Gotong-royong telah menjadi bagian nadi dan jantung bangsa Indonesia. Meskipun gotong-royong itu fluktuatif, satu saat ia menguat, pada saat lain pun dapat meredup. Sekarang, desa-kota tak ada bedanya, keduanya lebih suka dianggap miskin dengan harapan mendapatkan kucuran dana dari pemerintah di tengah pandemic Covid-19 ini.
Suka tidak suka, banyak desa yang kini justru menjadi pasar bagi berbagai bantuan berupa realokasi dana desa, peralatan (masker, handsanitizer, penyemprot desinfektan, dll), relawan.
Menurut Kemendes PDTT mencatat 40.098 desa tersebar di 33 provinsi yang telah terbentuk Tim Relawan Desa Lawan Covid–19. Jumlah ini sekitar 53% dari total desa di Indonesia, sedangkan jumlah relawan sebanyak 1.089.923 orang. Pasar tersebut bukan saja datang dari pemerintah, tapi juga dari swasta, LSM, dan pihak lain yang punya caring atas desa.
Saat desa menjadi pasar sedemikian, barangkali kita harus cukup waspada dan bijak, jangan sampai kita terprovokasi dan mesti hati-hati terhadap bermunculannya penumpang gelap, mungkin para makelar desa maupun makelar kasus berkeliaran. Mereka lalulalang di desa-desa sok menawarkan bantuan dana atau solusi untuk membedah kesulitan desa atas covid-19.
Di saat yang lain, mungkin kita juga harus cukup cermat terhadap munculnya penumpang gelap dalam berbagai program penanganan covid di desa dalam beragam kemasannya. Kita pun juga harus mampu mendeteksi pergerakan orang-orang yang suka menyebar hoaks, provokator maupun pencuri bahkan koruptor di tengah bencana.
Untuk mengadang itu semua, kata kuncinya hanya satu, yakni gotong royong. Kutub lainnya mengatakan bahwa gotong royong itu berfrasa Ndeso dan hanya dilakukan oleh mereka yang kurang pekerjaan dan pemborosan maupun inferioritas lainnya, sehingga dalam hemat saya perlu transformasi sosial kultur masyarakat, perubahan mindset dan konstruktif.
Meletakkan desa dalam desentralisasi dan demokrasi (Sutoro Eko, 2015), mengungkapkan bahwa pemerintah desa dan supra desa acap “menguangkan” gotong-royong dan swadaya ke dalam penerimaan desa (APBDes). Gotong royong makanan dan minuman diuangkan, gotong royong tenaga diuangkan, dll. Angka swadaya di Buku BPS pun nampaknya perlu penjelasan, agar publik bisa membaca dan memahaminya secara mudah.
Pada awalnya, gotongroyong merupakan sebentuk modal sosial, bukan modal finansial sebagaimana telah mentradisi rezim terdahulu hingga sekarang. Di sini, gotong royong lebih banyak secara original merepresentasi partisipasi dan solidaritas sosial masyarakat desa dalam mendukung program-program pembangunan yang sudah dirancang melalui musyawarah dusun atau desa.
Banyak bantuan pemerintah dengan dana yang kecil, kemudian dengan bantuan gotong royong masyarakat dapat menghasilkan pembangunan yang mencengangkan.Pada hampir semua program penanganan covid-19, kontribusi gotongroyong selalu jauh lebih besar ketimbang sumbangan dana dari pusat. Dana dari pusat hanya untuk memancing partisipasi masyarakat.
Spirit gotong royong terlihat jelas ketika penduduk Sukorejo, Kota Semarang merampungkan berjibaku gotong royong “saweran,” untuk memberikan bantuan paket sembako kepada warga sekitar yang kurang mampu yang terdampak covid-19. Inilah salah satu representasi gotong royong sesungguhnya pada lapis bawah untuk satu tujuan mulia, bebas dari koloni covid-19.
Pengalaman gotong royong lain ditunjukkan dengan model lelang peduli atas pembangunan tempat ibadah yang akhirnya mampu menarik kepedulian warga setempat dengan pola lelang ini, seperti ada warga yang sanggup mengcover kebutuhan semen, ada yang siap dengan keramik ataupun warga yang membantu seluruh finishing cat temboknya adalagi yang mengirim kusen pintu dan jendela, maupun bantuan AC.
Semua mengalir tanpa komando, mereka berangkat lebih dari kesalehan sosialnya. Pertanyaan sederhananya adalah masih relevankah model lelang gotong royong itu. Konsentrasi pada aspek kemanusiaan dan sosial dalam gugus gotongroyong dalam wabah covid ini samasekali bukan berarti membawa kita pada perilaku jor-joran. Dalam konteks ini, kita melihat desa (tanah lahir beta) adalah kita, Desa is us.
Bonding-Bridging-Networking
Wadah penting, akan tetapi paling penting adalah aktor dan spirit di dalamnya terus bergerak. Lewat kebersamaan, kehangatan gotong royong tak bakal terbayar oleh teknologi apapun. Akhirnya, gotong royong bukan saja menjalin solidaritas sosial internal masyarakat (bonding), tetapi juga menjembatani aspirasi masyarakat dengan negara (bridging), dan bahkan membangun jejaring (networking) dan kerjasama yang meluas.
Semoga gotong royong mewujud dalam lanskap politik, ekonomi dan dalam budaya, sehingga selalu menginspirasi penyelesaian pandemi covid 19 ini secara terintegrasi sejak desa hingga pusat negara. Sekarang kita akan menjadi Sisifus lagi.
Akan mengangkat batu ke atas bukit kemudian menggelindingkannya kembali. Kita bakal memikirkan lagi bagaimana menghapus covid -19 di desa sepanjang musim yang ornag-orang kaya tidak lagi berebut sembako, dana BLT maupun masker, dll.
Pencegahan, kampanye, sosialisasi, simulasi, bantuan dan edukasi lain tentang bahaya dan dampak maupun protokol kesehatan, regulasi sosial dan atau physical distancing telah, sedang dan akan terus desa lakukan untuk menghapus si bengal covid-19. Dan, tentunya itu semua bukan kesia-siaan.