Salah satu bisnis yang tidak begitu signifikan terdampak oleh pandemi adalah bisnis skincare. Dikutip dari laman Kompas, selama pandemi bisnis skincare di Indonesia mengalami penurunan sebanyak 2%, namun diperkirakan akan terus bertumbuh pesat hingga tahun 2030. Fenomena trend skincare yang tengah digandrungi oleh masyarakat, terutama oleh kaum wanita ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, namun salah satu faktor yang paling signifikan adalah sosial media dan trend budaya korea, seperti K-drama, K-pop, bahkan merambah ke segi kuliner (K-food) dan kecantikan (K-beauty). Dikutip dari laman Kompas, pada 2020 Indonesia menjadi negara ke-2 terbesar untuk penggiat produk-roduk K-beauty.
Sosial media memberikan ruang persebaran arus informasi yang mudah, cepat, dan luas, sehingga kesadaran masyarakat akan pentingnya penggunaan skincare semakin tinggi. Sosial media seperti Tiktok, Instagram, maupun YouTube yang mendukung format video pendek dengan pesan yang ‘to the point’ menjadi media marketing yang ampuh, sehingga semakin sering pengguna mengonsumsi informasi mengenai skincare, maka kecenderungan pengguna untuk membeli skincare secara impulsif juga semakin meningkat.
Hal itu didukung dengan adanya influencer-influencer di sosial media yang mampu memberikan ulasan produk skincare dan menjadi ‘referensi’ terkait efektivitas skincare yang bekerja optimal untuk menghasilkan kulit yang glowing. Tidak heran mengapa market produk skincare ini semakin menggiurkan karena potensi pasarnya yang semakin berkembang dan demand yang sustainable, sehingga memunculkan semakin banyak pemain baru dalam bisnis skincare.
Target market yang dituju oleh produk skincare didominasi oleh kaum wanita karena secara psikologis wanita lebih peduli terhadap penampilan, bahkan body image atau penampilan merupakan penyebab ketidakpercayaan diri paling tinggi pada wanita (Psychology Today).
Oleh karena itu, faktor ini menjadi celah yang dimanfaatkan oleh bisnis skincare untuk memasarkan produknya dengan meyakinkan bahwa produk mereka dapat mengatasi masalah-masalah seperti kulit kusam, jerawat, dan sebagainya yang biasanya menjadi kekhawatiran utama terhadap masalah penampilan. Hal ini ketika dianalisis lebih jauh juga berhubungan dengan standar kecantikan yang menjadi persepsi umum dalam masyarakat.
Standar kecantikan pada dasarnya tidak relevan karena penampilan yang cantik adalah hal yang relatif dan tidak bisa dipatok dalam standar pasti yang terukur seperti ilmu matematika. Kecantikan seseorang dipengaruhi oleh genetik, lingkungan, makanan, dan berbagai macam faktor lainnya.
Namun, dalam masyarakat terdapat citra tidak tertulis yang melekat mengenai karakteristik seseorang yang dapat dikategorikan dalam kelompok cantik, yang mana hal ini berbeda-beda di setiap daerah. Contohnya di Indonesia sendiri seseorang yang berkulit kuning langsat dan bebas jerawat, memiliki hidung mancung, berambut panjang, dan berbadan ramping adalah orang yang cantik. Sementara di Korea, sesorang yang cantik adalah yang memiliki mata besar, memiliki double-eye lid, berkulit putih, dan berbadan ramping.
Keberadaan standar kecantikan tersebut justru dimanfaatkan oleh pelaku bisnis skincare untuk menciptakan produk yang menunjang standar kecantikan tersebut, contohnya produk krim pemutih wajah dan badan. Hal ini tentu saja merupakan fenomena yang miris karena menjadikan aspek-aspek yang membuat seseorang tidak percaya diri untuk mengubah dirinya menjadi orang lain, sehingga dapat memenuhi standar cantik masyarakat yang tidak berdasar. Hal yang lebih mengerikan adalah klaim yang dijanjikan oleh beberapa produk skincare yang mampu memberikan hasil instan sebagai nilai plus dengan harga yang lebih terjangkau yang terbukti berhasil menarik daya beli para konsumen.
Hal tersebut menjadi mengerikan karena produk-produk dengan tagline instan biasanya mengandung zat-zat berbahaya atau klaim bohong, seperti dalam Kompas dikutip dari Laporan Tahunan 2020, Direktorat Pengwasan Kosmetik BPOM RI bahwa sebanyak 76% produk terbukti mengandung bahan-bahan berbahaya yang mana hal ini meningkat dari tahun 2019 sebesar 3 kali lipatnya.
Selain mengandung bahan-bahan berbahaya, data menunjukkan pada 2020 produk yang belum memiliki izin edar berada pada angka 71%. Tentu saja hal ini menjadi sebuah ironi yang mengerikan, niat pengguna skincare ingin merawat tubuh dan wajah untuk menjadi lebih glowing, yang ada malah berakhir membawa penyakit yang tentunya akan memakan biaya yang lebih besar.
Kemudian, apa yang perlu dilakukan untuk menyikapi fenomena yang terjadi pada dunia skincare di Indonesia ini? Apa tidak perlu memakai produk skincare saja?
Pada dasarnya, penggunaan skincare bukan hal yang salah, tujuan dari produk-produk skincare tentunya baik untuk merawat kulit menjadi lebih sehat, sehingga dapat meningkatkan tingkat kepercayaan diri penggunanya. Namun, yang perlu diperhatikan adalah perlunya menjadi pengguna yang bijak, yang bisa menimbang-nimbang mana produk yang sesuai untuk kebutuhan dan karakter jenis kuit.
Untuk itu, edukasi dan literasi pada dunia skincare inilah yang perlu diperluas dan dipertajam lagi oleh pengguna skincare. Jangan malas untuk mencari informasi dan belajar sebelum memutuskan untuk membeli dan memakai sebuah produk, karena hal ini juga merupakan suatu investasi yang baik untuk menghindari kejadian-kejadian yang buruk di kemudian hari.
Sebagai pengguna yang bijak, perlu untuk melakukan double-check kembali terkait kandungan zat-zat yang digunakan dalam produk skincare. Perlu diketahui apa saja kandungan yang termasuk dalam bahan-bahan berbahaya, jangan asal mempercayai klaim yang dijanjikan oleh iklan produk skincare. Dalam hal ini, pengguna skincare juga bisa memperoleh informasi tambahan terkait kandungan zat-zat yang baik dan berbahaya pada skincare melalui video yang diunggah influencer pemerhati skincare.
Meskipun sejatinya, tidak semua influencer tentu 100% benar karena latar belakang mereka yang mayoritas bukan merupakan ahli di bidang kesehatan kulit. Oleh karena itu, perlunya menjadi konsumen yang bijaksana, mengerti kebutuhan kulit masing-masing, mengenali karakteristik jenis kulit, dan akhirnya dapat memilih produk yang benar-benar cocok untuk kebutuhan kulit masing-masing.
Tips tambahan ketika mencoba produk skincare baru, dapat melakukan tes reaksi skincare di bagian kulit seperti pergelangan tangan atau di balik telinga. Hal ini dapat membantu untuk menilai apakah skincare yang akan dicoba memiliki reaksi yang kurang cocok untuk kulit. Terakhir, apabila terjadi iritasi atau muncul tanda-tanda iritasi kulit alangkah baiknya untuk menghentikan pemakaian produk dan melakukan konsultasi kepada ahlinya (dokter kulit).
Referensi:
Body Image in America: Survey Results | Psychology Today
Mewaspadai Menjamurnya Bisnis Kecantikan – Kompas.id