Dewasa ini fenomena sengketa hukum dengan melibatkan para pihak yang memiliki hubungan kekeluargaan kembali menjadi perbincangan di tengah masyarakat. Bahkan tidak jarang yang terjadi adalah dimana anak bertindak selaku pihak penggugat dan orang tua menjadi pihak tergugat atas objek sengketa yang masih berhubungan dengan lapangan harta kekayaan yaitu secara khusus adalah harta dalam keluarga.
Apabila dicermati, fenomena sengketa hukum tersebut merupakan fenomena yang seringkali terjadi secara berulang. Dalam perspektif norma kesusilaan, apabila seorang anak menggugat orang tuanya yang dilatarbelakangi alasan harta kekayaan akan dipandang sebagai tindakan yang tidak patut. Selain itu, tindakan tersebut juga dianggap telah melanggar adab budaya ketimuran yang menjunjung tinggi penghormatan yang dilakukan oleh anak kepada orang tuanya. Namun meskipun demikian, pandangan yang demikian haruslah dilengkapi dengan sebuah kerangka berpikir yang komprehensif termasuk dalam perspektif hukum.
Antara Moralitas dan Positivisme Hukum
Auguste Comte (1830) dalam buku berjudul “Cours de Philosophie Positive” menjelaskan bahwa terdapat tiga tahapan dalam perkembangan hukum dan tahap positif merupakan tahap akhir perkembangan hukum yang menyatakan bahwa hukum tidak hanya sebatas mengenai ide abstrak melainkan harus terejawantahkan dalam rangkaian gejala. Apabila hendak dipahami secara sederhana, Comte hendak mengungkapkan bahwa hukum itu pada akhirnya tidak berbicara mengenai implementasi penerapan sanksi hukum hanya terbatas secara tekstual semata melainkan juga harus dipandang menurut konteks penerapannya.
Dalam bahasa yang lebih umum dapat pula ditegaskan bahwa hukum itu harus memiliki sisi kemanusiaan. Sehingga meskipun dua orang terdakwa berbeda diadili menggunakan pasal norma hukum yang sama dapat menghasilkan besaran sanksi pidana yang berbeda atas keduanya. Hal ini dimungkinkan apabila hukum tidak hanya berpandangan tekstual. Dalam hal fenomena sengketa hukum yang melibatkan para pihak yang memiliki hubungan kekeluargaan sejatinya merupakan hak dari setiap orang untuk mengajukan gugatan atas sengketa yang dihadapinya. Bahkan terhadap pihak yang masih memiliki hubungan kekeluargaan dengannya.
Namun yang perlu digarisbawahi adalah konteks pengajuan gugatan tersebut. Latar belakang lahirnya gugatan atas sengketa dengan melibatkan para pihak yang memiliki hubungan kekeluargaan menjadi lebih patut untuk dipertimbangkan terlebih oleh para penegak hukum. Hal ini dikarenakan positivisme hukum dalam pandangan ekstensifikasi hukum tidak lagi hanya berbicara mengenai hukum positif adalah hukum yang dibentuk oleh lembaga kekuasaan atau disebut juga secara umum sebagai peraturan perundang-undangan. Melainkan juga hukum yang hidup di tengah masyarakat. Sehingga dalam memutus sebuah sengketa yang melibatkan para pihak dengan karakteristik tersebut seyogyanya untuk memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam kelompok masyarakat terkait terlebih mengenai pandangan atas moralitas.
H.L.A. Hart (1983) dalam bukunya yang berjudul “Essay on Jurisprudence and Philosophy” menyatakan bahwa hukum dan moralitas memiliki sebuah hubungan yang mutlak. Sehingga apabila berbicara mengenai gugatan yang diajukan oleh seorang anak kepada orang tuanya, penting bagi penegak hukum untuk memahami esensi dari gugatan yang diajukan oleh pihak penggugat dan kaitannya dengan prinsip-prinsip moral. Di mana sudah sepatutnya gugatan tersebut tidak perlu untuk dikabulkan oleh penegak hukum apabila telah melampaui batas-batas kewajaran terkait prinsip-prinsip moral yang ada dalam masyarakat meskipun terdapat norma hukum yang mengatur perihal sengketa tersebut. Apabila gugatan tersebut meskipun telah melampaui batas-batas kewajaran atas prinsip-prinsip moral tetap dikabulkan oleh penegak hukum maka putusan tersebut akan justru menegasikan hubungan mutlak dari hukum dan moralitas tersebut.
Implementasi Nilai Dasar Hukum
Satjipto Rahardjo (2012) dalam bukunya yang berjudul “Ilmu Hukum” mengutip pendapat Gustav Radburch mengemukakan bahwa terdapat tiga nilai dasar hukum yaitu kepastian hukum, keadilan hukum, dan kemanfaatan hukum. Berkaitan dengan fenomena sengketa hukum antara para pihak yang memiliki hubungan kekeluargaan secara khusus apabila pihak penggugat adalah anak dari pihak tergugat maka nilai kemanfaatan harus menjadi pokok pertimbangan pengambil keputusan atas sengketa hukum tersebut yaitu majelis hakim dengan tidak menegasikan nilai kepastian hukum dan nilai keadilan hukum. Namun yang perlu digarisbawahi adalah bahwa putusan yang akan dihasilkan harus memperhatikan manfaat yang akan ditimbulkan dari putusan tersebut.
Meskipun demikian, putusan tersebut juga harus mendasarkan pada sebuah pengaturan hukum yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Namun perlu untuk penegak hukum mempertimbangkan sebelum diperiksanya pokok gugatan untuk memberikan prioritas kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa tersebut melalui jalur penyelesaian sengketa secara damai atau sekurang-kurangnya melalui mediasi.
Namun terlepas dari hal-hal yang berhubungan dengan perspektif hukum sebagaimana yang diuraikan tersebut, menjadi penting bagi seorang anak yang hendak berkedudukan sebagai pihak penggugat untuk melakukan gugatan kepada orang tuannya untuk memahami bahwa konteks penerapan hukum di Indonesia tidak hanya berbicara mengenai penyelesaian sengketa berbasis pidana atau perdata dengan berorientasi pembayaran ganti kerugian.
Konteks penerapan hukum di Indonesia merupakan konteks penerapan hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai yang hidup di masyarakat termasuk penghormatan atas harkat dan martabat orang tua dan prinsip moralitas untuk menghormati orang tua dan menyelesaikan perkara dengan cara-cara santun dan tetap memberikan penghormatan kepada orang tua.