Jumat, Agustus 8, 2025

Menjahit Ulang Makna: Dari Jeans Bekas ke Kesadaran Baru

Ni Putu Siswandari
Ni Putu Siswandari
Menulis untuk mengurai pikiran yang tidak sempat diucapkan. Menyukai fotografi, sunyi, dan hal-hal kecil yang sering luput dilihat.
- Advertisement -

Jeans selalu menjadi pilihan utama saya untuk beraktivitas di luar rumah. Bahannya kokoh, fleksibel, dan terasa menyatu dengan tubuh. Namun, seiring waktu, beberapa celana jeans saya mulai rusak: ada yang sobek di lutut, ada yang bagian bawahnya mulai aus. Alih-alih membuangnya, saya justru bertanya, “Apa bisa jeans-jeans ini diberi fungsi baru?”

Saya pun mencoba mengubahnya menjadi tote bag. Saya bukan penjahit, tidak punya mesin jahit, dan belum pernah membuat tas sebelumnya. Tapi saya percaya bahwa eksperimen kecil bisa menjadi awal dari sesuatu yang berarti. Dengan bermodal referensi dari internet dan sedikit intuisi, saya mulai membuat pola, memotong kain, dan menjahit secara manual. Tanpa jarum khusus untuk denim, beberapa kali jarum saya patah dan benang tampak tidak beraturan. Meski begitu, proses ini terasa menyenangkan. Ada semacam kepuasan saat akhirnya tote bag itu jadi dan siap digunakan.

Gambar 1. Lining tas dari kain kulot bekas

(sumber: dokumentasi pribadi)

Pilihan untuk mengubah jeans lama menjadi tas bukan sekadar karena hobi membuat kerajinan tangan, tapi juga berangkat dari keprihatinan terhadap sampah fashion yang semakin sulit diabaikan. Menurut Earth.org, sekitar 100 miliar pakaian diproduksi setiap tahun, dan 92 juta ton di antaranya berakhir di tempat pembuangan sampah. Itu setara dengan satu truk pakaian dibuang setiap detik.

Tapi masalahnya tidak berhenti di sana. Industri fashion, menurut UNFCCC, bertanggung jawab atas sekitar 10% emisi gas rumah kaca global—lebih besar dari gabungan emisi pesawat dan kapal laut. Produksi pakaian yang kita kenakan setiap hari ternyata melalui rantai pasok panjang dan proses yang menyerap energi dalam jumlah besar.

Yang membuat saya semakin resah, menurut laporan BBC Future, sekitar 85% pakaian berakhir di tempat pembuangan akhir. Ironisnya, di saat yang sama, konsumsi pakaian justru meningkat drastis—rata-rata konsumen membeli 60% lebih banyak pakaian dibanding 15 tahun yang lalu. Saat ini, dunia membeli sekitar 56 juta ton pakaian setiap tahun, dan jika tren ini berlanjut, jumlahnya diperkirakan akan mencapai 93 juta ton pada tahun 20230, bahkan 160 juta ton pada tahun 2050.

Angka-angka itu membuat saya merasa perlu mengambil peran, sekecil apa pun. Upcycle jeans menjadi tote bag adalah salah satu cara saya mengurangi sampah tekstil pribadi. Tote bag itu kini saya pakai untuk berbelanja, membawa buku, atau sekadar jalan-jalan.

Selain itu, saya juga memperbaiki tas ransel kesayangan yang saya beli di tahun 2019. Tas itu handmade, bukan produksi massal. Sayangnya, bagian atasnya mulai berlubang dan handle-nya hampir putus. Tapi saya belum rela membuangnya. Saya ambil kulit sintetis warna soft pink, potong berbentuk hati, dan jahit di bagian yang robek. Handle-nya pun saya lapisi dengan bahan yang sama. Hasilnya memang tidak seperti baru, tapi justru lebih personal. Ada kesan kontras yang manis, dan lebih dari itu, ada cerita yang saya tambahkan sendiri di sana.

- Advertisement -

Gambar 2. Tas ransel yang telah diperbaiki.

(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Bagi saya, memperbaiki barang yang rusak bukan semata tindakan praktis atau hemat. Ini tentang menghargai apa yang saya miliki dan tidak terburu-buru mengganti hanya karena sesuatu tampak usang. Saya sadar, kita hidup di tengah budaya konsumsi cepat—selalu ingin yang baru, selalu membuang yang lama. Tapi saya memilih untuk memperlambat sedikit. Memberi waktu untuk memperbaiki. Memberi ruang untuk mempertimbangkan kembali.

Saya bukan aktivis lingkungan, dan juga belum sepenuhnya menjalani gaya hidup bebas sampah. Tapi saya percaya bahwa setiap pilihan kecil punya bobot. Mungkin saya tidak bisa menghentikan laju produksi massal industri fashion, tapi saya bisa bertanggung jawab atas barang yang saya konsumsi.

Ada kalimat yang pernah saya baca dan terus teringat: “Barang yang paling ramah lingkungan adalah barang yang sudah kita miliki.” Dan menurut saya, itu benar adanya. Kadang yang kita butuhkan bukan barang baru, tapi perspektif baru dalam memperlakukan apa yang sudah ada.

Dulu, saya juga pernah merasa senang setiap kali membeli barang baru—mungkin karena sensasi ‘baru’ itu memberi ilusi kebahagiaan sesaat. Tapi sejak saya sering membaca isu tentang fast fashion, pola pikir saya mulai berubah. Saya mulai melihat bahwa barang yang rusak pun bisa diubah menjadi sesuatu yang baru dan bermanfaat.

Apalagi, di tempat saya tinggal, persoalan sampah menjadi isu yang nyata. Pernah suatu waktu pengangkutan sampah tertunda berhari-hari karena TPA overload di sekitar wilayah saya. Dari situ saya makin sadar bahwa mengelola sampah tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada sistem. Kita sebagai individu pun perlu berinisiatif—terutama untuk sampah yang kita hasilkan sendiri, seperti pakaian.

Saya merasa senang saat berhasil mengubah barang rusak menjadi sesuatu yang layak pakai kembali. Dan yang lebih penting, saya tidak malu memakainya. Bahkan, beberapa orang pernah bertanya, “Beli di mana tasnya?” Saat saya jawab, “Bikin sendiri, dari jeans bekas,” mereka tampak terkejut. Rasanya seperti memakai sesuatu yang tidak hanya unik, tapi juga punya makna personal.

Banyak orang jatuh cinta saat membeli barang baru, lalu cepat bosan dan membuangnya begitu saja. Saya ingin belajar mencintai apa yang saya punya—memperbaiki, memakainya lagi, dan memberi nilai tambah lewat cerita yang saya bangun bersama barang-barang itu. Karena di balik tiap benda, ada sumber daya yang dikorbankan, ada tenaga kerja yang terlibat, dan ada bumi yang ikut menanggung dampaknya.

Kalau dengan menjahit ulang satu tas dan mengubah satu celana jeans, saya bisa menunda satu barang masuk ke tempat sampah, saya rasa itu langkah yang cukup berarti. Mungkin kecil. Tapi bukan berarti tidak penting.

Referensi:

Igini, M. (2023). 10 Concerning Fast Fashion Waste Statistics. Earth.org. Diakes dari: https://earth.org/statistics-about-fast-fashion-waste/

UNFCC. (2018). UN Helps Fashion Industry Shift to Low-Carbon. Diakses dari: https://unfccc.int/news/un-helps-fashion-industry-shift-to-low-carbon

Beall, A. (2020). Why Clothes Are So Hard To Recycle. BBC Future. Diakses dari:

https://www.bbc.com/future/article/20200710-why-clothes-are-so-hard-to-recycle

Ni Putu Siswandari
Ni Putu Siswandari
Menulis untuk mengurai pikiran yang tidak sempat diucapkan. Menyukai fotografi, sunyi, dan hal-hal kecil yang sering luput dilihat.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.