Senin, Oktober 7, 2024

Menimbang Demokrasi di Tengah Pandemi

Hemi Lavour Febrinandez
Hemi Lavour Febrinandez
Peneliti Bidang Hukum di The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research

Dibukanya pendaftaran peserta pilkada dari tanggal 4 – 6 September lalu diwarnai oleh pelbagai pelanggaran yang dilakukan oleh bakal calon peserta pilkada. Pelanggaran yang tidak hanya membahayakan nyawa masyarakat, namun juga mengancam kesehatan demokrasi. Setidaknya terdapat dua pelanggaran yang telah teridentifikasi dalam proses penyelenggaraan pilkada hingga saat ini.

Pertama, pelanggaran aturan tentang tata cara pendaftaran bakal pasangan calon kepala daerah. Merujuk pada catatan Bawaslu, terdapat pelanggaran yang terjadi di 243 dari 270 daerah dengan akumulasi sebanyak 316 bakal calon kepala daerah. Pelanggaran yang terjadi berkaitan dengan pengabaian protokol kesehatan dan aturan tentang mekanisme pendaftaran bakal calon. Karena masih terdapat bakal pasangan calon yang mendaftar dengan diiring oleh kerumunan massa.

Pasal 49 PKPU No. 6 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pilkada Serentak Lanjutan dalam Kondisi Bencana Nonalam Covid-19 menegaskan bahwa pendaftaran bakal pasangan calon dilakukan dengan menerapkan protokol kesehatan pencegahan dan pengendalian Covid-19. Kemudian pendaftaran tersebut hanya boleh dihadiri oleh ketua dan sekretaris partai politik dan/atau gabungan partai politik pengusul serta bakal pasangan calon; dan/atau bakal pasangan calon perseorangan.

Kedua, bakal calon kepala daerah yang telah dinyatakan positif Covid-19 tetap datang untuk mendaftar ke KPU. Seperti yang terjadi di Kabupaten Binjai, Kabupaten Lima Puluh Kota, serta satu bakal calon bupati/walikota di Provinsi Jawa Timur. Memaksakan diri untuk datang ke KPU untuk mendaftar secara langsung membahayakan dan mengancam kesehatan staff yang berada di lokasi. Pengabaian terhadap protokol kesehatan terbukti berdampak secara langsung kepada penyelenggara pilkada, seperti yang menimpa 96 orang petugas Bawaslu di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, yang dinyatakan positif terinfeksi Covid-19 usai menjalankan tugas pengawasan pilkada serentak Tahun 2020.

Hal yang tak seharusnya terjadi pada saat pendaftara bakal calon kepala daerah terjadi akibat beberapa faktor. Selain tidak ada ketegasan dari penyelenggara pilkada serta aparat keamanan untuk membubarkan kerumunan massa, tidak adanya sanksi tegas bagi pelanggar protokol kesehatan dalam penyelenggaraan pilkada juga menjadi alasan terjadinya hal tersebut. Karena dalam UU No. 6 Tahun 2020 tentang Pemilihan Kepala Daerah maupun aturan turunannya yang terdapat pada PKPU atau Peraturan Bawaslu, tidak memuat sanksi administratif yang dapat menimbulkan efek jera bagi pelanggar.

Ketiadaan muatan aturan sanksi dalam regulasi penyelenggaraan pilkada tak lepas dari ketidaksiapan menghadapi keadaan luar biasa seperti pandemi. Tetapi keterbatasan tersebut tidak dapat dijadikan sebagai dalih pembenar untuk mengabaikan keselamatan masyarakat. Pada saat peraturan perundang-undangan tidak memuat suatu ketentuan, maka penyelenggara pilkada dapat menggunakan diskresi untuk memuat ketentuan tersebut dalam PKPU dan Peraturan Bawaslu. Sehingga penyelenggaraan pilkada dapat memenuhi kepastian hukum serta melindungi masyarakat dari tindakan serampangan yang dilakukan oleh bakal calon kepala daerah dengan mengumpulkan massa di tengah pandemi.

Hal serupa juga berpotensi terulang kembali. Yaitu pengumpulan massa yang tidak mengindahkan protokol kesehatan pada masa kampanye calon kepala daerah, yang akan diselenggarakan pada 26 September hingga 5 Desember 2020. Kemungkinan pelibatan massa dalam kampanye di tengah pandemi tetap dapat terjadi. Walaupun PKPU Nomor 10 Tahun 2020 telah membatasi beberapa bentuk kampanye yang berpotensi menjadi cluster baru penularan Covid-19, seperti pembatasan jumlah orang hingga larangan untuk mengadakan kegiatan di luar ruangan. Namun ketentuan tersebut dapat dengan mudah dilanggar oleh calon kepala daerah, karena aturan itu tidak diiringi dengan ancaman sanksi.

Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam buku How Democrasies Die (2018) Telah memaparkan empat indikator kunci perilaku otoriter yang akan menggerus sendi-sendi demokrasi dalam sebuah negara. Salah satunya adalah penolakan terhadap aturan main demokrasi, dalam konteks ini menolak legitimasi hukum yang berlaku. Contohnya untuk mengisi kekosongan hukum akibat tidak diaturnya penyelenggaraan pilkada di tengah pandemi, akhirnya dibentuklah UU No. 6 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pilkada Serentak Lanjutan dalam Kondisi Bencana Nonalam Covid-19. Sehingga beberapa hal dapat diantisipasi, tidak hanya memaksakan agar pilkada tetap diselenggarakan, namun kontestasi tersebut juga dapat kembali ditunda.

Pasal 120 Ayat (1) UU No. 6 Tahun 2020 menegaskan jika ada bencana nonalam mengakibatkan tahapan pilkada tidak dapat lanjut dilaksanakan, maka penundaan bisa dilakukan. Baik itu di sebagian wilayah maupun seluruh wilayah pemilihan.

Kemudian proses pemungutan suara, jika ditunda, bisa dijadwalkan ulang berdasarkan atas persetujuan bersama antara pemerintah, DPR dan KPU. Hal itu tertuang dalam Pasal 122A Ayat (2) UU No. 6 Tahun 2020. Disinilah permasalahan muncul. Seharusnya dalam memperhitungkan dan menetapkan pelaksanaan hingga penundaan pelaksanaan pilkada harus berada di tangan KPU. Namun pasal ini malah merenggus independensi KPU karena harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari pemerintah dan DPR.

Seharusnya dengan melihat kurva Covid-19 di Indonesia yang tidak kunjung melandai, pembicaraan tentang penundaan penyelenggaraan pilkada telah dapat di buka. Ketidaksiapan penyelenggaraan dapat dilihat dari minimnya aturan main hingga sanksi dalam pelaksanaan sisa tahapan pilkada. Bahkan PKPU No. 10 Tahun 2020 masih memperbolehkan pelaksanaan kampanye dalam bentuk  rapat umum, konser musik, hingga kegiatan olahraga. Jika aturan main hingga pelaksanaan pilkada telah mengabaikan keselamatan masyarakat, jangan lagi menyebut demokrasi Indonesia masih sehat.

Tidak perlu menunda pilkada hingga pandemi Covid-19 menghilang sepenuhnya dari Indonesia. Cukup selama dua hingga tiga bulan, dengan tetap memperhatikan statistik penularan virus ini. Waktu tersebut cukup untuk dapat menyusun regulasi hingga mematangkan teknis penyelenggaraan. Sehingga pilkada bisa dilaksanakan dengan tidak tergesa-gesa serta tanpa membuat cluster baru penyebaran Covid-19.

Pandangan keliru yang menganggap bahwa pengunduran waktu pilkada akan berdampak buruk pada demokrasi harus segera diluruskan. Harus diingat bahwa  tolok ukur untuk melihat hidup tidaknya demokrasi dalam sebuah negara tidak hanya dilihat dari penyelenggaraan pemilihan umum.

Ada partisipasi politik seperti dalam menyampaikan usulan terhadap perubahan sebuah undang-undang, serta ada kebebasan sipil seperti untuk menyampaikan pendapat, tanpa diintervensi oleh negara maupun mendapat perasaan aman dan nyaman di rumah sendiri tanpa dibayangi ketakutakn akan menjadi korban penggusuran. Kemudian pertanyaannya adalah apakah setimpal untuk memaksa melaksanakan pilkada dengan mempertaruhkan kesehatan bahkan nyawa masyarakat agar dianggap sebagai negara yang demokratis? Padahal saluran demokrasi lainnya masih saja mampet hingga sekarang.

Hemi Lavour Febrinandez
Hemi Lavour Febrinandez
Peneliti Bidang Hukum di The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.