Problematika Ratifikasi RKUHP
Konsep negara hukum di Indonesia menyebabkan banyaknya produk hukum yang dikeluarkan.Hal ini sudah menjadi barang pasti untuk suatu negara yang konsepnya negara hukum.
Produk hukum yang ada terus mengalami perbaikan guna menstabilkan kondisi Indonesia yang semakin berubah. Salah satu produk hukum yang mengalami perubahan adalah KUHP yang dulunya adalah warisan turun temurun dari negara Belanda pada saat menjajah Indonesia.
Keinginan Indonesia untuk mewujudkan sebuah KUHP karya anak Bangsa yang digadang-gadang memuat aturan yang sejalan dengan hukum adat di Indonesia telah mendapat kritikan pedas dari berbagai akademisi dan masyarakat.Kabarnya banyak sekali pasal-pasal yang mengkriminalisasi masyarakat.
Lalu Pasal Apa Saja yang Mengkriminalisasi?
1. Pasal 218 ayat 1 telah mengancam kebebasan berpendapat,muatan dalam pasal tersebut berisi jika kita menyerang kehormatan Presiden dan Wakil Presiden dipenjara selama tiga tahun enam bulan. Padahal kita ini negara Demokrasi dan parahnya lagi pasal tersebut sangat mengancam seseorang untuk mengkritik kesalahan yang dilakukan oleh Penguasa.
2. Pasal 432 yang berbunyi”Tiap orang yang bergelandangan di jalan/tempat umum sehingga mengganggu ketertiban umum bisa dikenai denda sebanyak satu juta rupiah. Jika ditelaah lebih dalam bahwa gelandangan yang berkeliaran seharusnya menjadi PR buat Pemerintah agar mengurusi dan menjamin penghidupan yang layak bagi para gelandangan agar tidak berkeliaran di jalanan umum.
3. Pasal 252 tentang santet yang berisi bahwa setiap orang yang mempunyai kekuatan gaib dan menawarkannya kepada orang lain dihukum tiga tahun penjara atau denda 200 juta. Pasal ini tentunya sangat kontroversial. Padahal kita tahu bahwa santet itu gaib dan pembuktiannya pun sangat sulit jika memang benar-benar diterapkan pasal ini. Karena yang mengerti hal-hal gaib adalah dukun santet atau pelaku santet sendiri.
Itulah sebagian kecil dari pasal-pasal yang paradoksal sehingga menimbulkan kemarahan rakyat kepada DPR di senayan sana.Kalau kita analogikan secara sederhana, memang benar jika masyarakat tidak setuju atau keberatan tentang produk hukum yang dibuat bisa diajukan Judicial Rieview ke Mahkamah Konstitusi. Tetapi seharusnya DPR yang membuat undang-undang bisa mengecilkan atau bahkan membuat produk hukum yang baik dan bisa diterima masyarakat pada umumnya.