Jumat, April 26, 2024

Menguatkan Diri dengan The Power of Now

Hascaryo Pramudibyanto
Hascaryo Pramudibyanto
Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi pada FHISIP Universitas Terbuka

Setiap orang, bahkan negara boleh punya cita-cita. Didukung oleh kemampuan yang ada di masyarakat, sebuah cita-cita bisa terwujud dengan cepat. Ekchart Tolle dalam bukunya The Power of Now mendeskripsikan kekuatan hari ini sebagai hal yang harus dijadikan kawan. Dalam ulasannya, kita diharapkan bisa menjalin komunikasi dengan kekuatan pada diri kita secara intens agar kita mampu bangkit dan membingkas diri kita. Membingkas diri bisa dimaknai sebagai sebuah upaya untuk bangkit dan berubah.

Kekuatan ini, hanya kitalah yang menyadari keberadaannya. Ia bisa saja tersembunyi di balik kedukaan yang sedang kita alami. Kekuatan yang tak disadari inilah yang sebenarnya bisa dijadikan momentum bagi seseorang untuk bangkit dari keterpurukan. Memang benar pula bahwa seseorang yang sedang terpuruk, terkadang ia tak mau membicarakannya dengan orang lain, meskipun ia sahabat terdekatnya.

Ia lebih suka memendam kedukaan itu sebagai hal yang hanya bisa diratapi. Andaikata bisa bersikap lebih baik, maka ratapan tadi akan berubah menjadi upaya menemukan hikmah hidup. Meratapi sesuatu memang tak ada gunanya. Namun, dengan proses ratapan yang sedang dirasakan, maka seseorang biasanya akan menemukan sebuah titik temu untuk keluar dari permasalahannya.

Beginilah cara kita mengendalikan pikiran kita agar bisa mengarahkan konsentrasi kita pada hal-hal yang positif. Kendali yang dilakukan oleh diri kita adalah berupa percakapan internal pada pikiran dan hati kita, yang kemudian ada penuntun untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Begitu besar jasa penuntun dalam diri kita ini yang bentuknya bisa berupa nafsu, emosi, hasrat, atau pendorong lainnya.

Cara pikiran kita mengendalikan dan mengatur untuk memutuskan sebuah tindakan, patut dihargai dan dijaga kesuciannya. Ia tak pernah lelah mengendalikan diri kita agar terhindar dari hal-hal yang membahayakan. Hal apakah yang bisa mengendalikan kita itu? Ternyata dia adalah ilmu. Sebenarnya kita dijaga oleh ilmu.

Jika oang-orang kaya selalu kebingungan dalam menjaga hartanya, maka orang berilmu akan selalu berharap agar ilmunyalah yang selalu dijaga. Orang berilmu tak mau kehilangan imunya atau ia tak lagi dikendalikan oleh ilmu yang ia miliki. Dengan berbekal ilmu yang baik dan beragam, maka ia akan tergiring untuk selalu berpikir logis agar terhidar dari hal-hal yang berbahaya dan menyesatkan. Itulah bedanya orang yang selalu khawatir akan hartanya, dibandingkan dengan yang khawatir jika kehilangan ilmunya.

Pikiran dalam diri kita sebenarnya punya banyak pendapat. Ada begitu banyak hal yang dipertimbangkan untuk dilakukan atau tidak. Pikiran kita selalu memberikan masukan pada diri kita untuk memilih salah satu – atau jika kita sanggup – memilih lebih dari satu.

Selain karena kekuatan ilmu yang kita miliki, ada pula aspek lain yang juga memberikan kontribusi terhadap keputusan tindakan kita. Dia adalah pengalaman masa lalu. Ya benar, pengalaman masa lalu juga mengambil peran yang tak kalah besar dalam mempengaruhi pikiran kita. Sebagai ilustrasi, dapat saya gambarkan begini.

Ketika kita ingin membeli bakso di sebuah restoran, yang ada dalam pikiran kita ada dua hal utama yaitu pengalaman rasa enak yang begitu membekas serta restoran inilah yang jadi pilihan utama dari beberapa opsi penjual bakso lainnya. Pilihan utama ini pun didasari oleh banyak hal, seperti aspek harga, kualitas layanan, keramahan, kebersihan restoran, kenyamanan, serta hal lainnya.

Akan tetapi, jika kita terbelenggu oleh pengalaman masa lalu, pun ada ruginya. Kita akan berubah jadi figur yang enggan menerima ilmu baru serta hal terkini yang seharusnya bisa diterima jadi pengalaman baru. Hal inilah yang terkadang menjadikan kita – yang tak mau menerima hal baru tadi – sebagai orang kolot. Kita hanya berpegang pada sesuatu yang lama, yang selalu dianggap benar tanpa tandingan.

Sikap ‘teguh dan kolot’ ini bisa menjadikan kita sebagai orang yang menyebalkan. Lingkungan kita akan menganggap kita sebagai orang aneh dan tak perlu diberi pengalaman baru, sebagus apapun pengalaman itu. Andai itu terjadi pada kita, seyogianya segeralah menemui opinion leader di lingkungan terdekat kita agar bisa menjadi mediator bagi keberlangsungan interaksi kita.

Selain itu, perlu ada pendekatan yang lebih intens serta tidak mengandalkan kebaikan orang lain untuk mau memahami keinginan kaum kolot nan kaku tadi agar bisa segera diterima oleh komunitasnya. Yang ada dalam diri kaum ini, untuk tahap awal ini, diterima sajalah kondisi yang ada.

Tak perlu memberontak akibat kenyataan ini. Apapun itu, baik atau pun buruk kondisinya, itulah hasil pilihan Anda di masa lalu. Itulah hasil belajar yang jadi pengalaman Anda selama ini. Untuk mengubahnya, memang diperlukan niat dan bahan belajar baru guna membentuk pengalaman lain.

Hascaryo Pramudibyanto
Hascaryo Pramudibyanto
Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi pada FHISIP Universitas Terbuka
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.