Komisioner Hak Asasi Manusia (HAM), Choirul Anam, memberikan pernyataan publik yang cukup kontroversial; masyarakat Indonesia siap menerima eks-ISIS karena di Indonesia tidak ada Islamophobia.
Saya kutipkan pernyataan lanjutannya “Indonesia jauh lebih siap daripada Eropa, kenapa Eropa mengambil sikap yang lebih buruk misalnya ya karena sebelum persoalan ISIS mereka punya persoalan yang lain, phobia kepada Islam misalnya,” ujar Anam, pasca diskusi ‘Eks ISIS Hendak Mudik’ di Pizza Kayu Api, The MAJ Senayan, Jakarta, Sabtu (8/2/2020).
Pernyataan itu jika ditelaah lebih dalam mengandung hal-hal yang bisa mengantar pada kesalahpahaman. Seolah-olah mereka yang tidak mau menerima kehadiran kembali eks-ISIS dari medan tempur mereka ke Indonesia itu identik dengan phobia atas Islam. Jelas, cara pandang seperti ini bisa menyesatkan.
Masyarakat Indonesia yang tidak mau menerima kehadiran eks-ISIS justru ingin melepaskan ISIS dari identitas ke-Islaman. Selain itu, ada pertimbangan lain bahwa meskipun mereka yang akan pulang itu eks atau bekas, namun mereka mungkin takut akan implikasinya karena bekas teroris tidak sama dengan bekas-bekas yang lain. Mengapa demikian?
Beberapa studi mengatakan bahwa untuk menjadi teroris itu bukan proses sekali jadi, namun melalui tahapan-tahapan yang cukup panjang. Secara teori, tahapan menjadi teroris itu menurut banyak studi-studi, mulai dari sikap intoleran, radikal, dan teroris atau ekstrimis.
Sikap intoleran adalah sikap yang meneguhkan bahwa kebenaran pasti ada pada pihak dirinya sendiri dan pihak orang lain itu pasti salah. Dari sikap intoleran ini kemudian naik menjadi radikal. Selain tidak bisa menerima kebenaran dari pihak lain –tidak selalu dari agama yang berbeda, sebab ISIS kenyataannya memusuhi umat Islam yang lain seperti NU– sikap radikal ini mengandung ancaman kepada kekerasan. Kekerasannya itu sendiri belum terjadi, namun keinginan untuk melakukan kekerasan mewujud dalam pernyataan-pernyataan dan tulisan-tulisan.
Tahap terakhir adalah esktrim yang mewujud dalam tindakan terorisme atau ekstremisme kekerasan. Tahap akhir inilah yang ditakuti oleh semua pihak dan 600 WNI yang diwacanakan untuk dipulangkan pernah berada pada level ini. Bagaimana jika eks-ISIS ini sudah menyatakan pertobatannya? Apakah itu berarti semuanya akan menjadi aman adanya?
Jika kita menggunakan teori tahapan di atas, maka pertobatan eks-ISIS masih menyimpan dua tahapan di bawahnya. Kalau mereka sudah bisa berhenti menjadi teroris, lalu apakah juga mereka bisa berhenti dari sikap radikal. Jika mereka berhenti dari sikap radikal, apakah mereka juga bisa berhenti dari sikap intoleran?
Pertanyaan-pertanyaan di atas nampaknya mungkin yang menjadi pemikiran banyak kalangan di Indonesia agar pemerintah tidak terlalu menggebu untuk memulangkan eks-ISIS ke Indonesia. Mereka yang menolak kehadiran kembali eks-ISIS di tanah air mayoritas adalah umat Islam.
Jadi, apabila dimaksudkan bahwa menolak eks-ISIS itu sama dengan gejala Islamophobia, itu salah besar. Mereka yang menolak eks-ISIS adalah orang-orang Islam yang cinta dengan agamanya.
Di negara Muslim manapun di dunia ini, bahkan di Saudi Arabia pun, seluruh otoritas politik dan agama menyatakan penolakan secara keras atas ISIS. Hampir seluruh dunia Islam menyatakan jika ISIS itu bukan Islam dan tindakan terorisme itu bukan bagian dari jihad.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga menfatwakan bahwa terorisme itu bukan jihad. Makanya sangat aneh ketika FPI memberikan dukungan pada perjuangan ISIS, sementara jumhur ulama dunia menyatakan jika ISIS itu harus dilarang.
Karenanya, pernyataan FPI dan organisasi-organisasi serupa yang memberikan dukungan pada ISIS bisa dikategorikan sebagai hal yang berbahaya. Jelas, pandangan mereka menyumbang terjadinya polarisasi kaum Muslim Indonesia dalam memandang kasus terkait eks-ISIS ini.
Pada kenyataannya, memang pernah ada dukungan pada ISIS di Indonesia, apalagi bila mereka sudah sudah bertransformasi menjadi eks-ISIS, maka dukungan itu akan semakin kuat. Frasa “sudah tobat” memberikan pemakluman akan penerimaan mereka. Dengan bertobat, eks-ISIS tidak sama dengan ISIS.
Memang benar, bahwa eks-ISIS tidak sama dengan ISIS, cuma persoalan kita sekali lagi adalah apakah ketika sudah menjadi eks-ISIS, mungkinkah mereka bisa menjadi eks-radikal dan eks-intoleran.
Pertanyaan itu perlu saya ajukan di sini karena menurut pelbagai survei yang kita punya selama ini, misalnya survei PPIM-UIN Jakarta, salah satu problem terbesar di negara kita saat ini adalah semakin meningkatnya intoleransi dan radikalisme. Di sekolah-sekolah, guru-guru kita, dan lain sebagainya, semakin menunjukkan sikap intoleran dan radikal.
Apakah eks-ISIS yang tidak ada jaminan menjadi eks-radikal dan eks-intoleran itu akan menjadi faktor positif ataukah negatif, faktor penambah atau pengurang pada tingkat radikalisme dan intoleransi? Sudah tentu kita tidak punya jawaban pasti tentang ini, dan keraguan yang berkaitan dengan hal inilah menjadi pertimbangan kebanyakan masyarakat Indonesia belum bisa menerima kehadiran eks-ISIS.
Kalau kita memakai logika kaidah fiqhiyyah, dar’ul mafasid muqaddam ala jalbil masalih, menolak keburukan itu lebih didahulukan dari menarik kebaikan, maka menolak kedatangan eks-ISIS didahulukan dibandingkan menerimanya.
Katakanlah karena tidak ada jaminan bahwa mereka benar-benar bertobat, tidak ada jaminan bahwa mereka benar-benar ingin menyatu dalam masyarakat, dan semua ini sudah ada contohnya sebelumnya di mana mantan teroris menjadi teroris lagi. Atau paling tidak, pemerintah benar-benar mempersiapkan terlebih dahulu.
Kaidah fiqhiyyah ini memang tidak harus diterapkan dalam konteks kepulangan eks-ISIS ini, namun paling tidak kita bisa menjadikan kaidah ini sebagai pertimbangan untuk sebuah keputusan yang sangat penting di negeri ini.
Sebagai catatan, jika pemerintah memulangkan eks-ISIS ini atas argumen HAM, maka pemerintah juga harus menjadikan ini sebagai momen untuk menjaga dan melindungi seluruh hak kewarganegaraannya seperti pada kaum Ahmadiyah dan Syiah.
Terkait:
Awam Seperti Felix Dipuja, Ulama Seperti Habib Quraish Shihab Dihina