Senin, Oktober 14, 2024

Mengingkari Sumpah Pemuda

Suranto Andreas
Suranto Andreas
Alumni Mahasiswa S1 Program Studi Ekonomi, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Empat tahun silam tepatnya musim kampanye pilihan presiden (pilpres) tahun 2014, puluhan orang yang bergabung dalam Aliansi Masyarakat untuk Pilpres Berkulitas mendesak KPU untuk menggelar sesi debat dalam bahasa Inggris untuk Joko Widodo “Jokowi” dan Prabowo Subianto.

Dalam hal itu, aliansi menginginkan adanya pemimpin yang bisa fasih berbahasa Inggris, sehingga nantinya tidak membuat malu rakyat Indonesia jikalau nantinya presiden disejajarkan dengan petinggi-petinggi internasional.

Kemampuan Jokowi dan Prabowo dalam menggunakan bahasa Inggris tentunya berbeda. Langkah tepat diutarakan oleh Jokowi bahwa sesi debat tersebut adalah agenda nasional yang semestinya menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Keinginan untuk menggunakan debat berbahasa Inggris juga dikemukakan oleh permintaan publik tahun ini. Permintaan yang menggunakan isu lama demi memperkeruh situasi politik di tanah air ini. Menggunakan bahasa Inggris dalam agenda kegiatan apapun tidaklah menjadikan soal.

Menggunakan bahasa internasioal itupun merupakan langkah maju yang ditandai dengan banyaknya ilmu yang didapatkan. Penggunaan bahasa Inggris karena karena dipengaruhi oleh kebiasaan yang dilakukan. Semakin terbiasa berbicara atau membaca dengan bahasa Inggris, semakin fasihpula berbahasa Inggrisnya.

Sama halnya dengan kebiasaan berbahasa Arab. Semakin banyak menggunakan bahasa Arab, semakin fasihpula bahasa Arabnya. Tidak memerlukan kecerdasan untuk dapat menggunakan bahasa Inggris, yang perlu digunakan adalah rasa disiplin untuk terbiasa menggunakan bahasa internasional tersebut.

Jika keinginan publik tersebut merupakan standar kecerdasan sebagai calon pemimpin di negeri ini di mata dunia, bagaimana bisa hal tersebut dapat dibenarkan?! Kecerdasan calon pemimpin tidak hanya dapat disatu-kategorikan dalam fasih berbahasa Inggris saja, melainkan pada aspek-aspek lainnya.

Menurut Marketers Indonesia, Aspek Kepemimpinan  terdiri dari enam aspek yang meliputi: Aspek fisik, intelektual, sosial, emosional, personal, dan moral. Aspek-aspek tersebut harus menjadi modal awal dalam memimpin sebuah bangsa. Keenam aspek tersebut satu sama lainnya saling mempengaruhi dan melengkapi, sehingga tidak hanya condong seaspek saja dan mendominasi.

Mahir berbahasa Inggris tetapi tidak mempunyai aspek kepemimpinan dalam hal moral, sosial dan emosional, ibarat peribahasa “tong penuh tidak berguncang, tong setengah yang berguncang”. Maksudnya adalah orang yang kompeten dalam sebuah kepemimpinan tidak akan banyak berbicara, tetapi orang yang tidak kompeten akan banyak berbicara seolah-olah mengetahui banyak hal.

Data dari lembaga pendidikan bahasa Inggris EF, indeks kecakapan berbahasa Inggris (EF English Proficiency Index/ EF EPI) 2017, bahwa kemampuan berbahasa Inggris orang dewasa di Indonesia menempati peringkat ke-39 dari 80 negara di dunia. Indonesia masuk dalam kategori kemampuan berbahasa Inggris rendah dan berjajar dengan negara-negara seperti Uni Emirat Arab, Thailand, Jepang dan Tiongkok.

Sedangkan negara-negara seperti Mesir, Arab Saudi, Iran dan Irak masuk pada kategori sangat rendah. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa Inggris masih kurang diminati oleh orang dewasa di negara-negara di belahan dunia lainnya. Faktor utama kurangnya berbahasa Inggris di Indonesia adalah karena tidak benar-benar butuh bahasa Inggris. Masyarakat di Indonesia utamanya masih memakai bahasa daerah ataupun bahasa Indonesia untuk berkomunikasi sehari-hari, sehingga lebih memudahkan komunikasi mereka.

Walaupun penggunaan bahasa Inggris sangat pas digunakan untuk melakukan negosiasi, mediasi maupun melobi bahkan berkompetisi dengan negara lain. Namun tidak boleh dipungkiri bahwa penggunaan bahasa Inggris dalam agenda nasional seperti sesi debat calon presiden tidaklah relevan dilakukan. Karena apa?

Agenda nasional oleh KPU dalam sesi debat pilpres hanya diperuntukkan bagi warga negara Indonesia yang mengetahui bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Rakyat Indonesia tidak membutuhkan sesi debat berbahasa Inggris, yang bahasanya banyak tidak dimengerti oleh rakyat Indonesia itu sendiri. Harapan diadakan sesi debat oleh KPU menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah agar maksud dan tujuan dari program kerja calon presiden dapat dimengerti oleh khalayak ramai di seantero nusantara ini.

Jika penggunaan bahasa Inggris dalam debat pilpres dilakukan, artinya secara gamblang KPU dan permintaan publik untuk debat berbahasa Inggris telah mengingkari Sumpah Pemuda, pada bagian ketiga Sumpah Pemuda yaitu “Kami putra dan puteri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”.

Suranto Andreas
Suranto Andreas
Alumni Mahasiswa S1 Program Studi Ekonomi, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.