Peristiwa teror di dua masjid Christchurch kembali menghentak publik. Lebih-lebih, peristiwa itu disinyalir dilatarbelakangi persoalan isu rasial. Supremasi identitas yang menyelinap menjadi sebab tindakan biadab.
Kebencian terhadap yang berbeda bukan sesuatu yang baru dalam sejarah manusia. Namun, mengapa sejarah selalu berulang. Rasa terancam yang dirasa sekelompok manusia, kerap membuat mereka bertindak dengan menanggalkan rasa kemanusiaannya.
Peristiwa Christchurch mungkin hanya puncak gunung es dari kondisi peradaban kita. Saat laju perkembangan zaman berlari begitu cepat, ada banyak ingatan purba manusia yang berhenti karena kadung tertanam dalam: endapan rasa benci yang menunggu waktu untuk keluar memuntahkan lava keputusasaan.
Tragedi Christchurch mengingatkan kita tentang bahaya laten kebencian manusia. Tak mesti berkaca jauh ke New Zealand sebenarnya. Coba saja kita buka rayapan pesan-pesan berantai di grup-grup percapakan maya. Atau, sedikit saja meluangkan waktu mendengar obrolan-obrolan di lingkungan terdekat.
Betapa, hanya karena alasan kebencian, banyak dari kita yang sudah tak mau menimbang benar dan tidak informasi yang didapat. Seumpama kudapan, mentah-mentah saja ditelan. Tak perlu kritis, karena kita tak butuh lagi yang benar, yang kita butuh alasan-alan yang menguatkan rasa benci, juga jiji.
Sialnya, dalam situasi yang sangat kompetitif seperti pemilu, rasa benci itu bukan hanya dirawat, namun difabrikasi. Demi menuju tangga kemenangan, strategi dirancang sampai harus meniupkan angina agar api kebecian semakin membesar. Tujuannya jelas: dengan membeci lawan, pilihan mereka akan berlabuh pada jaring suara yang telah disiapkan.
Bisa dibayangkan betapa banalnya politik kita. Hanya karena soal-soal pertarungan kuasa, pemain politik rela mengoyak jalinan tenun bangsa. Mereka seolah tak peduli jika kebencian semacam ini dapat berubah menjadi tindakan teror, yang mereka butuhkan hanya sebatas kemenangan di palagan politik yang penuh kecurangan.
Demi kekuasaan, manusia rela menanggalkan kemanusiannya. Demi suara, manusia rela melucuti nalurinya. Jika kemenangan politik direbut dengan cara-cara seperti ini, harapan macam apa yang bisa diharapkan ketika mereka berkesemapatan menjalankan kekuasaan.
Bukankan politik sejatinya adalah media mendistribusikan kesejahteraan, tentu kita ridak rela politik dijadikan kendaraan penyebar kebencian.
Demokrasi menghendaki partisipasi. Dari kewarasan publik, saatnya mengumandangkan ajakan mengubur dalam-dalam kebencian. Jika tidak, tak usah berharap kita akan sampai pada cita-cita bernegara. Tak usah berharap kita menjadi Indonesia yang seutuhnya.