Komunikasi merupakan sarana yang memiliki signifikansi tinggi dalam mengkonstruksikan sebuah interaksi sosial. Hal ini dikarenakan melalui jalinan komunikasi, seseorang akan mengaktualisasikan suatu konsepsi diri yang melekat padanya hingga maksud dari sebuah tindakan yang dilakukannya. Karakterisasi dari komunikasi tersebut terjadi pada seluruh lapisan masyarakat termasuk kalangan elit di dalamnya.
Pada komunikasi yang dijalankan oleh kalangan elit ini biasanya terbagi dalam dua bentuk komunikasi apabila ditinjau dari arahnya yaitu komunikasi yang bersifat horisontal dan komunikasi yang bersifat vertikal. Dalam menjalankan komunikasi yang bersifat horisontal pada umumnya kalangan elit akan tetap menggunakan pola komunikasi yang sewajarnya sebagaimana yang dilakukan oleh lapisan masyarakat lainnya secara umum. Namun manakala hendak menjalankan komunikasi dengan bersifat vertikal maka komunikasi tersebut sarat dengan simbolisasi-simbolisasi.
David Krech, Richards Crutchfield, dan Engerton L. Ballachey (1962) dalam buku berjudul Individual in Society: A Text Book of Social Psychology menerangkan bahwa bentuk komunikasi yang memuat simbolisasi tertentu tersebut secara tidak langsung dapat mempengaruhi pandangan orang lain terhadap simbolisasi tersebut.
Apabila dipahami lebih lanjut, hal tersebut menjadi tujuan dari bentuk komunikasi bersifat vertikal yang dilakukan oleh kalangan elit tersebut yaitu meskipun komunikasi tersebut dilakukan secara tidak langsung, lapisan masyarakat lainnya akan dapat mempersepsikannya dalam sebuah konstruksi pandangan.
Pada dasarnya kalangan elit seperti tokoh publik dapat menggunakan dua bentuk komunikasi tersebut secara bersama-sama ataupun terpisah. Hal tersebut tidak lain ditujukan untuk mencitrakan tokoh publik tersebut dalam sebuah kesatuan persepsi di tengah masyarakat. Namun yang seringkali tidak disadari oleh para tokoh publik, komunikasi yang dilakukan dengan muatan simbolisasi tidak akan dapat menghasilkan sebuah persepsi yang sama bagi seluruh lapisan masyarakat meskipun ada beberapa substansi tertentu yang dikomunikasikan dapat membangun suatu persepsi yang sama.
Simbolisasi Komunikasi
Apabila hendak disegmentasi, tokoh politik dapat termasuk salah satu segementasi tokoh publik yang memiliki tingkat pengaruh yang besar di tengah masyarakat. Dimana citra tidak lagi menjadi tujuan dari komunikasi vertikal yang dibangun oleh seorang tokoh politik melainkan juga sosialisasi dari pesan yang termuat dalam pola-pola simbolisasi tertentu. Namun baik tujuan terhadap pembangunan citra ataupun sosialisasi terhadap pola komunikasi yang tersimbolisasi tertentu itu memiliki keterkaitan yang sangat erat.
Hal ini dikarenakan apabila hasil dari komunikasi vertikal tersebut tidak berjalan sejalan dengan kehendak tokoh politik tersebut, citra dari tokoh politik tersebut setelahnya akan terdiferensiasi di tengah masyarakat. Terlebih manakala komunikasi tersebut dijalankan dengan muara yang bersifat destruktif. Bahkan muara dekstruktif dari komunikasi tersebut dapat mengaburkan tujuan komunikasi yang dibangun sebelumnya.
Sehingga tidak jarang, kita melihat bagaimana banyaknya peristiwa tokoh politik justru tersandung karena tutur kata yang dibangunnya dalam berkomunikasi dengan publik. Hal ini seringkali dikarenakan tutur kata yang disampaikan oleh tokoh politik tersebut mengandung ambiguitas dan bertendensi negatif dalam mencuplik isu-isu sosial kemasyarakat yang cenderung bersifat sensitif untuk dibahas. Dimana yang paling sering terjadi adalah ketika tokoh publik gagal dalam mendiksikan kata yang bersifat sensitif dan memantik responsi publik dalam kalimat yang disampaikannya.
Heather Savigny (2002) dalam artikelnya yaitu Public Opinion, Political Communication and the Internet menyatakan bahwa respon publik akan berpengaruh besar pada tingkat keterpilihannya dan legitimasi jenjang karir dari seorang tokoh publik di masa mendatang. Sehingga manakala terdapat oknum tokoh politik mendapatkan responsi negatif dari publik terhadap pernyataan yang disampaikannya maka tokoh politik itu akan melakukan klarifikasi, bentuk permohonan maaf hingga melakukan pertahanan diri dengan menyatakan bahwa hal tersebut adalah bentuk serangan politik dan pembatasan atas kebebasan berpendapatnya.
Apabila klarifikasi atau bentuk permohonan maaf yang dilakukan oleh oknum tokoh politik maka hal tersebut menunjukan bahwa terdapat kemungkinan bahwa telah terpenuhinya konsepsi introspeksi diri yang dimiliki oleh oknum tokoh politik meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat ragam tujuan dibalik bentuk pilihan yang demikian. Namun manakala model pertahanan diri yang dipilih oleh oknum tokoh politik dengan menyatakan hal tersebut sebagai bentuk serangan politik akan secara tidak langsung telah menunjukan bahwa sesungguhnya iklim demokrasi hendak didegradasikan.
Dimana iklim demokrasi harus dibangun diatas perbedaan dengan mempertahankan prinsip penghormatan atas sisi kedaulatan bangsa dan keluhuran nilai-nilai yang hidup di dalam setiap masyarakat baik dalam paradigma sosial atau yang melekat pada setiap individu anak bangsa. Oleh karena itu pernyataan oknum politik pada masa lampau yang bersifat destruktif dan penolakan publik tersemat di dalamnya harus menjadikan peringatan dan pelajaran bagi tokoh politik pada masa mendatang untuk menggunakan konsepsi komunikasi vertikal secara santun.
Dimana pada dasarnya, persepsi masyarakat dengan tendensi positif akan terbentuk seragam manakala bangunan komunikasi vertikal yang dilakukan oleh tokoh politik dibangun secara santun, paham dan sadar terhadap kebatinan masyarakat, serta memperhatikan tempat, waktu dan metode penyampaian secara tepat dan menghormati kultur nilai-nilai kemasyarakat yang hidup pada setiap segmentasi yang ada pada masyarakat.