen, Indramayu, Pamekasan, Tangerang, dan lainnya, semua seakan berlomba-lomba untuk menerbitkan Perda syariah yang sumbernya berasal dari Al-Quran dan Sunnah.[16]
Hal ini di satu sisi, menunjukkan bahwa imbas dari pengakuan syariat Islam di Aceh telah menimbulkan semangat keagamaan baru dari sebagain umat untuk memperjuangkan syariat Islam di wilayahnya sebagai bentuk ekspresi budaya. Bagi kalangan pendukung syariah, faktor umat Islam yang menjadi mayoritas juga dapat dijadikan dasar bahwa daerah yang bersangkutan layak untuk menerapkan Perda syariah. Namun di sisi lain, penerapan Perda syariah disinyalir membahayakan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia yang sangat pluralistik.
Selain itu, hadirnya Perda berbasis syariat sering dipermasalahkan karena dianggap tidak mewakili keseluruhan aspirasi rakyat di daerah alias minim legitimasi sosial[17], beberapa Perda terindikasi kuat dibuat karena alasan politik praktis[18], dan acapkali disebut bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan yang lebih tinggi ataupun lembaga peradilan di tingkat nasional[19].
Terkhusus Aceh, beberapa komentator menganggap pelaksanaan syariat di Aceh sebagai upaya yang seringkali ditujukan untuk mengalihkan perhatian masyarakat terhadap persoalan pokok yang mereka hadapi, yaitu kemiskinan dan rendahnya kualitas pelayanan publik di wilayah tersebut.[20] Kesimpulan yang dapat dilihat dari uraian di atas adalah proses desentralisasi yang diwujudkan dengan UU Otonomi Daerah memang memberikan kekuasaan lebih bagi daerah untuk mengatur dirinya sendiri, termasuk menerbitkan hukum yang dianggap sesuai dengan kondisi budaya mayoritas warganya.
Namun di sisi lain, pemberlakuan aturan yang didasarkan atas asas yang cenderung primordial, dalam hal ini syariah, kadang bertentangan dan bertabrakan dengan kebijakan/aturan di pusat maupun prinsip HAM universal yang diakui dunia.
Hal ini menjadi tantangan bagi pemerintah Indonesia, apakah prinsip relativisme budaya masih akan terus dipertahankan dalam proses pembentukan hukum di tingkat nasional maupun daerah, atau mengadopsi sekaligus membentuk suatu tatanan hukum baku yang bersifat universal dan wajib diikuti oleh seluruh daerah otonomi, termasuk wilayah-wilayah khusus.
Jika opsi kedua yang dipilih, maka status penghargaan terhadap sejarah dan keunikan lokal di beberapa daerah menjadi layak untuk dihapuskan, sehingga seluruh daerah menjadi setara dan seimbang.
____________________
[1] Hal atau keadaan yang diakui; pengakuan.
[2] Beberapa wilayah di Indonesia mendapatkan predikat otonomi khusus atau istimewa, di antaranya DKI Jakarta, Aceh, Yogyakarta, dan Papua.
[3] Ihsan Ali Fauzi dan Saiful Mujani. 2009. Gerakan Kebebasan Sipil, Studi dan Advokasi Kritis terhadap Perda Syariah. Jakarta: Nalar. Hlm. 1.
[4] Lihat pembahasannya, Ratno Lukito. 2008. Hukum Saklar dan Hukum Sekular: Studi tentang Konflik dan Resolusi dalam Sistem Hukum Indonesia. Jakarta: Alvabet.
[5] Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean. 2004. Politik Syariat Islam: Dari Indonesia hingga Nigeria. Jakarta: Pustaka Alvabet. Hlm. 25.
[6] Ibid,. hlm.26.
[7] Kandungan Qanun selengkapnya, lihat Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10/2002 tentang Peradilan Syariat Islam.
[8] Kandungan Qanun selengkapnya, lihat Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11/2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam.
[9] Kandungan Qanun selengkapnya, lihat Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 12/2003 tentang Larangan Minuman Khamr dan Sejenisnya.
[10] Kandungan Qanun selengkapnya, lihat Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 13/2003 tentang Maisir (Perjudian).
[11] Kandungan Qanun selengkapnya, lihat Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 14/2003 tentang Khalwat (Mesum).
[12] Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean. 2004.Politik Syariat Islam: Dari Indonesia hingga Nigeria. Jakarta: Pustaka Alvabet. Hlm. 27.
[13] Khalwat adalah perbuatan berada pada tempat tertutup atau tersembunyi antara dua orang yang berlainan jenis kelamin yang bukan mahram dan tanpa ikatan perkawinan dengan kerelaan kedua belah pihak. Khalwat adalah salah satu istilah dalam Qanun Hukum Jinayah di Aceh. Lihat selengkapnya dihttp://m.hukumonline.com/berita/baca/lt54df17d68f824/sebelas-istilah-qanun-jinayah-yang-layak-anda-tahu
[14] Tatik Krisnawati, dan Andi Yentriyani (ed.). 2010. Atas Nama Otonomi Daerah: Pelembagaan Diskriminasi dalam Tatanan Negara Bangsa Indonesia. Jakarta: Komnas Perempuan Indonesia. Hlm. 46
[15] Hukuman cambuk maupun rajam dianggap perlu untuk ditinjau ulang. Lihat CNN, Dianggap merugikan, Perda Syariat Islam di Aceh diusulkan ditinjau. Diakses melaluihttp://www.bbc.com/indonesia/indonesia-41714022
[16] Tentang peristiwa beserta kronologi dan aktor di tiap daerah selengkapnya, lihat Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean. 2004. Hlm. 82-97.
[17] Nawala The Wahid Institute. No.1/Th.1/November 2005-Februari 2006. Perda Syariah Islam (SI): Aspirasi atau Komiditi.Dapat diakses melaluihttp://www.wahidinstitute.org/files/_docs/206-03-07-NewsLette_.pdf
[18] Perda berbasis syariah juga tidak lepas dari kepentingan politis, terutama halnya dalam pemilihan Kepala Daerah. Kepala Daerah menerbitkan perda syariah demi mendapat dukungan suara dari golongan Islam di wilayah mereka yang punya basis massa cukup kuat dan besar. Hal ini tidak terlepas dari tekanan yang diberikan oleh ormas-ormas Islam tertentu yang pro penegakan syariah atas “jasa pemenangan” yang telah mereka berikan kepada Si Calon.
[19] Lihat pembahasannya, J.M. Otto. “Sharia and National Law in Indonesia” dalam Jan Michiel Otto (ed.). 2010. Sharia Incorporated: A Comparative Overview of The Legal System of Twelve Muslim Countries in Past and Present. Leiden: Leiden University Press. Bab 10. Khusus pembahasan desentralisasi ada pada halaman 461-462.
[20] Selengkapnya lihat, Greg Fealy and Virginia Hooker (eds.). 2006. Voices of Islam in Southeast Asia. Singapura: ISEAS. Hlm. 191.