Pada 12 Agustus 2020 lalu ditandai sebagai peringatan hari gajah sedunia. Peringatan ini menjadi upaya menyebarkan kesadaran tentang pelestarian dan perlindungan satwa yang semakin berkurang populasinya di alam liar. Di hari peringatan itu pula saya menonton The Elephant Queen, film dokumenter yang menjadikan gajah sebagai subjek dan berlatar di Tsavo East National Park, Kenya, Afrika.
Film garapan Mark Deeble dan Victoria Stone ini mengisahkan pengalaman ibu pemimpin gajah serta kawanannya dalam membuat keputusan dan menentukan kelangsungan hidup ketika menghadapi kekeringan panjang. Karakter utama, Athena, adalah ibu kepala keluarga besarnya, berusia 50 tahun, yang memimpin saat mereka melakukan perjalanan melintasi sabana untuk mencari air.
Sebelum melakukan perjalanan, keluarga hewan bertaring raksasa itu tinggal di daerah yang di dalam film disebut sebagai “Kerajaan”. Kerajaan dihiasi dengan lubang air musiman (kubangan) yang juga merupakan rumah bagi klan besar sesama makhluk termasuk kodok, bunglon, kumbang kotoran, ikan lili, terrapin, ditambah induk dan anak angsa yang menggemaskan.
Sampai di situ saya menyadari, kalau satu kubangan yang tak seberapa luasnya itu menjadi salah satu tempat bernaung bagi sekelompok kawanan hewan. Mereka hidup berdampingan, berinteraksi satu sama lain pada ruang hidup yang sama. Hubungan mereka membentuk suatu bagian kecil sistem ekologi, yang akan terancam apabila kubangan itu menghilang diterjang kekeringan.
Tentu kekeringan bukan satu-satunya ancaman, populasi gajah dan satwa lainnya juga mendekati kepunahan karena perilaku perburuan liar, dan semakin menyempitnya habibat lantaran pembangunan yang intrusif. Seperti dinarasikan dalam film: “Hari ini, pojok kecil di benua Afrika ini masih menjadi milik mereka, mengingatkan kita keadaan sebelumnya, ketika seluruh Afrika milik mereka.”
Sementara di Indonesia, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Siti Nurbaya malah memberi izin pembangunan jalan tambang di Hutan Harapan, yang mencakup wilayah Jambi dan Sumatera Selatan (Laporan Investigasi Tempo, 1 Agustus 2020).
Pemberian izin itu sangat kontras dengan tugas dan fungsi KLHK yang mestinya menyelenggarakan konservasi, meningkatkan daya dukung sumber daya alam, keanekaragaman hayati, dan ekosistemnya.
Hutan Harapan merupakan area restorasi yang menjadi perlintasan satwa endemis Sumatera sekaligus rumah bagi 1.300 jenis flora dan 620 fauna. Dari jumlah itu, 106 jenis fauna tergolong hampir punah karena hutan mereka terdegradasi akibat konversi lahan menjadi perkebunan dan pertambangan. Contoh satwa dilindungi yang kerap dijumpai dalam kondisi mati di area konsesi adalah gajah dan harimau Sumatera.
Ahli Ekologi World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia, Sunarto mengatakan populasi harimau Sumatera saat ini hanya tersisa 600 ekor. Sementara status Gajah, Sekretaris Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI), Donny Gunaryadi, mengatakan sedikitnya ada 1.700 Gajah Sumatera yang tersisa dan hidup di hutan Sumatera.
Namun, data tersebut merupakan hasil perkiraan dari beberapa lembaga yang selama ini menjadi pemerhati gajah. Kata Donny, selama sepuluh tahun terakhir, ada sekitar 700 ekor gajah yang mati karena diburu.
Padahal, penurunan populasi salah satu jenis satwa akan berdampak negatif terhadap kelangsungan rantai makanan dan menghambat siklus energi dalam suatu ekosistem. Apabila satwa-satwa ini punah, maka regenerasi hutan tidak akan berjalan normal sehingga berpengaruh terhadap ekosistem hutan. Ekosistem yang terganggu akan berdampak pada kehidupan makhluk lainnya, khususnya satwa dan manusia.
Dampak dari kerusakan ekosistem karena alih fungsi lahan yang menjadi habitat itu juga memicu sejumlah penyakit infeksi menular. Sekitar 75 persen penyakit infeksi menular baru (emerging infectious disease/EIDs) bersumber dari penularan hewan ke manusia. Secara alamiah, virus dan patogen-patogen lain dapat dengan cepat bermutasi dan beradaptasi pada lingkungan baru sehingga selalu ditemukan jenis patogen yang baru.
Meskipun berkembang secara alami, munculnya penyakit infeksi menular zoonosis juga dipicu oleh aktivitas manusia. David Quammen penulis buku Spillover yang telah menyelidiki penularan virus dari hewan ke manusia selama lebih dari satu dekade mengatakan, relasi manusia dengan alam menjadi kunci munculnya penyakit zoonosis. Relasi manusia dengan alam cenderung konsumtif, intrusif, dan destruktif. (Kompas, 5 Agustus 2020)
Pandemi yang tengah manusia hadapi saat ini semestinya menjadi refleksi dalam memperlakukan alam. Paradigma kebijakan di tataran pemerintah harus banyak diubah agar melibatkan akademisi dan lembaga konservasi dalam pengambilan keputusan. Pemerintah harus mengesampingkan kepentingan ekonomi demi ruang hidup yang berkelanjutan. Toh, pada akhirnya pandemi menyambar sektor ekonomi yang membuat banyak negara diambang resesi.
Tapi pemerintah nampaknya tak menyadari bahwa yang paling terdampak pandemi ialah kelompok miskin. Yang dilakukan justru melontarkan pernyataan-pernyataan lucu dan absurd alih-alih bertindak cepat memulihkan keadaan.
Di tengah pandemi ini pula semakin kentara ketimpangan yang dirasakan masyarakat. Ada suara lantang menyuarakan keadilan, malah dipenjarakan. Kalau pemerintah termasuk percaya sains, kenapa tak mengindahkan ilmuwan?