Kematian Adelina Lisao, Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 11 Februari lalu disebabkan kekerasan yang dilakukan oleh majikannya. Apa yang terjadi pada Adelina Lisao menambah daftar panjang TKI yang meninggal di negeri jiran.
Persoalan lainnya ialah Adelina Lisao juga diduga kuat sebagai korban perdagangan orang. Hal itupun ditegaskan pihak KJRI Penang dan KBRI Kuala Lumpur jika Adelina merupakan ART migran Indonesia yang tidak berdokumen.
Kasus lain terjadi pada Yuyun, TKI di Arab Saudi. Yuyun mengeluhkan pekerjaan yang didapat idak sesuai dengan kontrak dan Ia kerap mengalami pelecehan seksual oleh majikannya. Hal ini terungkap setelah Yuyun melapor ke KBRI Jeddah.
Menindaklanjuti hal tersebut, Satgas Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) kemudian menggeladah kantor yang diduga menjadi tempat penampungan TKI yang akan diberangkatkan secara ilegal di Bekasi. Sebab tidak hanya Yuyun yang mengalami hal serupa, ada banyak Yuyun lainnya yang menjadi korban perdangangan orang.
Jumlah korban perdagangan orang semakin meningkat setiap tahunnya. Data Koran Tempo menyebutkan, setidaknya pada tahun 2013 ada 427 orang dan meningkat tajam di tahun 2017 menjadi 1.451. Menurut Mabes Polri, korban terbesar adalah perempuan.
Sedangkan untuk provinsi dengan korban paling banyak adalah Jawa Tengah, NTT, dan Nusa Tenggara Barat. Ketiga provinsi ini memiliki jumlah pengangguran yang cukup tinggi. Sehingga iming-iming untuk bekerja di luar negeri yang diberikan oleh calo dengan mudah diterima.
Melihat data tersebut, pemerintah tentu harus lebih serius menangani kasus kejahatan transnasional ini. Perdagangan orang adalah bentuk modern dari perbudakan manusia dan salah satu bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Pemerintah sebenarnya memiliki regulasi untuk mencegah dan menjerat pelaku perdagangan orang melalui Undang–Undang (UU) nomor 21 tahun 2007. UU ini seharusnya bisa digunakan dengan maksimal. Pada pasal 2 ayat 1 disebutkan –pada intinya- bahwa seseorang bisa dikenakan pidana bila melakukan eksploitasi dan perdagangan terhadap manusia.
Pasal ini pun memiliki ancaman yang tak main-main. Denda maksimal 600 juta rupiah dan maksimal hukuman lima belas (15) tahun penjara. Penggunaan pasal ini seharusnya bisa dilakukan dengan maksimal untuk menjerat siapapun yang memiliki keinginan untuk mengeksploitasi dan melakukan perdagangan orang. Agar ada rasa jera yang ditimbulkan.
Modus yang dilakukan oleh sindikat perdagangan orang ada banyak. Salah satu cara yang dilakukan dengan memberangkatkan mereka yang ingin bekerja sebagai TKI. Namun, biasanya mereka tidak memiliki dokumen yang lengkap atau keahlian yang memadai. Kondisi semacam ini semakin meningkatkan kemungkinan calon TKI menjadi korban perdagangan orang.
Pemerintah dan lembaga terkait harus tahu bahwa sindikat perdagangan orang bisa meraup keuntungan sebesar 10 sampai 20 juta dari satu calon TKI yang akan dieksploitasi. Bisa dibayangkan perputaran uang dalam bisnis haram ini. Bila dalam satu bulan ada 100 orang korbannya, kurang lebih sindikat perdagangan orang mengantongi uang sekitar 100 sampai 200 juta.
Selain itu, pemerintah harus segera mengambil langkah tegas untuk menangani hal ini. salah satu caranya dengan meningkatkan upaya penyelidikan, mengadili dan menghukum agen penyalur, broker serta pejabat publik korup yang terlibat dalam perdagangan orang.
Sejatinya, perdagangan orang tentu akan melibatkan oknum pejabat publik yang korup. Hal ini akan membuat praktik tersebut terus berlangsung dan menghambat pemerintah untuk menyelesaikannya. Sebab para petugas dan pejabat yang korup akan terus memfasilitasi penerbitan dokumen palsu, menerima suap utuk memindahkan calon TKI atau migran melewati perbatasan.
Jalan lain yang harus ditempuh untuk menyelesaikan perdagangan orang ialah dengan memberikan pembekalan yang serius dan cukup. Sebab, kebanyakan dari TKI yang berangkat secara ilegal adalah mereka yang tidak memiliki keahlian yang mumpuni. Hal ini sudah diterapkan oleh Filipina. Mereka tidak pernah memberangkatkan warganya menjadi buruh migran bila tidak memiliki kemampuan yang mumpuni.