Sabtu, April 20, 2024

Menilik Konsepsi Kematian dalam Era Teknologi

Eliesta Handitya
Eliesta Handitya
Penulis adalah mahasiswa S1 Antropologi Budaya Universitas Gadjah Mada.

Kematian menjadi tahapan penting dalam siklus kehidupan manusia. Fenomena dan ritus terhadapnya banyak kita lihat dalam berbagai kehidupan sosial budaya masyarakat di dunia. Membahas kematian dalam era digital, saya jadi teringat fenomena yang terjadi beberapa waktu belakangan yang menunjukkan bagaimana teknologi mengubah konsepsi masyarakat perihal kematian.

Menarik untuk kemudian mengamati bagaimana kematian dimaknai dalam realitas virtual media sosial. Tulisan ini menyorot fenomena kematian melalui fenomena digital graveyard, sebuah konsep yang muncul bersamaan dengan semakin masifnya penggunaan media sosial dalam dua puluh tahun terakhir ini.

Kemajuan teknologi seperti internet pada akhirnya tidak hanya berkontribusi terhadap perkembangan efektifitas dalam memperoleh informasi saja. Lebih dari itu, kehadiran internet mampu menciptakan realita semu yang secara tidak terduga, menciptakan kebudayaan baru yang seringkali dimensinya dianggap berbeda dengan kehidupan-sehari-hari-yang-nyata. (Wilson&Peterson,2002).

Menariknya, Kematian memasuki konstelasi dunia siber melalui penggunaan sosial media semacam SafeBeyond, Tribes.Net ,Eterni.me, Yahoo’s ending, Google’s Inactive Account Manager, MyDeathSpace, dan Facebook’s Memorial pages— yang mengakomodasi duka cita dan ruang-ruang untuk mengenang kematian.

Sebuah artikel berjudul “The Digital Graveyard : Online Sosial Networking Sites as Vehicles of Remembrance” pernah membahas bagaimana jejaring sosial yang dapat berfungsi sebagai ruang untuk memberikan penghormatan terakhir kepada mereka yang telah mati. Sosial media menjadi “makam” bagi yang telah meninggal (di dunia nyata) dan menjadi rumah “duka” virtual bagi mereka yang telah ditinggalkan, bahkan sekali-kali waktu bisa diziarahi.

Saat masih hidup akun pengguna sosial media akan selalu mengalami pembaharuan data dalam aktivitas virtualnya. Namun ketika pengguna akun telah meninggal, aktivitas itu akan membeku, menjadi statis. Menjadi memoar selamanya. Profil daring macam tulisan, foto, dsb.

Arsip-arsip kolektif berupa foto, aktifitas, dan ucapan belasungkawa yang disampaikan dalam profil daring seseorang menjadi living memorial. Ruang virtual menjelma sebagai bilik-bilik kenangan yang dapat dikunjungi oleh kerabat, menjadi tempat berziarah dengan terus mengirim upacan. Upaya re-collect memories—  bahkan living the deaths menjadi konsep penting yang membuat fenomena digital-graveyard ini semakin menarik.

Dalam Eterni.me, situs web yang mencoba menciptakan memori setelah mati dengan cara mengunggah foto, video, tulisan, dan lain sebagainya untuk menjadi living-memorial bagi pengguna yang (kelak) akan meninggal.

Who wants to live forever?” Menjadi tagline apik yang diusung oleh platform web Eterni.mi dalam menciptakan kenangan virtual pasca kematian. Media sosial lantas tidak sekadar menjadi ruang untuk melakukan interaksi, melainkan lebih dari itu— ia ingin mencipta sejarah kehidupan manusia dengan mengartefakkan kematian.

Namun, sayangnya, konsep digital graveyard dalam sosial media tidak mengenal batas personal— seperti dalam konstelasi dunia siber pada umumnya. Misal dalam fenomena MyDeathSpace yang digunakan oleh para pengguna lain untuk menyerang seseorang yang sudah mati— apalagi jika kematian seseorang itu disebabkan oleh kejadian “tidak wajar” seperti mati dibunuh, bunuh diri, kecelakaan— seringkali muncul komentar seperti, “suicide is my favorite” atau “I like the ones where they inhale dustoff or some other cleaner, because those are ones I can laugh at”. (Ryan 2012).

Contoh tersebut menjadi representasi perilaku dalam dunia virtual, tentang internet yang tidak memiliki batasan nilai kultural rigid, bahkan kehadirannya dianggap paralel dari kehidupan nyata.

Melihat bagaimana teknologi mengubah persepsi tentang ruang-ruang kultural bagi kematian, saya jadi teringat berita singkat yang pernah saya baca di sebuah akun media sosial, tentang sebuah perusahaan pemakaman di Jakarta yang menawarkan fasilitas pengeras suara berisi doa-doa yang telah direkam dalam sebuah kaset.

Untuk memanfaatkan fasilitas semacam itu, keluarga biasanya akan dikenakan biaya lebih tinggi dibandingkan jika hanya memesan tanah pekuburan saja. Aktifitas berdoa yang sifatnya personal digantikan oleh peranan teknologi.

Contoh lain adalah mengenai robot yang diciptakan untuk memimpin upacara pemakaman di Jepang. Robot ini diciptakan dalam rangka menanggapi fenomena jumlah biksu yang terus berkurang karena beralih profesi sehingga peranannya digantikan oleh robot. Contoh yang paling dekat— bahkan acapkali kita lakukan, adalah bagaimana kita seringkali mengucap belasungkawa melalui jejaring virtual dan merasakan pengalaman yang seolah sama dengan ketika bertandang secara langsung.

Ucapan seperti itu memang tidak  menihilkan interaksi personal. Membentuk pemaknaan melalui teks kultural menjadi strategi untuk tetap mempertahankan interaksi personal—meskipun tidak melulu emosional.

Pergeseran platform menuju ranah digital mungkin bisa menjadi win-win solution, menjadi semacam proses negosiasi manusia terhadap dirinya sendiri untuk mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan se-efektif dan efisien mungkin di tengah kontestasi kehidupan yang menuntut orang-orang bergerak cepat dan menjadi individual. Konsepsi kematian pun menjadi arena menegosiasikan kemanusiaan kita di era teknologi seperti saat ini.

Kepustakaan :

  • Ryan, Jenny. 2012. “The Digital Graveyard : Online Sosial Networking Sites as Vehicles of Remembrance”.” Human No More ; Digital Subjectivity, Unhuman subjects, and the end of Anthropology 71-88.
  • Wilson, Samuel M., Peterson, Leighton C. 2002. The Anthropology of Online Communities. Pp. 449-467. Annual Review of Anthropology, Vol. 31.

Artikel Daring :

  • http://www.viva.co.id/digital/piranti/950266-video-robot-pimpin-upacara-pemakaman-di-jepang diakses pada Jumat, 27 Oktober 2017 pukul 13.00 WIB
  • http://www.pmq.org.hk/leisureculture/death-in-the-21st-century-the-future-of-a-digital-graveyard/ diakses pada Rabu, 19 September 2018 pukul 15.04 WIB
Eliesta Handitya
Eliesta Handitya
Penulis adalah mahasiswa S1 Antropologi Budaya Universitas Gadjah Mada.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.