Saat ini, terdapat banyak aplikasi digital yang telah dikembangkan khusus untuk anak. Selain ‘aman’ dan menyenangkan, aplikasi tersebut baik untuk perkembangan kognitif anak. Namun, mereka juga menjadi penghalang untuk perkembangan afeksi dan psikomotor anak.
Gadget adalah sebuah benda yang hampir tak dapat dilepaskan dari manusia di era digital ini. Dengan kemampuannya multitaskingnya, gawai telah membuat manusia kecanduan untuk memakainya. Kecenderungan kecanduan ini berlaku ke semua umur, mulai dari dewasa hingga anak-anak. Sudah menjadi hal biasa ketika kita melihat bahwa kebanyakan orang sibuk menatap layar gawainya, dimanapun dan kapanpun.
Penyedia jasa aplikasi gawai tahu bahwa calon konsumen mereka memiliki rentang usia yang jauh. Tak heran jika mereka membuat aplikasi baru dengan konsep yang sama, disesuaikan dengan target konsumen mereka. Pertama-tama mereka membedakan aplikasi untuk dewasa dan anak-anak. Langkah ini diambil untuk meningkatkan penjualan mereka di sektor usia yang berbeda.
Kebanyakan aplikasi untuk anak-anak didesain untuk memiliki konten aman. Jauh dari kekerasan fisik, kekerasan verbal, serta pornografi. Selain itu, aplikasi untuk anak sering kali didesain untuk lebih lucu dan bergambar untuk menarik perhatian anak-anak. Dengan adanya dua fitur tersebut, para orang tua dibuat semakin yakin untuk memberikan gadget pada anak mereka.
Memang, pengenalan teknologi pada anak usia dini membawa dampak baik pada beberapa aspek pertumbuhan anak. Akan tetapi, yang sering kali tidak disadari oleh para orang tua adalah efek buruk penggunaan gadget terhadap beberapa aspek perkembangan anak.
Aspek Tumbuh Kembang Anak
Berdasarkan artikel yang dilansir dosenpsikologi.com, terdapat tiga aspek utama tumbuh kembang anak, yakni aspek kognitif (penalaran), aspek afeksi (emosi), dan aspek psikomotorik (koordinasi jasmani). Ketiga aspek tersebut mencapai titik puncak pengembangan ketika seseorang berumur 3-8 tahun. Kemampuan yang berkembang dalam kurun waktu lima tahun inilah yang akan menentukan kemampuan lanjutan seseorang di masa dewasa mereka.
Seperti yang telah tertulis pada paragraf sebelumnya, anak-anak adalah masa ketika aspek kognitif seseorang terbentuk. Di masa ini, seseorang menjadi sangat sensitif terhadap hal-hal baru dan dengan sangat mudah menerima informasi. Pengaruh aplikasi gadget akan begitu terasa pada masa-masa kritis ini.
Saat ini, terdapat banyak aplikasi anak yang menyajikan informasi dengan cara menarik. Salah satu contohnya adalah Youtube Kids yang menyediakan kumpulan video hewan, kartun, serta tutorial untuk melakukan kegiatan sehari-hari. Contoh lainnya adalah aplikasi galeri gambar berisikan benda-benda di sekitar manusia beserta informasinya.
Ada pula aplikasi yang didesain untuk menampilkan cerita anak diiringi dengan ilustrasi yang menarik. Bahkan, khusus untuk anak, para developer aplikasi membuat permainan yang mengandung unsur pembelajaran dan penalaran.
Dipaparkan oleh jurnal Frontiers in Psychology, anak-anak yang mendapat akses aplikasi pembelajaran memiliki skor lebih tinggi dalam tes yang mereka adakan. Mereka berpendapat bahwa anak-anak akan dengan mudah menyerap informasi dengan cara yang menyenangkan, membuat informasi tersebut tersimpan lebih lama dalam memori mereka. Selain itu, aplikasi-aplikasi tersebut membuat anak-anak selalu kembali mengakses tanpa merasa bosan karena efek user experience yang luar biasa.
Pada satu sisi, penggunaan gawai dan aplikasi khusus anak sangat menguntungkan bagi perkembangan kognitif anak. Di sisi lain, terdapat dua aspek tumbuh kembang anak yang terabaikan karena efek gawai dan aplikasi tersebut. Dengan adanya gawai, aspek afektif dan psikomotorik sering kali terkesampingkan hanya demi mempertajam aspek kognitif anak.
Mari meninjau kembali penggunaan gawai beserta isinya yang berpotensi membuat anak kecanduan. Pemakaian gawai yang terus menerus dan berkelanjutan jelas mengurangi waktu anak-anak untuk berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya. Mulai dari teman sebayanya, guru di sekolahnya, serta orang tuanya sendiri.
Kurangnya interaksi anak dengan sesamanya dapat mengurangi laju perkembangan emosional anak. Dalam kebanyakan kasus, anak-anak yang sering berinteraksi dengan gawai cenderung egois, sulit menghargai orang lain, serta sulit untuk berempati kepada sesamanya. Pada kasus lain, orang tua dari anak-anak yang keseringan bermain gawai berkeluh bahwa buah hati mereka kerap kali tidak mendengarkan ucapan mereka.
Hal-hal tersebut tentu menjadi ganjalan bagi anak dan orang-orang di sekitarnya untuk berkomunikasi. Sangat disayangkan bahwa ketika anak-anak tersebut sudah dewasa, kemudian mereka sulit menjalin hubungan pertemanan karena kurangnya jiwa sosial yang mereka miliki.
Selanjutnya, mengenai perkembangan aspek psikomotorik anak yang terganggu karena gawai. Anak-anak memiliki rasa ingin tahu yang besar. Sekali mereka menemukan hal yang menarik, mereka akan terpaku dan menghabiskan banyak waktu untuk mencari tahu tentang hal-hal yang mereka sukai. Ditambah dengan fitur aplikasi mereka yang menarik, anak-anak akan semakin meluangkan waktu mereka di depan layar gawai.
Benarkah didesain untuk anak?
Melihat kenyataan di atas, maka kita kembali pada permasalahan utama, yakni penggunaan aplikasi khusus anak yang berlebihan. Dengan duduk diam menatap layar, anak-anak akan kekurangan waktu untuk melatih kemampuan motorik mereka. Pada akhirnya, fisik mereka akan menjadi lebih lemah dan tidak seimbang.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa aplikasi yang khusus didesain untuk anak sesungguhnya baik untuk perkembangan kognitif anak, namun tidak untuk aspek afektif dan psikomotorik mereka. Lalu, dengan lebih banyaknya efek buruk pada anak, masih pantaskah aplikasi-aplikasi tersebut disebut ‘didesain untuk anak’?