Perasaan penulis seketika sedih manakala membaca berita di media tentang pembunuhan yang terjadi di Kabupaten Sampang hanya karena cekcok di media sosial lantaran perbedaan pilihan politik. Pembunuhan sadis ini sendiri melibatkan Idris sebagai pelaku dan Subaidi sebagai korban.
Tragedi pembunuhan tersebut ibarat puncak gunung es daripada polarisasi politik yang semakin hari semakin menguat menjelang gelaran pemilihan presiden di tahun 2019 nanti. Pada dasarnya, polarisasi politik merupakan sebuah keniscayaan dalam sistem demokrasi.
Perbedaan pandangan atas sebuah isu, kebijakan atau ideologi melahirkan keterbelahan masyarakat menjadi dua kutub yang berseberangan, baik di lingkar elite maupun di kelas rakyat biasa. Hanya saja polarisasi politik tersebut akan destrutktif apabila diikuti fanatisme terhadap pilihan politik.
Insiden pembunuhan di Sampang mestinya menjadi tamparan bagi kita agar tidak terlalu larut dalam polarisasi politik. Sayangnya, tiap hari, khususnya di sosial media, kita masih disuguhkan perdebatan-perdebatan yang melibatkan pendukung fanatik dari pasangan calon presiden (capres) nomor urut 01 versus pasangan capres nomor urut 02. Kedua pendukung tersebut saling sikut, bahkan saling mencemooh satu sama lain demi membela keyakinannya terhadap jagoan calon presiden pilihannya.
Sadar atau tidak, polarisasi politik ini berdampak pada retaknya kohesi sosial khususnya di masyarakat kalangan akar rumput. Bayangkan seseorang bisa saja kehilangan teman atau sahabatnya yang telah berkawan lama lantaran beda pilihan politk, seseorang bisa bermusuhan dengan beberapa anggota keluarganya akibat ‘perang urat syaraf’ dalam membela capres pilihannya di Whatsapp Group (WAG) keluarga.
Seseorang bahkan bisa dikucilkan dalam suatu ormas hanya karena memiliki pandangan politik yang berbeda dengan mayoritas anggota ormas tersebut. Dan jika tensi polarisasi politik ini terus meninggi bukan tidak mungkin tragedi tumpasnya nyawa manusia di Sampang berpotensi besar akan terulang kembali di daerah lain.
Lalu mengapa polarisasi politik ini bisa membuat seseorang mempunyai fanatisme yang berlebih terhadap pilihan politiknya? Polarisasi menurut Joshua Tucker (2018), seorang Professor Ilmu Politik dari New York University, secara organik membelah masyarakat menjadi dua kubu dan pada tingkat tertentu mengacaukan akal sehat kita, dan membangun logika oposisi biner yang serba hitam-putih.
Praktis, logika itulah yang membuat masyarakat, utamanya yang belum melek politik, mengalami fanatisme terhadap pilihan politiknya. Maka tak heran masyarakat yang fanatik bisa digiring dengan retorika semacam; partai Setan versus partai Allah, Cebong vs Kampret, Genderuwo vs Tampang Boyolali dll. Dalam suasana semacam itu, proses komunikasi publik bergerak dengan motivasi meraih keuntungan politik dan memukul lawan politik semata.
Orang yang fanatik cenderung menganggap orang yang sekubu adalah saudaranya, sedangkan orang yang berbeda pilihan politik, meskipun ia adalah orang terdekatnya, akan dianggap lawan. Padahal kita tahu dalam kontestasi politik elektoral tidak ada kawan dan lawan abadi, yang ada hanya kepentingan. Figur A boleh jadi berkontestasi dengan Figur B di Pilpres kali ini, tapi bukan tidak mungkin di Pilpres selanjutnya akan berkoalisi.
Elit-elit politik adalah aktor yang bertanggungjawab atas ini semua. Pernyataan-pernyataan elit-elit politik yang saling berkontestasi kerap mengundang keributan antar para pendukungnya. Tak ketinggalan alih-alih memberi ketentraman di ruang publik, retorika-retorika dari tokoh Agama pun tak jarang turut andil dalam memanaskan tensi politik yang ada. Di sisi lain media massa juga mempunyai peran yang signifikan dalam mereproduski berita-berita yang sifatnya semakin mengadu domba masyarakat yang mengalami polarisasi politik.
Sudah jelas bahwa polarisasi yang berujung pada fanatisme politik telah membuat ruang demokrasi dan kohesi sosial kita menjadi keruh. Harus ada upaya untuk meredam ini semua. Seluruh stakeholder yang terlibat mulai dari; politisi, tokoh agama, media, dan kita sendiri seyogyanya dapat berefleksi dengan kondisi polarisasi politik yang kian memanas.
Para politisi harus mulai membangun debat-debat yang lebih substantif dan menahan diri dalam melontarkan pernyataan-pernyataan yang dapat memecah belah bangsa. Tokoh Agama pun demikian, melalui dakwahnya harus senantiasa menentramkan keadaan dan mengajak bangsa ini tetap menjaga tali ukhuwah-nya. Begitu juga dengan tugas media massa menjadi jembatan yang benar dan bertanggung jawab dalam memberikan pendidikan politik bagi masyarakat, tujuannya agar supaya masyarakat memahami secara utuh kondisi politik yang ada.
Dan yang paling krusial tentunya peran kita sebagai masyarakat mesti lebih cerdas dan bijak dalam merespon polarisasi politik kali ini. Hari ini kedewasaan berdemokrasi kita sedang diuji. Jangan jadikan perbedaan pilihan politik menghancurkan persaudaraan kita sebagai bangsa Indonesia. Persaudaraan yang telah kita bangun melalui persatuan dan keharmonisan sosial adalah modal yang sangat berharga bagi bangsa Indonesia yang tidak boleh dikorbankan atas dasar apapun, termasuk perbedaan pilihan politik yang hanya berlangsung lima tahun sekali itu.