Beberapa tahun lalu, Indonesia memiliki musim tambahan, musim panas, musim hujan dan musim politik. Setiap musim memiliki fenomenanya masing-masing yang sudah dimaklumi tiap tahunnya. Musim panas dengan kekeringannya, musim hujan dengan kebanjirannya dan musim politik dengan menjamurnya gerakan fundamentalis.
Fenomena-fenomena yang telah disebutkan pasti dianggap sebagai masalah, pun dengan fundamentalisme. Konotasi negatif selalu menghiasi ketika gerakan ini dilakukan, isu perpecahan, intoleransi, rasis sangat inheren dengan gerakan fundamentalis.
Padahal, hari ini kita harus sepakat bahwa gerakan fundamentalis merupakan anugrah yang membuat demokrasi berkembang dan meningkat, bukan malah merosot tanpa kita sadari. Hal ini dibuktikan secara historis bagaimana fundamentalisme berdamai dengan demokrasi di negara maju.
Selain jumlah musim yang kian menyerupai Eropa, gerakan fundamentalis yang menjamur belakangan ini ternyata memiliki pola yang sama dengan Eropa empat abad lalu. Argumen ini didorong oleh penelitian yang dilakukan Michal Walzer (1965) “The Revolution of the Saints”, mencoba membuktikan gerakan fundamentalis dengan demokrasi. Hasilnya, kaum puritanisme berhasil sebagai ideologi transisi yang memiliki sifat fungsional pendorong modernisasi dan demokrasi di kala tata politik masyarakat Inggris saat itu di ujung tombak kehancuran.
Hari ini, warga dunia seakan bersikap ahistoris mengenai hubungan agama (fundamentalis) dan demokrasi, tak terkecuali di Eropa. Kebanyakan literasi bahkan mencoba menilai agama sebagai variabel terkuat penghancur demokrasi dan agama Islam yang paling banyak disalahkan hari ini.
Samuel P. Huntington (1996) menjadi eksponen tesis ketidaklarasan antara Islam dan demokrasi dengan judul bukunya “The Clash Of Civilization” menjelaskan, Islam sebagai tantangan terbesar bangsa barat karena nilai yang dimiliki bertolakbelakang dengan nilai yang kita gunakan hari ini, khususnya dalam sistem demokrasi. Perdebatan antara Islam dan demokrasi kerap mewarnai wacana diskursus, khususnya di dunia negara berkembang.
Aksi bela Islam 411, 212 dan belum lama ini kembali terjadi aksi bela tauhid 211 menjadi pertanda friksi antara agama dan politik belum selesai di Indonesia. Gerakan fundamentalis ini terbukti memberikan efek positif bagi demokrasi kita. Terbukti, Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) meningkat dari 70,09 persen menjadi 72,11 persen.
Variabel yang paling meningkat adalah lembaga demokrasi naik 10,44 poin. Tidak heran, karena selama ini gerakan fundamentalis menyuarakan efektifitas kinerja institusi-institusi yang ada dalam negara, semisal menuntut kepolisian memproses kasus penistaan agama. Partisipasi politik juga meningkat drastis. Tahun 2016 di DKI Jakarta hanya 67 persen, sedangkan di tahun 2017 sekitar 77,1 persen. Baik secara langsung maupun tidak, aksi bela Islam menjadi variabel terkuat yang mendorong partisipasi politik di DKI.
Hal itu dilihat dari tingkat pemilih tertinggi berasal dari Kepulauan Seribu sekitar 81,4 persen, tempat di mana Ahok diduga menistakan Al-Quran. Data di atas menunjukkan bahwa gerakan-gerakan fundamentalis yang dilakukan umat Islam mendorong tingkat demokrasi di Indonesia, bukan sebaliknya.
Data tersebut bukan bermaksud menganjurkan untuk bergabung dengan kelompok-kelompok fundamental, tapi untuk merapikan konsepsi kita tentang fundamentalisme itu sendiri. Isu-isu intoleran, persekusi, perpecahan bahkan yang lebih ekstrem penegakkan negara Islam (khilafah) di Indonesia sering melekat dalam gerakan fundemantalis.
Persepsi yang buruk menutup kebenaran dan kenyataan dari gerakan ini yang ternyata membuat Indonesia selangkah mendekati Eropa. Tindakan dan sikap yang diambil pemerintah sering kali menguatkan persepsi buruk kita tentang gerakan ini. Hal yang sama dilakukan oleh oposisi, yang terlihat secara laten menunggangi gerakan fundamentalis demi kepentingan politis. Citra buruk yang dibangun oleh media-media tentang gerakan fundamentalis semakin menghantui pikiran kita.
Cara paling tepat mendekonstruksi pikiran tersebut adalah dengan menciptakan independensi dalam gerakan fundamentalis itu sendiri. Eropa berhasil karena gerakannya dimulai dari bawah (bottom-up), sehingga kuat fondasinya. Sedangkan kita memulai dari atas (top-down) sehingga kuat kepentingan politisnya.
Gerakan fundamentalis harus membuktikan independensinya dengan cara memperjuangkan sesuatu yang apolitis. Peran intelektual muslim, ulama dan tokoh agama diperlukan untuk menyusun nilai tersebut. Jadikan agama sebagai alat pembangun bangsa bukan sebagai pemanfaatan untuk kalkulasi politik. Kalau ini sudah dilakukan dan berhasil, maka sejarah kemajuan bangsa Eropa akan terulang kembali di Indonesia.