Jumat, April 26, 2024

Mengurai Debat HAM dalam Pemberantasan Terorisme

Alvin Nicola
Alvin Nicola
Membuka ruang diskusi santai di alvinnicola@protonmail.com.

Perdebatan penting yang perlu disimak dari dua kejadian terkait terorisme—bentrok napiter di Mako Brimob dan bom bunuh diri di Surabaya—beberapa hari ini adalah bagaimana elemen hak asasi manusia masuk dalam debat-debat pemberantasan terorisme.

Disamping kenyataan bahwa Negara tidak konsisten melaksanakan fungsi penegakan hukum, publik juga menilai bahwa agenda hak asasi manusia justru “mengganggu” pemberantasan terorisme. Dalam bentrok di Mako Brimob, banyak pihak menyalahkan pendekatan lunak yang digunakan Kepolisian melalui negosiasi, dimana dianggap menghambat proses pengamanan itu sendiri.

Di sisi lain, kelompok-kelompok intoleran dan radikal, menggunakan kerangka hak asasi manusia sebagai pelindung. Mereka berdalih bahwa tindakan sewenang-wenang aparat penegak hukum, justru memicu aksi terorisme itu sendiri. Mengapa ini terjadi? Bagaimana implikasinya bagi pembahasan revisi UU Terorisme di parlemen?

Diskursus HAM dalam Pemberantasan Terorisme

Tindakan terorisme berdampak langsung pada martabat dan keamanan manusia, menciptakan situasi penuh rasa takut, dan menghancurkan hak asasi manusia itu sendiri. Kehadiran terorisme juga berhadapan langsung dengan integritas pemerintahan yang sah. Untuk memenuhi kewajiban melindungi individu dari terorisme, Negara memiliki hak dan kewajiban untuk mengambil langkah-langkah kontra-terorisme yang efektif, mencegah serangan teroris di masa depan dan mengadili mereka yang bertanggung jawab.

Namun dalam praktiknya, disaat yang sama perlawanan terorisme menimbulkan tantangan berat terhadap perlindungan dan promosi hak asasi manusia. David J. Whittaker dalam buku Counter-Terrorism and Human Rights menjelaskan bahwa permasalahan hak asasi manusia dalam kontra-terorisme kerap ditemui dalam berbagai bentuk.

Termasuk dalam pengawasan (surveillance), penahanan yang disengketakan (disputed detention), penangkapan (arrest), prosedur penahanan tak terduga (the vagaries of charging procedure), ekstradisi dini (premature extradition), proses transfer tersangka (the transfer and trasport of suspects), perlakuan saat interogasi (the treatment on interrogation) dan pemenjaraan semena-mena (incarefully imprisonment). Peristiwa kematian Siyono dalam penangkapan dan penahanan Densus 88 Anti Teror pada 8 Maret 2016 di Brengkungan, Klaten dapat bersama kita jadikan pelajaran.

Merespon tantangan tersebut, lembar fakta PBB tentang HAM, Terorisme dan Kontra-Terorisme (Factsheet No. 32) menjelaskan bahwa hukum hak asasi manusia mengenal asas fleksibilitas yang meliputi pembatasan (limitations) dan pengurangan (derogations). Negara dapat secara sah membatasi pelaksanaan hak-hak tertentu, seperti membatasi hak seseorang untuk mengekspresikan diri jika terbukti secara hukum melakukan ajakan untuk terlibat dalam aksi terorisme.

Selain membatasi, rezim hak asasi manusia, dalam keadaan tertentu, seperti keadaan darurat publik (state of public emergency) yang mengancam kehidupan bangsa, mengizinkan Negara mengurangi hak asasi manusia tertentu. Keadaan darurat ini harus dipahami sebagai tindakan sementara yang benar-benar luar biasa, yang hanya dapat dilakukan jika ada ancaman nyata.

Dilema ini ditemukan dalam situasi “shoot-to-kill” yang terjadi dalam bentrok di Mako Brimob. Dalam situasi ini, hukum hak asasi manusia memperbolehkan penggunaan lethal force atas alasan melindungi nyawa manusia. Namun batasan-batasan ini tetap harus benar-benar mematuhi prinsip-prinsip kebutuhan dan proporsionalitas, demi terhindar dari penyalahgunaan kekuasaan.

Dilema Demokrasi

Implikasi nyata dari salah kaprahnya persoalan pemikiran hak asasi manusia ini, berkembang dengan maraknya pendekatan “extraordinary measures” yang banyak dianut negara-negara demokrasi, termasuk Indonesia. Akibatnya, tak jarang diskursus hak asasi manusia harus dibayar mahal atas nama kepentingan keamanan nasional.

Mengatur perlawanan terorisme secara ketat dan menghormati hak asasi manusia menjadi penting karena sebanyak 93% dari serangan teroris antara 1989 dan 2014, terjadi di negara-negara dengan tingkat kematian ekstrajudisial (extrajudicial killing), penyiksaan dan pemenjaraan tanpa pengadilan yang tinggi (Global Terrorism Index, 2015). Pendekatan ini sering digunakan untuk menekan protes damai dan gerakan oposisi yang sah, menutup perdebatan, menahan pembela hak asasi manusia dan menstigmatisasi minoritas (Dhillon & Mama-Rudd, 2016).

Pada titik ini, ketika wewenang eksekutif diperluas, tidak jarang justru berujung pada kelaliman eksekutif (executive despotism). Di Singapura, atas dasar keamanan nasional dan tanpa otoritas yuridis, mereka yang dicurigai melakukan tindak pidana terorisme (bahkan sebelum terjadi) dapat ditahan selama dua tahun tanpa proses (detention without trial). Camp Guantanamo Bay, Cuba yang kerap dikritik karena diduga melanggar due process of law lahir dari “Patriot Act” milik Amerika Serikat.

Sementara di Prancis baru-baru ini, Macron menawarkan rancangan UU terorisme yang memberikan polisi hak menempatkan individu di bawah tahanan rumah tanpa pengadilan, menyerang rumah dan tempat pertemuan tanpa berkonsultasi dengan hakim, dan melarang pertemuan publik (The Conversation, 2018).

Indonesia sendiri saat ini tengah merevisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Perlu diingat bahwa kebijakan pemberantasan terorisme Indonesia saat ini adalah produk dari sistem politik yang beralih dari otoritarianisme ke demokrasi, sehingga secara umum masih didominasi langkah-langkah keras dalam memerangi terorisme, sehingga belum banyak mencerminkan prinsip HAM dan due process of law.

Dilema demokrasi ini dihadapi setiap negara demokrasi yang dihadapkan pada terorisme. Di satu sisi, ia harus melindungi integritas teritorial, kedaulatan dan keamanan rakyatnya dari kekerasan sewenang-wenang teroris. Di sisi lain, Negara sangat mungkin kehilangan legitimasi dan tergelincir ke dalam penindasan dan otoritarianisme dalam proses memerangi terorisme.

Membangun Sistem Hukum yang Menghormati HAM

Mereka yang khawatir akan kompatibilitas hak asasi manusia, sering kali menuduh para pembela hak asasi manusia sebagai pembela teroris atau tidak melihat ancaman terorisme secara serius. Karakterisasi seperti ini jelas tidak akurat dan tidak produktif.

Gagasan bahwa hak asasi manusia bertentangan dengan keamanan nasional gagal mengakui fakta bahwa hukum hak asasi manusia internasional ditempa di tengah periode konflik global yang penuh dengan perdebatan bagaimana mencapai keseimbangan antara kepentingan keamanan dan hak-hak mendasar manusia.

Tantangan penting yang dihadapi Indonesia saat ini adalah bagaimana secara efektif merespon ancaman terorisme tanpa meninggalkan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Oleh karena itu, cara terbaik memerangi terorisme adalah dengan membangun sistem peradilan yang kuat dan hukum yang akuntabel. Melawan terorisme jangan sampai mengucilkan HAM itu sendiri, sebaliknya harus ditunjukkan bagi perlindungan HAM.

Alvin Nicola
Alvin Nicola
Membuka ruang diskusi santai di alvinnicola@protonmail.com.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.