Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sebagai pengejawantahan dari ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat telah menjadi salah satu pemenuhan dari cita-cita reformasi yang menghendaki konstruksi lembaga negara yang bersifat independen.
Jimly Asshiddiqie (2007) dalam buku berjudul “Pokok-Pokok Hukum Tata Usaha Negara Indonesia Pasca Reformasi” menegaskan bahwa KPPU merupakan lembaga independen yang memiliki kewenangan untuk menjalankan fungsi regulasi, fungsi administrasi, dan fungsi semi-peradilan secara padu. Namun sebagaimana sifat dinamis dari norma hukum, perubahan terhadap pengaturan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat merupakan sebuah keniscayaan.
Gagasan Arah Baru KPPU
Salah satu bentuk perubahan terhadap pengaturan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah dengan dilakukannya perubahan substansi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja).
Apabila mencermati UU Cipta Kerja secara seksama, terdapat dua muatan perubahan substansi mengenai larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang dapat dikaitkan dengan KPPU. Dimana kedua muatan perubahan substansi tersebut memiliki korelasi erat dengan gagasan menyoal arah baru KPPU.
Muatan perubahan substansi yang pertama adalah berkenaan dengan perubahan kompetensi absolut pengadilan yang berwenang untuk memutuskan keberatan para pihak terhadap Putusan Komisi. Dimana semula kompetensi absolut pengadilan mengenai hal tersebut menjadi kewenangan Pengadilan Negeri namun berdasarkan substansi UU Cipta Kerja, kompetensi absolut dalam memutuskan keberatan para pihak terhadap Putusan Komisi tersebut menjadi kewenangan Pengadilan Niaga.
Pada hakikatnya, perubahan tersebut tidak mengubah ketentuan mengenai sifat dari Putusan Komisi yang apabila di dalamnya ada keberatan para pihak terhadap Putusan Komisi harus diputuskan melalui sebuah lembaga peradilan yang berwenang.
Hal tersebut perlu digarisbawahi untuk menggagas arah baru KPPU pada masa mendatang. Pertama, perlu untuk merefomulasikan sifat Putusan Komisi apabila timbul keberatan diantara para pihak atasnya. Dimana apabila timbul keberatan oleh para pihak mengenai Putusan Komisi tersebut, dalam ius constituendum dapat dikonstruksikan bahwa apabila timbul keberatan diantara para pihak mengenai Putusan Komisi maka KPPU berwenang untuk melakukan tahapan mediasi diantara pihak sebagai upaya perlawanan terhadap Putusan Komisi.
Apabila kemudian masih timbul keberatan diantara para pihak setelah dilakukan tahapan mediasi setelah dikeluarkannya Putusan Komisi tersebut maka Putusan Komisi tersebut hanya dapat diajukan kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia. Konstruksi penyelesaian sengketa ini hendak menegaskan bahwa KPPU memiliki kedudukan yang strategis dalam perkara terkait larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di Indonesia.
Muatan perubahan yang kedua adalah mengenai pengurangan denda administratif yang dapat dikenakan oleh Majelis Komisi kepada para pihak. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat upaya melimitasi kewenangan KPPU dalam menjatuhkan denda administratif.
Sehingga dalam ius constituendum dapat dikonstruksikan bahwa ketentuan minimal denda administratif yang dapat ditetapkan oleh Majelis Komisi perlu diatur dalam peraturan perundang-undangan sedangkan mengenai ketentuan maksimal denda administratif tidak perlu ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan sehingga akan memberikan keleluasaan kepada Majelis Komisi dalam menjalankan kewenangannya dan menguatkan kedudukan KPPU dalam perspektif kelembagaan negara.
Mitra Strategis Masyarakat
KPPU berperan penting dalam melakukan pencegahan terhadap penyalahgunaan posisi tawar pihak UMKM dan pihak pelaku usaha besar sehingga terdapat daya tahan UMKM dalam hal persaingan dengan pihak pelaku usaha besar. Oleh karena itu, perlu untuk menegaskan kembali bahwa KPPU merupakan mitra masyarakat dalam membangun sistem perekonomian nasional. Hal ini dikarenakan UMKM merupakan pengejawantahan sistem ekonomi berbasis kerakyatan dalam sistem perekonomian nasional.
Sehingga penegasan KPPU sebagai mitra masyarakat harus diejawantahkan ke dalam politik kebijakan hingga pengaturan norma hukum yang mengedepankan kepentingan UMKM dengan proporsi yang lebih besar dibandingkan kepentingan pelaku usaha besar namun bukan berarti menegasikan hak yang dimiliki oleh pelaku usaha besar. KPPU harus dapat menerapkan asas keseimbangan dan daya guna dalam setiap kebijakannya secara khusus dalam Putusan Komisi.
Oleh karena itu apabila KPPU dapat secara maksimal menjadi mitra masyarakat, terdapat dua hal yang dapat dicapai oleh KPPU secara kelembagaan yaitu penguatan kedudukan dan peranan KPPU hingga mengkonstruksikan KPPU sebagai mitra strategis masyarakat dalam mendukung sistem perekonomian nasional berbasis kerakyatan.