Sabtu, April 20, 2024

Menimbang Kebijakan Titip Uang Negara ala Sri Mulyani

Iqbal Novandav
Iqbal Novandav
Mahasiswa Politeknik Keuangan STAN

Ahli matematika dapat membuat perhitungan, begitu pula pakar epidemiologi. Menanggapi pandemi, berbagai kalangan berlomba untuk memprediksi kapan sekiranya pandemi yang sudah muncul sejak awal tahun akan berhenti.

Tentunya hal ini dilatarbelakangi harapan pandemi segera berakhir dan kondisi berangsur membaik. Tapi lagi-lagi, tidak ada yang tau jawaban yang pasti. Malah yang mungkin muncul kedepannya, akan lebih banyak pertanyaan dibandingkan jawaban. Salah satunya, bagaimana perekonomian kita tetap dapat bertahan?

Pandemi COVID-19 jelas memukul sektor ekonomi dengan segala keterbatasan yang ditimbulkan. Terganggunya supply akibat disrupsi produksi, melemahnya permintaan akibat hilangnya pendapatan, hingga keberadaan pasar yang terpaksa absen menjadi faktor-faktor penyebab ekonomi mengalami kontraksi.

Hal ini pun memiliki efek domino yang salah satunya yakni pada sektor perbankan sebagai pemilik fungsi intermediasi. Ketika ekonomi tidak berjalan baik, pendapatan usaha debitur akan menurun yang mana berimplikasi pada kemampuannya dalam melunasi kewajiban kepada kreditur yakni pihak perbankan. Yang mana hal ini direspon OJK dengan kebijakan pemberian fasilitas restrukturisasi kredit sebagaimana yang tertuang dalam POJK 11/POJK.03/2020.

Disisi lain, kebijakan yang diambil OJK menimbulkan risiko tersendiri bagi pihak bank. Restrukturisasi kredit yang diberikan kepada debitur antara lain dalam bentuk perpanjangan jangka waktu dan penurunan suku bunga memicu kemungkinan meningkatnya tingkat Non Performing Loan (NPL) bagi bank.

Hal ini mengingat ketidakpastian sampai berapa lama wabah COVID-19 akan berlangsung dan kapan ekonomi akan kembali pulih. Apalagi jika kebijakan ini dalam implementasinya menimbulkan moral hazard seperti pemberian fasilitas restrukturisasi bagi debitur yang memang sudah bermasalah dan adanya free rider yang sebenarnya tidak terdampak tapi tetap mengajukan restrukturisasi. Terkait hal tersebut, meski belum menunjukkan peningkatan yang siginfikan, namun tingkat NPL perbankan di kuartal I 2020 sudah berada di level 2,77 persen, lebih tinggi dari angka periode yang sama tahun 2019 yang masih bertengger di level 2,30 persen.

Angka NPL yang juga dikenal luas sebagai kredit macet ini  merupakan salah satu indikator kesehatan perbankan yang menjadi sangat krusial khususnya dalam kondisi seperti ini. Peningkatan NPL tentu akan menyebabkan kualitas asset bank terganggu serta modal bank untuk menyalurkan kembali kredit menjadi berkurang.

Kondisi ini jika dibiarkan terus-menerus dan tidak diantisipasi, maka tentu akan membawa ekonomi kearah yang lebih buruk. Yakni ketika kredit yang disalurkan oleh bank berkurang atau bahkan bank berhenti menyalurkan kredit, maka kegiatan operasional perusahaan dan pelaku usaha (khususnya UMKM) akan terdampak dan bukan tidak mungkin akan mengalami kebangkrutan.

Jika terjadi demikian, variabel ekonomi makro seperti tingkat pengangguran akan meningkat, yang tentunya bukan sesuatu yang diinginkan. Yang semakin meningkatkan urgensi bahwa kebijakan restrukturisasi kredit harus diimbangi dengan dukungan langsung pemerintah pada sektor perbankan utamanya terkait likuiditas.

Menyikapi hal ini, berbagai upaya pun dilakukan. Bank Indonesia sendiri dalam menjalankan perannya sebagai bank sentral sendiri sudah mengambil kebijakan berupa pemberian injeksi likuiditas bagi perbankan. Dimana sejak awal tahun BI telah melakukan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) yang dimiliki perbankan hingga penurunan giro wajib minimum.

Sedangkan dari sisi pemerintah, Menteri Keuangan Sri Mulyani baru-baru ini menetapkan kebijakan berupa penempatan uang negara pada bank umum. Dimana kebijakan tersebut menjadi bagian dari upaya pemulihan ekonomi nasional yang menjadi fokus pemerintah saat ini. Adapun kebijakan ini sebenarnya merupakan praktik yang umum dalam pengelolaan kas negara yakni sebagai upaya dalam mengurangi idle cash dan optimalisasi kas yang berlebih.

Teknisnya, sebagaimana diatur dalam PMK 70/PMK.05/2020, Kementerian Keuangan lewat Direktorat Jenderal Perbendaharaan akan melakukan penempatan uang negara di bank umum yang menjadi mitra dan memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan terkait dengan metode over the counter. Yang mana metode ini akan mempertemukan Direktorat Jenderal Perbendaharaan sebagai Kuasa Bendahara Umum Negara Pusat dengan bank umum yang menjadi mitra melalui treasury dealing room untuk melakukan kesepakatan penempatan.

Lalu bagaimana kebijakan ini dapat berdampak bagi pemulihan ekonomi nasional ? Siapa saja yang akan mendapatkan manfaatnya ?

Bagi pihak perbankan, tentunya kebijakan ini akan menjadi penyangga bagi likuiditas bank di tengah kondisi kredit yang banyak bermasalah. Suntikan dana berupa penempatan uang negara dapat dijadikan bank yang menjadi mitra pemerintah sebagai tambahan modal untuk terus bisa mengakselerasi pemberian kredit untuk pemulihan sektor riil, terlebih bagi UMKM dan sektor yang sangat terdampak pandemi COVID-19, seperti halnya industry pariwisata dan MICE.

Diharapkan dengan pemberian kredit yang konsisten, perekonomian khusunya sektor riil dapat cepat pulih dan dampak negatif yang ditimbulkan seperti halnya banyaknya bisnis yang gulung tikar dan peningkatan jumlah pengangguran tidak semakin parah.

Begitupun bagi pemerintah, penempatan ini dapat menghasilkan penerimaan negara yang berusmber dari remunerasi yang diberikan oleh bank. Walaupun hal ini bukan tujuan utama dalam pemberlakuan kebijakan, mengingat imbal hasil yang disyaratkan dalam peraturan yakni minimal sebesar tingkat remunerasi yang diberikan Bank Indonesia dalam penempatan uang negara.

Lebih lanjut, imbal hasil yang diterima pemerintah lewat kebijakan ini memiliki kelebihan lain dimana pemerintah tidak perlu menempatkan uang negara dalam waktu yang lama, sebab juga diatur bahwa penempatan paling lama hanya selama 6 bulan. Sehingga pengelolaan kas tetap dapat dilaksanakan secara fleksibel, menyesuaikan dengan kondisi yang terjadi dan kebutuhan kebijakan yang diperlukan.

Langkah yang diambil Sri Mulyani dalam penempatan uang negara ke bank umum layaknya patut diacungi jempol. Sebagai bagian dari paket upaya pemulihan perekonomian nasional, kebijakan ini dinilai relevan dan responsif terhadap kondisi yang ada. Pemerintah tidak perlu menunggu kondisi perbankan terpuruk untuk melakukan intervensi.

Lalu pertanyaan lain timbul, bagaimana bisa pemerintah mengambil kebijakan pemulihan ekonomi sementara pandemi yang menjadi penyebab utamanya masih belum berakhir ? Mengutip pernyataan Sri Mulyani dari akun instagram-nya, bahwasanya antara kesehatan dan perekonomian merupakan hal yang sama pentingnya.

Pandangan mendahulukan perekonomian dibandingkan kesehatan adalah tidak benar. Yang ada pemerintah terus berkomitmen untuk memerangi COVID-19 seiring dengan upaya agar perekonomian tidak jatuh lebih dalam. Karena semakin dalam perekonomian jatuh, future cost untuk mengembalikannya ke keadaan semula akan semakin besar. Lagi-lagi menimbulkan pertanyaan, siapkah kita untuk menanggungnya?

Iqbal Novandav
Iqbal Novandav
Mahasiswa Politeknik Keuangan STAN
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.